MAHA
DASYATNYA MENULIS
Author: Dwi Arianti
Author: Dwi Arianti
Bukan menjadi hal yang aneh ketika mendengar kata
“WRITING”. Hal ini karena, hidup kita tidak akan terlepas dari yang namanya writing. Writing inilah yang akan membuat seseorang memiliki kemampuan berliterasi. Literasi adalah faktor
yang sangat dahsyat. Hal ini penting terhadap kemajuan kehidupan di dunia ini. Berbicara mengenai writing, maka pasti berkaitan dengan
teks atau tulisan. Dimana teks berisi sekumpulan kata-kata bermakna yang diciptakan penulis.
Makna suatu teks diciptakan oleh seorang pembaca. Disinilah, penulis harus
menciptakan teks yang mudah dipahami oleh pembaca dalam memahami dan
menciptakan makna, sehingga penulis haruslah memahami mengenai intertekstualitas.
Intertextuality (intertekstualitas) adalah pembentukan
makna teks oleh teks lain yang lain. Menurut Bakhtin yang dikutip dari Key Hyland
(2002:33), intertextuality adalah wacana selalu terkait dengan wacana lain,
baik saat wacana tersebut berubah dari waktu ke waktu atau kesamaan wacana
tersebut pada setiap titik. Ini menghubungkan teks pengguna pada teks
sebelumnya dan menyediakan sistem pilihan untuk membuat makna yang telah
dihubungkan tersebut.
Menurut Kristeva, intertextualitas dapat digambarkan
sebagai:
1.
Kehadiran suatu
teks di dalam teks yang lain.
2.
Adanya petunjuk
yang menunjukkan hubungan antar teks dengan teks yang sebelumnya.
3.
Adanya fakta bahwa
penulis suatu teks pernah membaca teks-teks yang berpengaruh sehingga nampak
jejak-jejaknya.
4.
Pembaca suatu teks
tidak akan pernah bisa membaca teks secara terpisah dengan teks yang lain.
Fairclough (1992:117) membedakan intertekstualitas
menjadi dua jenis yaitu:
·
Intertekstualitas manifest
Jenis ini mengacu
pada berbagai cara untuk menggabungkan atau menanggapi teks-teks lain melalui
kutipan, parafrase, ironi, dan sebagainya.
·
Interdiscursivitas
Jenis ini menyakut penggunaan
teks yang diambil dari jenis teks yang dikenali atau genrenya. Teks tersebut
selanjutnya dikaitkan dengan beberapa makna institusi dan sosial.
James E. Porter membagi intertekstualitas menjadi dua
bagian yaitu iterability dan presupposition. Iterability berarti semua teks
berisi jejak dari teks-teks lain yang membantu pembaca untuk memahami dan
membuat makna. Sedangkan presupposition adalah asumsi sebuah teks yang membuat
tentang pembaca, referensi serta konteksnya. Dalam hal ini, penulis harus
menciptakan ide-ide baru. Ini berarti bahwa penulis harus memiliki kemampuan
untuk mengubah teks dan cara berpikir dari masyarakat.
Hyland (2002; 2009) dalam bukunya yang berjudul “Writing
Research and Teaching” mengatakan bahwa ada beberapa key issue yang mengikuti
current understandings of writing”
diantaranya yaitu context, literacy, culture, technology, genre dan identity.
1.
Writing and
context
Seseorang memiliki cara untuk memahami teks (tulisan)
yang dikembangkannya melalui pemahaman yang semakin cangkin mengenai konteks.
Perlu disadari bahwa makna bukanlah sesutu yang berada di dalam kata-kata yang
ditulis yang kemudian dikirim kepada orang lain. Akan tetapi makna diciptakan
melalui interaksi penulis dan pembaca dalam memahami kata-kata tersebut dengan
cara yang berbeda. Menurut Cutting (2002:3) menyatakan bahwa ada tiga aspek
penafsiran konteks yaitu:
·
konteks situasi
(Situasional Context), apa yang diketahui seseorang mengenai apa yang dapat mereka lihat di sekitarnya.
·
Konteks latar
belakang pengetahuan (background knowledge context), apa yang diketahui
seseorang mengenai dunia, aspek kehidupan, dan satu sama lainnya.
·
Konteks co-
tekstual (Co-textual Context), apa yang diketahui seseorang mengenai apa yang
telah mereka katakan.
Menurut Halliday, konteks budaya
bergerak dalam konteks yang lebih luas dan lebih abstrak. Hal ini mengacu pada
cara-cara struktur soaial, hirarki, ideologi institusi dan disiplin dapat mempengaruhi
bahasa yang digunakan dalam keadaan tertentu. Halliday melihat konteks budaya
seperti yang diungkapkan dalam konteks yang lebih spesifik dari situasi,
sehingga kita menggambarkan situasi sosial sebagai bagian dari budaya yang
lebih luas. Dimensi konteks menurut Halliday (1985) ada tiga jenis, yakni
·
Field (what is happening)
merupakan jenis dari tindakan sosial atau hal apa yang terkandung dalam teks
tersebut.
·
Tenor (who is taking part)
merupakan aturan atau hubungan dari partisipan.
·
Mode (what the part the languange
is playing) mengenai bahasa yang diperlukan seseorang untuk melakukan sesuatu.
2.
Writing and literacy
Literasi adalah kemampuan membaca dan menulis atau dapat dikatakan dengan
kemampuan seseorang menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Konsepsi
modern literasi mendorong seseorang untuk melihat tulisan sebagai praktik
sosial, bukan sebagai keterampilan abstrak dipisahkan dari orang-orang dan
tempat-tempat di mana mereka menggunakan teks. Menurut Scribner dan Cole (1981:
236) mengatakan bahwa “literasi bukan hanya mengetahui cara membaca dan menulis
teks tertentu, tetapi menerapkan pengetahuan untuk tujuan tertentu dalam menggunakan
konteks tertentu”. Dimana peran literasi adlaha membantu seseorang untuk
memahami bagaimana orang memahami hidup mereka melalui praktik rutin (membaca
dan menulis).
Sekolah yang berbasis tradisional menganggap keaksaraan sebagai kemampuan
belajar yang memfasilitasi berpikir logis, akses informasi, dan partisipasi
dalam peran masyarakat modern. Pandangan ini, melihat literasi psikologis dan
tekstual, sesuatu yang dapat diukur dan dinilai. Berbeda dengan literasi sosial
dimana literasi (menulis dan membaca) merupakan cara menghubungkan seseorang dengan orang lain dengan membawa makna sosial
tertentu. Dari sini jelas bahwa literasi dapat disesuaikan dengan konteksnya dan
tidak mengarah ke satu set kemampuan kognitif atau teknis .
Ada beberapa pandangan sosial mengenai literasi (Barton, 2007:34-5), yaitu:
1.
Literasi adalah kegiatan sosial
dan jauh lebih baik dijelaskan dalam bentuk praktek literasi seseorang.
2.
Seseorang memiliki literasi
berbeda yang dihubungkan dengan berbagai bidang kehidupan yang berbeda pula.
3.
Praktek literasi seseorang
terletak dalam hubungan sosial yang lebih luas, sehingga perlu penggambaran
pengaturan peristiwa literasi.
4.
Praktek literasi dibentuk oleh
lembaga sosial, kekuasaan, dan beberapa literasi yang terlihat dan berpengaruh
lebih dominan.
5.
Literasi didasarkan pada sistem
simbol sebagai cara untuk menunjukkan dunia kepada orang lain dan pribadi kita sendiri.
6.
Sikap seseorang dan nilai-nilai
yang berkaitan dengan panduan literasi membimbing tindakan seseorang untuk
berkomunikasi.
7.
Sejarah kehidupan pasti mengandung
banyak peristiwa literasi dimana seseorang belajar serta berperan pada saat
ini.
8.
Peristiwa literasi mempunyai
sejarah sosial yang membantu menciptakan prakteknya pada saat ini.
Barton dan Hamilton (1998:6), mendefinisikan bahwa praktek literasi sebagai cara budaya umum menggunakan bahasa tulis yang menarik dalam hidup mereka. Oleh karena itu, menekankan pada sentralitas konteks dan menunjukkan bagaimana kegiatan literasi yang berkaitan dengan struktur sosial yang mereka tanam. Tidak semua praktek literasi itu sama. Arti dari praktek literasi dibangun dari konteks yang memiliki kekuatan yang cukup besar dalam sebuah masyarakat seperti pendidikan dan hukum.
3.
Writing dan culture
Praktek literasi
dalam masyarakat yang berbeda akan mempengaruhi pilihan linguistik seseorang.
secara umum, budaya dipahami sebagia sejarah yang ditransmisikan dan jaringan sistematis
maknayang memungkinkan seseorang memahami, mengembangkan, serta
mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan mengenai dunia. (Lantolf, 1999). Hal
ini mengakibatkan, languange and learning are inextricably bound up with
culture (Kramsch,1993). Menulis dan pengajaran merupakan bidang Retorika
Konstratif.
Retorika konstratif
adalah area penelitian dalam akuisisi bahasa kedua yang mengidentifikasi
masalah dalam komposisi yang dihadapi oleh penulis. Retorika konstratif
mempertahankan bahasa dan menulis sebagai fenomena budaya. Seseorang memiliki
presepsi tertentu mengenai teks yang mereka pelajari dalam budaya mereka
sendiri.
4. Writing and technology
Di era globalisasi ini, teknologi merupakan faktor penting bagi kehidupan
seseorang. orang yang berliterasi, harus mampu mengendalikan berbagai media
elektronik dan cetak. Teknologi memiliki dampak yang sangat besar pada cara dan
genre yang ditulis, identitas pengarang, hasil akhir yang diciptakan, serta
cara penulis terlibat dengan pembaca. Beberapa pengaruh teknologi terhadap
writing, diantaranya:
·
Mengubah proses creating,
editing, proof reading dan formatting.
·
Memadukan text tertulis dengan
media visual dan audio secara lebih mudah.
·
Mendorong menulis non-linear dan
proses membaca melalui hypertext link.
·
Tantangan pemikiran tradisional
tentang authorship, authority dan intellectual proverty.
·
Memudahkan penulis untuk akses
informasi ledi lanjut serta menghubungkan informasi tersebut dengan cara yang
baru.
·
Mengubah hubungan reader dan
writer bahwa membaca dapat sering “write back”.
·
Memperluas berbagai genre dan
peluang untuk mencapai audience yang lebih luas.
·
Mengaburkan perbedaan saluran
budaya tulis dan lisan.
·
Memperkenalkan kemngkinan untuk
membangun dan memproyeksikan identitas sosial yang baru.
·
Memasilitasi masuk ke komunitas
wacana online yang baru.
·
Meningkatkan marginalisasi
penulis yang terisolasi dari teknologi menulis yang baru.
·
Menawarkan writing teacher
tantangan dan peluang baru untuk praktek di kelas.
Fitur penulisan berbasis komputer
adalah cara untuk memfasilitasi menulis dengan elektronik, secara dramatis mengubah
kebiasaan tulisan kita. Fitur ini memungkinkan kita untuk memotong dan
menyisipkan, menghapus dan menyalin, memeriksa ejaan dan tata bahasa, gambar
impor dan mengubah setiap aspek format berarti bahwa teks-teks kita sekarang lebih
cantik dan mudah direvisi. Perubahan yang signifikan sama hasil dari cara media
elektronik memungkinkan kita untuk mengintegrasikan gambar dengan mode lainnya
makna relatif mudah.
Teknologi elektronik ternyata mempercepat pertumbuhan suatu preferensi
untuk gambar di atas teks dalam banyak domain sehingga kemampuan untuk memahami
dan bahkan menghasilkan teks multimodal semakin menjadi kebutuhan praktek literasi
di bidang pendidikan, bisnis, media dan lainnya. Menulis berarti “perakitan
teks dan gambar“ dalam desain visual yang baru sehingga penulis harus memahami cara
tertentu untuk mengkonfigurasi dunia yang menawarkan modus yang berbeda. Menurut
Kress (2003), modus yang berbeda memiliki affordances yang berbeda, atau
potensi dan keterbatasan makna.
5.
Writing and genre
Genre adalah salah satu konsep yang paling penting dalam bahasa pendidikan
pada saat ini. Setiap orang harus terbiasa mengahadapi genre yang akan dihadapi ketika berpartisipasi dalam
acara sosial. Hyon (1996) mengidentifikasi tiga pendekatan genre, diantaranya:
·
Pandangan Systemic Fungsional
Genre adalah sesuatu (anggota
suatu budaya) yang berinteraksi dan berorientasi pada tujuan proses sosial. Genre
dapat diartikan sebagai proses bahasa. Pada pendekatan ini genre dikaitkan
dengan grammar. Dalam writing, genre tersebut dikodifikasikan dengan cara yang
berbeda. Cara tersebut, mempertimbangkan bagaimana teks terstruktur dan terorganisir
pada seluruh teks yang terkait dengan tujuannya, audience dan pesan. Kemudian membuat
bagian dari teks efektif, seperti paragraf dan kalimat harus terstruktur dan terorganisir.
·
English for Spesific Purposes
(ESP)
Orientasi ini mengikuti SFL dalam
penekanannya kepada sifat formal dan komunikatif dari tujuan genre, tetapi
berbeda dalam mengadopsi kosep genre secara lebih sempit. Genre adalah sumber
daya yang tersedia dalam budaya yang luas dalam wacana masyarakat tertentu. Genre
adalah pengatur kehidupan dari discourse community.
·
Retorika baru
Pada pendekatan
ini, genre dilihat lebih fleksibel dan kurang mudah diterapkan dalam mengajar. Penekanan
dari pendekatan ini lebih besar pada cara-cara genre berkembang. Genre adalah
hubungan fungsional antara teks dan situasi retoris. Ini berari bahwa genre
bukan merupakan jenis teks atau situasi, tetapi merupakan hubungan dari
keduannya. Dimana jenis teks bertahan karena teks tersebut bekerja untuk
merespon secara efektif terhadap situasi yang berulang.
6.
Writing and identity
Menulis dan identitas penulis memiliki hubungan yang sangat dekat. Benwell
dan Stokoe (2006: 6) mengatakan bahwa identitas mengacu pada cara seseorang
menampilkan dirinya. Identitas merupakan kinerja dimana hal itu harus dilakukan
bukanlah harus dimiliki. Pada dasrnya teks atau tulisan adalah sesuatu yang
dapat membangun pribadi seseorang. teks adalah cerminan dari identitas
seseorang. Identitas melibatkan interaksi antara praktek konvensiona literasi dan
nilai-nilai, kepercayaan dan budaya.
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, maka disimpulkan bahwa
intertekstualitas adalah pembentukan makna
teks oleh teks lain yang lain. Ini berarti bahwa, adanya hubungan antara teks
pengguna pada teks yang bertujuan untuk membuat pembaca memahami dan mengerti
makna dari teks tersebut. Hyland (2002) dalam bukunya yang berjudul “Writing
Research and Teaching” mengatakan bahwa ada beberapa key issue yang mengikuti
current understandings of writing”
diantaranya yaitu context, literacy, culture, technology, genre dan identity. Issue
ini tenyata memiliki keterkaitan dengan writing yang sangat kuat.
Writing ternyata memiliki kekuatan yang berpengaruh
terhadap faktor lain. Hal ini berarti bahwa writing sangatlah hebat. Faktor inilah
yang dapat membuat seseorang memiliki kemampuan literasi. Literasi inilah yang menjadi
faktor yang mempunyai pengaruh terhadap faktor yang lain, yang dapat menunjang
kemajuan bangsa.