Class Review 5


LAGI-LAGI KONTEKS
By : Atin Hartini

Minggu kemarin, tepatnya tanggal 03 Maret 2014, saya tidak bisa mengikuti mata kuliah writing dikarenakan sakit. Malam ini saya harus mengukir ilmu diatas kertas putih ini, namun saya bingung harus mulai menulis dari mana? Saya tidak tahu harus menulis di class review tentang apa. Namun saya tak tinggal diam, saya mulai menanyakan tentang apa saja yang harus dibahas dalam class review sekarang. Menurut teman saya, Mr.Lala minggu kemarin masih membahas sekitar kesalahan kita dalam menulis dan Beliau juga sedikit menyinggung tentang cerita Colombus.
Pada class review kali ini saya akan membahas materi yang mencakup konteks, delapan parameter dalam konteks, writing and culture, writing and technologi, writing and genre, writing and identity, dan juga hubungan antara literasi dan sejarah. Jika kita melihat kembali kebelakang tentang tugas membuat critical review, di sana terdapat banyak sekali kesalahan. Mulai dari struktur teks yang kurang tepat, cara mengaitkan satu masalah ke masalah lainnya yang belum benar dan masih banyak lagi kesalahan di dalam teks yang saya buat itu. Terjebak dalam hal-hal sepele dan tidak akrab dengan kata kunci yang disebut wacana kelas, yaitu menceritakan fakta-fakta tentang konflik agama tanpa menunjukkan titik tegas pandang. Struktur generik pun tidak dibangun dengan baik. Pola Referensi yang hilang. Dalam power point, Mr.Lala menjelaskan bahwa satu hal yang bisa ia katakan yaitu: ada banyak ruang untuk perbaikan. Ketika kita terjebak dalam kesalahan, kita masih ada kesempatan dan mempunyai ruang untuk memperbaikinya.

Menurut (Hyland  2002; 2009) ada beberapa sejumlah kunci isu yang mendominasi pemahaman saat penulisan yaitu : mengeksplorasi lebih dalam review class kita dengan menyangkut pautkan konteks, literasi, budaya, teknologi, aliran dan identitas. Dalam penulisan,kita tidak boleh sembarangan. Ketika kita menulis, konteksnya itu harus jelas dan tepat. Ketika kita tidak paham pada konteks, otomatis kita tidak bakal bisa menulis yang baru. Kita juga harus mengeskplorasikan sesuatu yang lebih menarik dalam tulisan itu.
Untuk pembahasan pertama yang akan saya bahas yaitu mengenai konteks dari sudut pandang Ken Hyland.
1.      Konteks
Menurut Ken Hyland, cara untuk memahami tulisan dikembangkan melalui pemahaman konteks yang semakin canggih. Perlu disadari bahwa makna bukanlah sesuatu yang berada dalam kata-kata yang ditulis, tetapi diciptakan dalam interaksi antara penulis dan pembaca karena writer and reader memahami kata-kata dengan cara yang berbeda, masing-masing berusaha  menebak niat yang lain. Sebagai akibatnya, analisis dan guru sekarang mencoba untuk memperhitungkan pribadi faktor-faktor kelembagaan, dan sosial yang mempengaruhi tindakan menulis. Secara tradisional, faktor-faktor  kontekstual sebagian besar dipandang sebagai ‘objektif variabel kelas, gender dan ras,’ tapi sekarang cenderung dipandang apa para peserta melihat secara relevan.
Pandangan Dijk mengenai konteks, ini bukan situasi sosial yang mempengaruhi (atau dipengaruhi oleh) wacana, tetapi cara peserta yang mendefinisikan seperti itu. Konteks demikian bukan semacam kondisi ‘objektif’ atau sebab langsung, melainkan (inter)konstruksi subjektif dirancang dan ongoingly diperbarui dalam interaksi oleh peserta sebagai anggota kelompok dan masyarakat. Jika mereka, semua orang dalam situasi sosial yang sama akan berbicara dengan cara yang sama. Konteks adalah peserta konstruksi.
Adapun hubungan antara menulis dan identitas ialah bahwa penelitian baru telah menekankan hubungan dekat antara menulis dengan identitas seorang penulis. Dalam arti luas mengacu pada cara bahwa orang-orang menampilkan siapa diri mereka satu sama lain (Benwell dan Stoke  2006: 6). Pengertian saat ini identitas melihatnya sebagai konteks prular, yang mendefinisikan secara sosial, dan dinegosiasikan melalui pilihan penulis buat dalam wacana mereka.
Selanjutnya beralih ke pembahasan tentang kaitan kontek dan teks menurut lehtonen. Konteks dapat diartikan memasukkan berbagai macam hal seperti faktor antara penulis dan oembaca, membawanya kedalam proses formasi pembentukan makna, terutama kemampuan mereka yang tidak bersambungan satu sama lain dan kerangka nilai pendapat.
Lanjut pada point tentang isu kunci dalam menulis teks yang saling keterkaitan . Dalam model interaktif sosial, makna diciptakan melalui 'konfigurasi yang unik dan interaksi apa yang baik pembaca dan penulis membawa ke teks' (Nystrand et al, 1993:. 299). Sementara banyak dari janji hypertext telah ditumbangkan oleh komersialisme yang agresif dari Internet,namun menawarkan keuntungan besar bagi para penulis yang ingin mengekspresikan argumen mereka. Lebih refleksif dan relativistik cara dengan memanfaatkan kehadiran eksplisit suara lain dan interpretasi .Mungkin yang lebih radikal , pergeseran dari cetak ke layar rmerongrong ketetapan teks seorang penulis .
Kemudahan yang kita dapat untuk mengumpulkan sejumlah teks besar dan pasti mereka bersama-sama dengan cara penulisan mereka tidak pernah disebut sebagai sarana bahwa tulisan asli tidak lagi terhormat, dan plagiarisme yang menjadi lebih sulit untuk polisi . Setiap teks menjadi struktur sementara dalam labirin cairan teks-teks lain dari waktu lain dan
konteks. Selain itu, menjadi sulit untuk mengidentifikasi ketika sepotong
menulis adalah benar-benar selesai , karena pembaca tidak hanya dapat mengubahnya tetapi
terus berubah sebelum mencapai pembaca
Kemudian hubungan literasi dengan sejarah. Selain mempunyai ilmu bantu dalam keilmuannya, sejarah juga menjalin dengan ilmu-ilmu lainnya terutama sesama ilmu sosial. Lantas apa sih hubungan sejarah dengan literasi? Di sini dapat kita lihat bahwa sejarah dan literasi tidak bisa dipisahkan karena saling membutuhkan. Namun yang lebih dominan membutuhkan bantuan adalah sejarah guna mengungkap suatu masalah. Perkembangan sejarah setelah perang dunia ke II menunjukkan kecenderungan kuat untuk mempergunakan ilmu-ilmu sosial dalam kajian sejarah.
Adapun menurut Lehtonen hubungan literasi dalam sejarah umat manusia, bahwa menulis adalah banyak akuisisi paling lambat berbicara. Bagi warga Barat pada pergantian milenium , membaca dan menulis tampaknya kegiatan paling alami dalam hidup, tapi berpikir global dan istilah sejarah mereka apa-apa tapi alami. Meskipun penggunaan ilmu-ilmu sosial sangat penting, namun terdapat pula kalangan yang justru sebaliknya atau kontra dengan cara berpikir semacam itu. Keberatan mereka juga didasarkan pada beberapa pemikiran. Pertama, bahan sumber sejarah sering tidak lengkap, sehingga kurang memberi pegangan untuk menerapkan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial. Kedua, sering pendekatan sosio-historis dipersalahkan memotong kekayaan historis, karena ia hanya menaruh minat pada segi-segi tertentu dari masa silam yang dapat dikaji dengan bantuan ilmu-ilmu soial. Alhasil, masa silam tidak dapat dipaparkan seutuhnya.
Lanjut pada intertekstualitas dalam wacana. Intertekstualitas adalah Pengertian Bakhtin intertekstualitas menunjukkan bahwa wacana selalu terkait dengan wacana lain, baik saat mereka berubah dari waktu ke waktu dan dalam kesamaan mereka pada setiap titik waktu. Ini menghubungkan teks-pengguna ke jaringan teks sebelum dan sebagainya menyediakan sistem pilihan untuk membuat makna yang dapat dikenali oleh lain teks-pengguna. Karena mereka membantu menciptakan makna yang tersedia dalam suatu budaya, konvensi yang dikembangkan dengan cara ini menutup interpretasi tertentu dan membuat orang lain lebih mungkin, dan ini membantu menjelaskan bagaimana penulis membuat pilihan retoris tertentu saat menulis.
Isu Intertekstualitas menurut Bakhtin (1986), seperti yang dikutip dalam Hyland (2002): bahwa bahasa dialogis:percakapan antara penulis dan pembaca dalam suatu kegiatan yang sedang berlangsung. menurut Hyland (2002) bahwa menulis mencerminkan jejak kegunaan sosialnya karena hal ini terkait dan selaras dengan teks-teks lain yang di atasnya itu membangun dan yang mengantisipasi. Bahkan Bakhtin lebih lanjut mengatakan dis Bakhtin (1986): "Setiap ucapan membantah, menegaskan, suplemen, dan bergantung pada orang lain, mengandaikan mereka untuk dikenal dan entah bagaimana membawa mereka ke account.
Genre sini ditulis dianggap sebagai bagian dari situasi sosial yang berulang dan ditandai, daripada bentuk-bentuk tertentu, dengan penulis melakukan penilaian dan kreativitas dalam merespon kondisi yang sama (Hyland 2002).
Intertekstualitas juga merupakan salah satu teori yang digunakan oleh pembaca untuk memperoleh makna dalam proses menbaca suatu karya sastra. Karena setiap pembaca yang berhadapan dengan teks pasti bertemu dengan proses pemaknaan. Pada hakekatnya seseorang membaca untuk memperoleh sesuatu, entah itu berupa informasi atau makna dari teks yang dibaca tersebut. Teori intertekstualitas pada awalnya diperkenalkan oleh Julia Kristeva seorang peneliti dari Prancis mengungkapkan dalam (Culler, 1981: 104) bahwa jumlah pengetahuan yang dapat membuat suatu teks sehingga memiliki arti, atau intertekstualitas merupakan hal yang tak bisa dihindari, sebab setiap teks bergantung, menyerap, atau merubah rupa dari teks sebelumnya. Teks merupakan satu permutasian teks-teks lain. Intertekstual memandang teks berada di dalam ruang satu teks yang ditentukan, teks merupakan bermacam-macam tindak ujaran, teks diambil dari teks-teks lain, serta teks bersifat tumpang-tindih dan saling menetralkan satu sama lain (Kristeva, 1980:36—37).
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa class review yang dibahas lebih terfokus pada konteks. Dalam konteks ada delapan parameter yang harus kita ketahui, yaitu writing and culture, writing and technologi, writing and genre, writing and identity, dan juga hubungan antara literasi dan sejarah. Seperti yang dijelaskan oleh Ken Hyland bahwa konteks merupakan cara untuk memahami tulisan, dikembangkan melalui pemahaman konteks yang semakin canggih. Perlu disadari bahwa makna bukanlah sesuatu yang berada dalam kata-kata yang ditulis, tetapi diciptakan dalam interaksi antara penulis dan pembaca karena writer and reader memahami kata-kata dengan cara yang berbeda, masing-masing berusaha  menebak niat yang lain.
Dan kemudian hubungan literasi dengan sejarah. Selain mempunyai ilmu bantu dalam keilmuannya, sejarah juga menjalin dengan ilmu-ilmu lainnya terutama sesama ilmu sosial. Lantas apa sih hubungan sejarah dengan literasi? Di sini dapat kita lihat bahwa sejarah dan literasi tidak bisa dipisahkan karena saling membutuhkan. Namun yang lebih dominan membutuhkan bantuan adalah sejarah guna mengungkap suatu masalah.
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment