Sebuah “Teks”
By : Dian Eka Indriyani
Senin
03 Maret 201, sebuah hari dimana menjadikan hari itu sebagai hari yang
melelahkan, bagi saya itu adalah hari yang saya tunggu kapanpun tanggalnya yang
jelas hari senin lah yang menjadi penentunya. Entah saya tidak peduli dengan
pandangan orang lain mau itu hari yang menyenangkan atau tidak karena bagi saya
ini tambahan. Hari itulah yang sangat menguras tenaga dan pikiran saya, dan
setelah itu saya akan merasa kedamaian setelah melewatinya bagaikan usai dalam
peperangan yang tiada henti dan seperti meminum air ditengah gurun yang panas,
sejuk dan tenang.
Meski
demikian, banyak hal yang masih saya bingungkan mengapa masih saja saya ingin
dan masih saja tersisa semangat yang terselip dalam hati saya untuk mengerjakan
sebuah tugas, bisa atau tidak, lelah atau tidak, rangkaian kata seolah tetap
menguntai meski saya tidak tau apa itu artinya, seperti dihari ini meski saya
absen di kelas namun tetap saja saya harus mencari materi apa yang disampaikan
dan dipelajari di kelas. Disitulah mengapa hari senin itu sebagai penentu yang
saya kurang sukai, sebab saya harus bisa lebih lelah dari sebelumnya. Mengapa
demikian??? Bisa dijawab sendiri tentunya.
Dihari
ini, dari data yang saya dapatkan kami masih membahas berliterasi,literasi itu
sendiri adalah kegiatan sosial dengan karakter, dikatakan sebuah karakter
karena dalam hal ini dalam praktiknya dimana seseorang menarik sendiri situasi
ketika dia membaca dan disitu orang-orang memiliki kecenderungan yang berbeda
untuk melakukannya dan tentu yang mereka manfaatkan dengan cara yang berbeda
pula.
Dalam
dunia literasi memang memiliki permasalahan yang kompleks, dari awal adanya
literasi hingga di zaman yang sekarang ini kita masih saja dituntu untuk
memahami yang namanya literasi, dalam hal ini membaca dan menulislah yang masih
jadi perdebatan karena disini kita harus memiliki keterampilan dalam mengolah
dan memahami aksara, sedang terkadang kita lalai dalam mengembangkan apa itu
keaksaraan. Dari sudut sejarah saja penyebaran keaksaraan diperkirakan telah
berdampak pada konsep perubahan diri manusia, dlam budaya lisan saja diri itu
belum tentu dapat dipahami.
Kemudian
dalam sebuah teks, benarkah diri kita itu memang harus terbuka?? Kemudian
pembaca bebas untuk menghasilkan makna apapun dari teks?? Atau teks itu
menerapkan sebuah batasan-batasan tertentu didalamnya? Apabila teks itu
demikian adanya, seorang pembaca bebas untuk mengartikannya, memang pembaca itu
dibolehkan untuk membacanya namun dari segi pemahaman pembaca harus mengikuti
teks itu, sebab seorang produsen teks memiliki kuasa yang lebih dari pembaca
mereka. Menghasilkan teks bukan semena-mena karena bisa menulis, melainkan
karena ia juga mampu dan memiliki bukti tentang teks yang ia buat seperti yang
dituturkan Rohmah bahwa menulis yang baik adalah kombinasi ditemukan kata-kata
yang memungkinkan orang integritas mendominasi subjek dengan pola baik, segar
dan asli.
Dalam
konteks teks itu sendiri, dimensi membaca tidak tetap hanya pada tingkatan
tektualnya saja, pembaca harus bisa mengolah apa yang dia sudah baca, kemudian
menjadikan olahannya sebagai menu yang siap dihidangkan pada penunggu atau
penikmat plahannya, disitulah yang menjadikan sebuah perbedaan bagi olahan
setiap pembaca. Dari banyaknya bacaan dan teks-teks seperti cerpen, novel dan
lain-lain pasti memiliki banyak situasi yang berbeda-beda, pada konteks potensi
yang lebih kompleks disitulah pembaca biasanya sering menganggap dirinya ahli
dan mampu menilai seberapa baik mereka menyantap sebuah hidangan yang diolah,
maka itu mereka selalu menunggu dan sebagai penghidang, kita harus memberi yang
terbaik.
Didalam
konteks, kita juga harus mampu menjadikan isi teks dengan keberadaan dari
historis, dalam teks itu ada yang diterima dan ada pula yang tidak, semua
tergantung pada bagaimana penyajiannya. Seperti menurut BENNETT dan WOOLLACOT,
diskursif dan intertekstual definisi tidak mempengaruhi teks hanya dari luar,
tetapi juga dari dalam membentuk teks kedalam bentuk-bentuk historis kongkret
dimana mereka tersedia teks sebagai yang dibaca, misalanya, harapan pembaca
tentang genre memiliki efek pada bagaimana mereka memposisikan diri dalam hal
teks dan bagaimana teks akibatnya menjadi terbentuk. Disini tidak ada pembatas
antara penentuan extratextual dan intratextual dari teks yang akan mencegah
orang-orang dari eksternal yang berpengaruh pada internal. Namun disini menurut pandangan Tony Bennett
teks tidak bisa eksis secara umum sebagai apapun, dia membandingkan teks –
keping dalam pertandingan yang berubah dalam proses dimata konten mereka untuk
berjuang, teks itu akan eksis dan hidup bersamaan dengan apa yang mereka
pikirkan didalamnya, namun kelangsungan hidupnya yang tidak bisa diprediksi
oleh orang lain membuat teks itu menjadi sebuah hasil yang harus diperjuangkan
tentang maknanya.
Bersamaan
dengan Janet Woollacott, Bennett bahkan melampaui dirinya sendiri dalam
mengahadapi sebuah teks, menurut mereka teks itu sendiri adalah sebuah objek
yang tidak diketahui mungkin pengetahuannya. Disini bagi saya sebuah teks
memang terkadang menjebak diri kita, disitu terkadang sebuah pengertian yang
tercantum berbeda dengan apa yang sudah kita pelajari. wajar saja bila kita
terkadang terjebak dalam teks dan melupakan waktu demi sebuah teks yang
memiliki perbedaan, padahal kita juga memahami inti dari teks yang disampaikan
merujuk pada pengertian yang sama dan satu.
Tidak
sampai disitu saja ketika ada teks pasti disitu ada penulisnya , dan disini
saya mencantunkan sebuah perencanaan penulis menurut Bunga dan Hayes (1981)
model itu sangat menentukan, hal ini menunjukkan bahwa proses dalam menulis
teks dipengaruhi oleh tugas dan dalam jangka waktu yang panjang penulis
menuangkan yang ada dalam memorinya, dan fitur utama disini adalah :
Ø Menulis memiliki tujuan
Ø Mereka berencana secara ekstensif
Ø Perencanaan melibatkan mendefinisikan masalah retoris,
menempatkannya dalam konteks kemudian mengeksplorasi bagian-bagiannya, tiba
disolusi dan akhirnya menerjemaahkan ide-ide ke halaman.
Ø Semua pekerjaan dapat ditinjau, di evaluasi dan di revisi bahkan
sebelum teks di produksi.
Ø Perencanaan, penyusunan, merevisi dan mengedit yang rekursif,
interaktif dan berpotensi simultan.
Ø Rencana dan teks terus menerus di evaluasi dlam umpan balik.
Ø Seluruh proses diawasi olah kontrol eksekutif yang disebut monitor.
Ini adalah sebuah model komputer khas teorisasi dalam psikologi kognitif dan
artificial intelligence, memberikan prioritas kepada mekanisme seperti memori.
Dari semua itu,
kita dapat menarik kesimpulan bagaimana kita bisa mmahami sebuah teks, dari
keterampilan kita membaca aksara dan mengartikan dari perkata menjadi kalimat,
paragraf dan sebuah bacaan, setelah itu bagaimana kita mampu mengolah apa yang
kita dapat menajadi sajian yang menarik dan memiliki makna dari setiap yang
disajikan. Kemudian menjadikan sebuah teks memanglah tidak semudah saat kita
membalikan telapak tangan ataupun mengedipkan mata kita, untuk menjadikan
sebuah teks yang baik, kita juga harus melalui konteks dalam menulisnya harus
melalui proses dan waktu yang panjang, namun setelah itu belum tentu kita
mendapatkan hasil yang maksimal. Disitu pula kita harus bisa menjadi orang yang
cerdas untuk membuat sebuah teks yang bercita rasa tinggi.