Class Review 5


Sebuah “Teks” 
By : Dian Eka Indriyani

Senin 03 Maret 201, sebuah hari dimana menjadikan hari itu sebagai hari yang melelahkan, bagi saya itu adalah hari yang saya tunggu kapanpun tanggalnya yang jelas hari senin lah yang menjadi penentunya. Entah saya tidak peduli dengan pandangan orang lain mau itu hari yang menyenangkan atau tidak karena bagi saya ini tambahan. Hari itulah yang sangat menguras tenaga dan pikiran saya, dan setelah itu saya akan merasa kedamaian setelah melewatinya bagaikan usai dalam peperangan yang tiada henti dan seperti meminum air ditengah gurun yang panas, sejuk dan tenang.
Meski demikian, banyak hal yang masih saya bingungkan mengapa masih saja saya ingin dan masih saja tersisa semangat yang terselip dalam hati saya untuk mengerjakan sebuah tugas, bisa atau tidak, lelah atau tidak, rangkaian kata seolah tetap menguntai meski saya tidak tau apa itu artinya, seperti dihari ini meski saya absen di kelas namun tetap saja saya harus mencari materi apa yang disampaikan dan dipelajari di kelas. Disitulah mengapa hari senin itu sebagai penentu yang saya kurang sukai, sebab saya harus bisa lebih lelah dari sebelumnya. Mengapa demikian??? Bisa dijawab sendiri tentunya.

Dihari ini, dari data yang saya dapatkan kami masih membahas berliterasi,literasi itu sendiri adalah kegiatan sosial dengan karakter, dikatakan sebuah karakter karena dalam hal ini dalam praktiknya dimana seseorang menarik sendiri situasi ketika dia membaca dan disitu orang-orang memiliki kecenderungan yang berbeda untuk melakukannya dan tentu yang mereka manfaatkan dengan cara yang berbeda pula.
Dalam dunia literasi memang memiliki permasalahan yang kompleks, dari awal adanya literasi hingga di zaman yang sekarang ini kita masih saja dituntu untuk memahami yang namanya literasi, dalam hal ini membaca dan menulislah yang masih jadi perdebatan karena disini kita harus memiliki keterampilan dalam mengolah dan memahami aksara, sedang terkadang kita lalai dalam mengembangkan apa itu keaksaraan. Dari sudut sejarah saja penyebaran keaksaraan diperkirakan telah berdampak pada konsep perubahan diri manusia, dlam budaya lisan saja diri itu belum tentu dapat dipahami.
Kemudian dalam sebuah teks, benarkah diri kita itu memang harus terbuka?? Kemudian pembaca bebas untuk menghasilkan makna apapun dari teks?? Atau teks itu menerapkan sebuah batasan-batasan tertentu didalamnya? Apabila teks itu demikian adanya, seorang pembaca bebas untuk mengartikannya, memang pembaca itu dibolehkan untuk membacanya namun dari segi pemahaman pembaca harus mengikuti teks itu, sebab seorang produsen teks memiliki kuasa yang lebih dari pembaca mereka. Menghasilkan teks bukan semena-mena karena bisa menulis, melainkan karena ia juga mampu dan memiliki bukti tentang teks yang ia buat seperti yang dituturkan Rohmah bahwa menulis yang baik adalah kombinasi ditemukan kata-kata yang memungkinkan orang integritas mendominasi subjek dengan pola baik, segar dan asli.
Dalam konteks teks itu sendiri, dimensi membaca tidak tetap hanya pada tingkatan tektualnya saja, pembaca harus bisa mengolah apa yang dia sudah baca, kemudian menjadikan olahannya sebagai menu yang siap dihidangkan pada penunggu atau penikmat plahannya, disitulah yang menjadikan sebuah perbedaan bagi olahan setiap pembaca. Dari banyaknya bacaan dan teks-teks seperti cerpen, novel dan lain-lain pasti memiliki banyak situasi yang berbeda-beda, pada konteks potensi yang lebih kompleks disitulah pembaca biasanya sering menganggap dirinya ahli dan mampu menilai seberapa baik mereka menyantap sebuah hidangan yang diolah, maka itu mereka selalu menunggu dan sebagai penghidang, kita harus memberi yang terbaik.
Didalam konteks, kita juga harus mampu menjadikan isi teks dengan keberadaan dari historis, dalam teks itu ada yang diterima dan ada pula yang tidak, semua tergantung pada bagaimana penyajiannya. Seperti menurut BENNETT dan WOOLLACOT, diskursif dan intertekstual definisi tidak mempengaruhi teks hanya dari luar, tetapi juga dari dalam membentuk teks kedalam bentuk-bentuk historis kongkret dimana mereka tersedia teks sebagai yang dibaca, misalanya, harapan pembaca tentang genre memiliki efek pada bagaimana mereka memposisikan diri dalam hal teks dan bagaimana teks akibatnya menjadi terbentuk. Disini tidak ada pembatas antara penentuan extratextual dan intratextual dari teks yang akan mencegah orang-orang dari eksternal yang berpengaruh pada internal.  Namun disini menurut pandangan Tony Bennett teks tidak bisa eksis secara umum sebagai apapun, dia membandingkan teks – keping dalam pertandingan yang berubah dalam proses dimata konten mereka untuk berjuang, teks itu akan eksis dan hidup bersamaan dengan apa yang mereka pikirkan didalamnya, namun kelangsungan hidupnya yang tidak bisa diprediksi oleh orang lain membuat teks itu menjadi sebuah hasil yang harus diperjuangkan tentang maknanya.
Bersamaan dengan Janet Woollacott, Bennett bahkan melampaui dirinya sendiri dalam mengahadapi sebuah teks, menurut mereka teks itu sendiri adalah sebuah objek yang tidak diketahui mungkin pengetahuannya. Disini bagi saya sebuah teks memang terkadang menjebak diri kita, disitu terkadang sebuah pengertian yang tercantum berbeda dengan apa yang sudah kita pelajari. wajar saja bila kita terkadang terjebak dalam teks dan melupakan waktu demi sebuah teks yang memiliki perbedaan, padahal kita juga memahami inti dari teks yang disampaikan merujuk pada pengertian yang sama dan satu.
Tidak sampai disitu saja ketika ada teks pasti disitu ada penulisnya , dan disini saya mencantunkan sebuah perencanaan penulis menurut Bunga dan Hayes (1981) model itu sangat menentukan, hal ini menunjukkan bahwa proses dalam menulis teks dipengaruhi oleh tugas dan dalam jangka waktu yang panjang penulis menuangkan yang ada dalam memorinya, dan fitur utama disini adalah :
Ø  Menulis memiliki tujuan
Ø  Mereka berencana secara ekstensif
Ø  Perencanaan melibatkan mendefinisikan masalah retoris, menempatkannya dalam konteks kemudian mengeksplorasi bagian-bagiannya, tiba disolusi dan akhirnya menerjemaahkan ide-ide ke halaman.
Ø  Semua pekerjaan dapat ditinjau, di evaluasi dan di revisi bahkan sebelum teks di produksi.
Ø  Perencanaan, penyusunan, merevisi dan mengedit yang rekursif, interaktif dan berpotensi simultan.
Ø  Rencana dan teks terus menerus di evaluasi dlam umpan balik.
Ø  Seluruh proses diawasi olah kontrol eksekutif yang disebut monitor. Ini adalah sebuah model komputer khas teorisasi dalam psikologi kognitif dan artificial intelligence, memberikan prioritas kepada mekanisme seperti memori.

Dari semua itu, kita dapat menarik kesimpulan bagaimana kita bisa mmahami sebuah teks, dari keterampilan kita membaca aksara dan mengartikan dari perkata menjadi kalimat, paragraf dan sebuah bacaan, setelah itu bagaimana kita mampu mengolah apa yang kita dapat menajadi sajian yang menarik dan memiliki makna dari setiap yang disajikan. Kemudian menjadikan sebuah teks memanglah tidak semudah saat kita membalikan telapak tangan ataupun mengedipkan mata kita, untuk menjadikan sebuah teks yang baik, kita juga harus melalui konteks dalam menulisnya harus melalui proses dan waktu yang panjang, namun setelah itu belum tentu kita mendapatkan hasil yang maksimal. Disitu pula kita harus bisa menjadi orang yang cerdas untuk membuat sebuah teks yang bercita rasa tinggi.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment