Components in Education Social Development

1st  Critical Review
Components  in Education Social Development
(by Erni Nuro)

Pembahasan mengenai ilmu pendidikan tidak mungkin terbebaskan dari obyek yang menjadi sasarannya, yaitu manusia. Manusia adalah mahkluk pedagogik, yaitu makhluk yang membawa potensi yang dapat didik dan mendidik, sehingga mampu menjadi khalifah di bumi, sebagai pendukung dan pengembang kebudayaan. Hal ini dapat dipahami karena Allah SWT melengkapi manusia dengan akal dan perasaanyang dapat menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan membudayakan ilmu yang dimilikinya. Ini membuktikan bahwa kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia, itu adalah karena akal dan perasaan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Kehidupan manusia memang tidaklah bisa terlepas dari lingkungan sosial. Manusia sehari-hari membutuhkan interaksi dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia bukanlah makhluk diruang hampa, melainkan sebagai makhluk sosial sehingga hidup dan kehidupannya tidak lepas dari interksi dengan orang lain.
Kemudian nilai-nilai yang ada dalam masyarakatpun akan menjadi pedoman dalam berperilaku termasuk perilaku keagamaan dan perilaku kebiasaan. Perubahan nilai-nilai dalam masyarakat akan berdampak pada perubahan perilaku manusia yang ada didalamnya. Untuk itu manusia memiliki sikap agresif untuk merubah lingkungan sosialnya, adapula yang mengikuti perubahan nilai-nilai dalam lingkungan masyarakat dan ada yang bersikap netral. Jadi lingkungan sosial kemasyarakatan berdampak terhadap perilaku manusia termasuk perilaku keagamaan dan perilaku kebiasaan, dimana perilaku-perilaku tersebut akan dapat merubah lingkungan, mengikuti lingkungan dan bersikap netral.
Ketika perilaku-perilaku terseut di terapkan dalam dunia pendidikan, maka pendidikan bertugas untuk menyiapkan peserta didik agar dapat mencapai peradaban yang maju melalui perwujudan suasana belajar yang kondusif, aktivitas pembelajaran yang menarik dan mencerahkan, serta proses pendidikan yang kreatif.
Di dalam dunia pendidikan, mungkin sebagian dari mereka menyadari bahwa sebenarnya keseluruhan proses hidup dan kehidupan siswa akan selalu diwarnai oleh hubungan dengan orang lain, baik itu dengan lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas.  Akan tetapi kesadaran tersebut tidak tertanam dalam benak mereka, terutama orang tua yang sebagai peran untuk mengaktifkan putra-putrinya. Sebagai mahluk sosial, para siswa pasti selalu membutuhkan pergaulan dalam hidupnya dengan orang lain, pengakuan dan penerimaan terhadap dirinya dari orang lain akan memberikan warna krhidupan yang sebenarnya. Mereka ingin diakui, mereka ingin dimengerti, mereka pula ingin dipuji.
Berhasil ataupun gagalnya siswa dalam proses penyesuaian sosial di sekolah akan sangat berkaitan erat dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Salah satu factor yang dapat berpengaruh kuat terhadap proses penyesuaian siswa adalah kecerdasan emosional.  Siswa sebagai individu dalam lingkungan sekolah dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia berada untuk dapat hidup dengan nyaman dan harmonis dengan keadaan lingkungan disekitarnya. Memang benar pendapat  A. Chaidar Alwashilah  salah satu faktor dari keberhasilan siswa, terutaman brhubungan baik dengan teman sebayanya dengan menjaga hubungan sosialnya tentunya untuk menciptakan peningkatan wacana sipil. Akan tetapi faktor yang lebih utama mengenai faktor ini adalah mengenai kecerdasan emososionalnya, serta faktor faktor internal dan eksternal.
Faktor internal dengan factor kekuatan yang ada dalam diri individu yang meliputi kondisi jasmaniah, penentu psikologis seperti kematangan, perkembangan sosial, moral, emosional kecerdasan, bakat, dan minat. Sedangkan factor eksternal sebagai factor kekuatan yang berada diluar individu seperti  iklim kehidupan keluarga, kehidupan sekolah dan masyarakat. Hal ini diperkuat oleh Moh.Surya (1985:16) mengemukakan bahwa ” Factor-faktor yang mempengaruhi peneyesuaian sosial sebagai berikut: (a) Kondisi jasmani yang meliputi pembawaan, susunan jasmaniah, system syaraf, kelenjar otot, kesehatan dan lainnya; (b) Kondisi perkembangan dan kematangan, meliputi perkembangan  dan kematangan intelektual, sosial, moral dan emosional”.
Sedangkan WA Gerungan (1988:180) mengemukakan factor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah sebagai berikut:
1.      Kondisi lingkungan meliputi rumah/keluarga, sekolah dan masyarakat.
2.      Penentu psikologis yang meliputi pengalaman belajar, pembiasaan, determinasi diri, frustasi dan konflik.
3.      Penentua cultural berupa budaya dan agama.
Dari orang tua sebagai pendukung proses belajar menjadi sebagai peserta dalam proses belajar. Dahulu orang tua itu hanya berperan sebagai pendukung proses belajar mengajar bagi anak anaknya. Mereka menyediakan biaya untuk pendidikan dan siap mencarikan keperluan apa saja demi suksesnya proses belajar bagi anaknya. Dengan bantuan kemajuan teknologi informasi ternyata juga membawa perubahan bagi peran mereka dalam pendidikan. Dengan teknologi yang ada orangtua bisa mengarahkan putra putrinya dari mana informasi yang tepat bisa diambil dan memeberi arahan mereka dalam mengambil keputusan penting dalam proses belajarnya.
Ternyata peran keluarga yang meliputi status sosial ekonomi , kebutuhan keluarga, sikap dan kebiasaan orang tua dan status anak dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam meningkatkan mutu pendidikanya. Peran utama yang sangat penting dalam dunia pendidikan tidak salah lagi yaitu orang tua. Dengan memenuhi kebutuhan ekonominya seperti melengkapi kebutuhan sekolah anaknya, sikap terdidik yang diterapkan dalam keluarganya mampu menjadikan tauladan serta pendukung untuk anak-anaknya. Pengalam belajar yang dimilki oleh stiap siswa ternyata menyimpan seribu makna untuk meningkatkan mutu keberhasilannya . Organisasi sekolah, peranan guru dalam kegiatan belajar mengajar itulah yang akan dijadikan sebagai sebuah pengalaman dalam proses belajarnya. Kemudian peranan media massa juga terpengaruh bagi keberhasilan siswa. Besarnya pengaruh alat komunikasi seperti perpustakaan, televise, film, radio dan sebagainya.
Dengan pendidikan liberal misalnya, siswa mampu menanamkan prinsip-prinsip pendidikan agar ketika lulus mampu menhadapi perubahan dunia. Untuk itu mengapa adanya pesantren di negara kita, salah satu tujuannya adalah untuk mentransmisikan islam tradisional sebagaimana yang telah tertera dalam kitab-kitab klasik terdahulu. Disinilah mulai dibangun pendidikan yang berwawasan ganda. Selain mengajarkan pendidikan islam, pesantern juga mengajarkan pendidikan yang berwawasan universal. Sehingga menciptakan santri serta santri watinya memiliki akhlak,pendidikan, serta kebiasaan yang baik. Karena dipesantren mengajarkan kebiasaan untuk berakhlak yang baik, baik itu dengan guru, orangtua maupun teman sebaya. Sehingga   nilai-nilai budaya serta nilai moral tertanam sejak kecil. Dengan berakhlak yang baik siswa mampu menyadari bahwa mana yang baik dan mana yang buruk. Hal ini melatih bagaimana siswa dalam masa proses belajar, dengan cara bagaimana menghormati guru, teman bahkan masyarakat. Dengan landasan yang mereka tanamkan sejak kecil, maka landasan tersebut dapat dijadikan sebagai pengingat ketika berbuat yang tidak benar.
Didalam pendidikan yang ada dalam pesantren pun termasuk pendidikan liberal mereka diajarkan materi-materi ynag lebih mudah dipelajarinya, dengan belajar dari umum ke khusus. Pembelajaran ini mencakup tiga hal yaitu:
1.      Akademik : menulis, matematik, sains;
2.      Aplikasi : berfikir kritis, belajar yang terintegrasi dan teraplikasi;
3.      Keterampilan lunak : etika, kerja sama, kebinekaan, dan belajar sepanjang hayat (Waston, 2012:201)
Dalam hal ini ternyata bukan hanya interaksi dengan antar teman sebaya atau dengan keterampilan dasar saja yang diajarkan pada anak sekolah dasar. Justru perlu dengan praktek serta kebiasaan yang seharusnya diterapkan untuk pemula pendidikan. Karena seburuk apapun anak itu masih bisa diluruskan pola pikir, tingkah laku serta kebiasaannya. Karena anak kecil itu seperti kertas putuh yang kosong. Ketika kertas putih itu berada ditangan para penulis handal dan bertuliskan indah maka kertas tersebut akan bernilai mahal harganya, tetapi sebaliknya, ketika kertas tersebut berada di tangan para pemalas, maka kertas tersebut akan berisikan tulisan-tulisan yang tiada makna.
            Keburukan atau kebaikan anak itu bukanlah sepenuhnya dari background orabg tuanaya. Seburuk apapun orang tuanya jika anak tersebut didik dengan baik maka anak tersebut akan menjadi anak yang baik pula. Peran guru menjadi peran utama disekolah. Perhatian, pengertian serta kasih sayang guru kepada anak didiknya akan mampu merubah anak tersebut menjadi apa yang guru inginkan. Dengan perhatian serta kasih sayng ynag duberikannya akan menjadikan siswanya nurut. Sehingga dengan pendidikan kasih sayang yang diajarkan oleh gurunya mampu menciptakan classroom discourse yang efektif.
                         Kemudian indikator-indikator tandar pendidikan liberal yang harusdimilki oleh jebolan S1 itu adalah : 1) mampu berfikir dan menulis secara jelas dan efektif atau mampu berfikir kritis, 2) mampu mengapresiasi secara kritis cara siswa memperoleh pengetahuan dan memahami alam semesta (dengan menguasai dasar-dasar metode matematik dan eksperimen dalam pengetahuan fisik dan biologi, 3) tidak buta budaya-budaya asing, 4) memiliki pengetahuan dan pengalaman dengan memikirkan persoalan-persoalan moral dan etika dan 5) memiliki pengetahuan mendalam di bidang tertentu atau di bidang keahlian Waston (2011:200).
            Kemudian mengenai demi tercapainya pengembangan serta ketrampilan siswa dikelas, perlu juga adanya latar pembelajaran. Bukan hanya dengan menjaga hubungan baik dengan rekan sebayanya, akan tetapi latar pembelaran lebih utama untuk menciptakan kondisi kelas yang kondusif.          
            Suatu kenyataan yang terjadi dalam kehidupan pembelajaran dewasa ini bahwa hasil pembelajaran banyak dipengaruhi oleh proses pembelajaran siswa, perencanaan pembelajaran, dan penataan lingkungan baik belajar maupun sosial dalam kelas, yang kemudian akan berdampak pada kualitas hasil belajar siswa. Pelaksanaan pembelajaran kurang memberdayaan lingkungan belajar, lingkungan belajar siswa disekolah baik di kelas maupun dilingkungan kelas kurang ditata sedemikian rupa yang mendukung proses pembelajaran di kelas, dan para guru dalam mengajar menggunakan model atau pendekatan pembelajaran mengikuti yang sedang dikembangkan namun tidak dibarengi dengan setting kelas yang dituntut oleh model atau pendekatan yang digunakan tersebut 
Dalam teori belajar konstruktivisme individual (teori konstruktivisme Piaget), yang menekankan bahwa pengetahuan kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri dan teori belajar konstruktivisme sosial(teori konstruktivisme Vygotsky), yang menekankan perlunya interaksi sosial, menurut Von Glasersferld juga mengatakan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu dia berinteraksi dengan lingkungannya (Kusmoro,2008:26). Oleh karena itu lingkungan fisik kelas dan lingkungan psiko-sosial kelas, yang dapat mempengaruhi kelancaran kegiatan pembelajaran.
Penataan lingkungan fisik kelas beberapa penelitian menunjukkan bahwa penataan lingkungan kelas yang tepat berpengaruh terhadap tingkat keterlibatan dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran (winzer, dalam siti  Julaeha : 1995). Tujuan utama penataan lingkungan fisik kelas yaitu untuk mengarahkan kegiatan siswa dan mencegah munculnya tingkah laku siswa yang tidak dhiarapkan melalui penataan tempat duduk,perabot, pajangan, dan barang-barang lainnya yang ada didalam kelas. Selain itu, penataan kelas ini harus memungkinkan guru dapat memantau semua tingkah laku siswa sehingga dapat dicegah munculnya masalah disiplin. Melalui penataan kelas ini diharapkan siswa dapat memusatkan perhatiannnya dalam proses pembelajaran dan akan bekerja secara efektif.
Penataan lingkungan psiko-sosial kelas juga salah satu pengaruh interaksi kelas. Iklim psiko-sosial kelas berkenaan dengan hubungan sosial pribadi antara guru dan siswa serta antar siswa. Hubungan yang harmonis antara guru dan siswa serta antar siswa akan dapat menciptakan iklim psiko-sosial kelas yang sehat, dan efektif bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Karakteristi yang harus dimiliki guru demi terciptanya iklim psiko-sosial kelas ialah periang, ramah, tulus hati, dan mendengarkan keluhan siswa, serta percaya diri.  Pandangan tidak realistic terhadap kemampuan siswanya dan dirinya dapat menghambat efektifitas kegiatan pembelajaran.
Guru yang memandang terlalu rendah kemampuan siswanya akan mengembangkan kegiatan pembelajaran yang membosankan. Akrab dengan siswa dalam batas hubungan guru-siswa untuk mengembangkan hubungan yang baik antara guru-siswa, guru perlu menyediakan waktu untuk mengenal siswa lebih banyak. Melalui bincang-bincang dengan siswa, guru akan  mengetahui banyak informasi tentang keluarga siswa, kegiatan siswa di luar sekolah, hobi mereka, dan lain sebagainya.
Kemudian menurut pandangan Konstruktivis tentang belajar berpandangan bahwa belajar itu adalah kegiatan yang dilakukan oleh murid secara aktif. Murid secara aktif menyeleksi informasi, memberi arti pada informasi tersebut walaupun informasi tersebut belum secara lengkap tersedia.
Pandangan konstruktivisme mengenai classroom discorse, dirumuskan oleh Glaserfeld (dalam Bodner, 1987) “pelajar (learnes) membangun pengetahuannya sendiri. Mereka tidak hanya menagkap dan memantulkan kembali apa yang diceritakan pada mereka atau apa yang mereka baca. Pelajar berusaha menemukan arti dan akan mencari keteraturan dan kecenderungan dari gejala-gejala pada saat informasi yang lengkap atau penuh tidak tersedia”
Jadi menurut pandangan konstruktivisme kegiatan belajar itu adalah kegiatan yang dilakukan secara aktif oleh setiap siswa. Kegiatan aktif mengkonstruksi pengetahuan dari informasi yang diterima indera dan telah melewati proses seleksi. Kegiatan dilakukan secara sadar dan selektif (bermanfaat, penting dan masuk akal).
Belajar akanefektif jika suasana pembelajarannya menyenangkan. Seseorang yang secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya memerlukan dukungan suasana dan fasilitas belajar yang maksimal. Suasana yang menyenangkan dan tidak diikuti suasana tegang itu sangat mendukung sekali untuk membangkitkan motivasi belajar. Pada dasarnya anak-anak dalam belajar yang paling efektif pada saat mereka sedang bermain atau melakukan sesuatu yang mengasyikkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa  kita belajar 10% dari  yang kita baca, 20% dari yang kita dengar, 30% dari yang kita lihat, 50% dari yang kita lihat dan dengar, 70% dari yang kita ucapkan, dan 90%  dari yang kita ucapkan dan kerjakan; artinya belajar paling efektif jika dilakukan secara aktif oleh individu tersebut.
Menurut penelitian, anak-anak menjadi berminat untuk belajar jika topik yang dibahas sedapat mungkin dihubungkan dengan pengalaman mereka dan disesuaikan dengan alam berpikir mereka. Yang dimaksudkan adalah bahwa pokok bahasannya dikaitkan dengan pengalaman siswa sehari-hari dan disesuaikan dengan dunia mereka dan bukan dunia guru sebagai orang dewasa. Apa lagi jika disesuaikan dengan kebiasaan mereka dalam belajar. Mungkin ada anak yang tipe belajarnya visual, auditorial, atau kinestetik. jadi jika siswa tidak mampu untuk menjalin hubungan dengan teman sebaya mereka tidak mampu untuk menguasai waca sipil yang diajarkan di sekolahnya, melainkan dengan proses-proses dimana anak tersebut mampu menguasainya.
Dalam pembelajaran di kelas ketika mengajar, sebagian besar waktu yang dihabiskan dalam belajar adalah untuk berbicara dan mendengarkan. Berbicara dan mendengarkan menjadi salah satu media dasar. Utuk berinteraksi di kelas, berbicara merupakan peranan penting dalam proses pengembangan peserta didik. Tapi bagaimana penting adalah
Apakah kualitas bicara sesuai dengan kualitas pembelajaran di kelas? Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan ini, Daniels (2000 dikutip dalam Alexander, 2004:8) berpendapat bahwa berbicara di kelas tidak hanya memenuhi pengajaran dan pembelajaran tetapi juga mendukung pengajaran mengenai tentang budaya yang lebih luas. Alexander (2004:9) juga berpendapat bahwa “yang diperlukan untuk membangun otak itu adalah otak kita sendiri sebagai organisme fisik dan sehingga memperluas kekuatannya” .
 Selain itu, kualitas wacana kelas sangat pentingdan sangat dperlukan karena dapat menetapkan keadaan yang sesuai untuk belajar serta mentransmisikan  pikiran mereka murid mereka (Nystrand, 1997:28). Wells (1999:114) menegaskan bahwa ketika berbicara di dalam kelompok atau di depan kelas, siswa mampu menguasai materi yang banyak dari satu sama lain yang disajikan oleh teman-teman lainnya.
Pandangan menurut Chaedar Alwashilah, 2011 mengenai kebijakan sekolah yang harus ditegakkan oleh guru yang berbeda agama “Idealnya kebijakan harus ditegakkan dimana sekolah yang dikelola oleh guru dan tenaga yang berbeda agama, etnis, dan kelompok sosial. Kampus ini juga harus memberikan para siswa dengan tempat ibadah untuk semua agama. Siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan ini akan menjadi efektif dari pendidikan agama kita dalam pengaturan sekolah multicutural”.
Pandangan ini kurang sepadan jika diterapkan dalam negara Indonesia. Karena jika siswa mendapatkan pendidikan yang diberikan oleh guru ynag berbeda agama tentunya dalam pengenalan tentang adanya orang lain yang berbeda dalam cara beragamanya dan menghayati ajaran agama ini sangat tidak mungkin bagi bangsa Indonesia.
Hal ini terbukti ketika wawancara yang dilakukan kepada orang tua siswa, guru agama sekolah-sekolah negeri maupun swasta dan tokoh agama di tingkat desa di wilayah kota memberi gambaran yang jelas tentang kesulitan ini. Ungkapan yang muncul dari kalangan Islam adalah “mengapa harus mengerti agama orang lain sedang agama sendiri belum menguasai? Bukankah justru akan mendangkalkan iman para peserta didik karena akan memberi kesan bahwa semua agama sama baiknya? Atau membuat orang menjadi sinkretis dalam beragama?” (Lihat Kompas,  16 Januari 2005). Secara umum penggabungan lembaga pendidikan dengan agama lain sangat mengkhawatirkan masyarakat bila tidak ada keteguhan iman dalam diri umat ketika muslim atau non muslim muslim belajar dalam satu wadah yang sama. Karena hal ini dapat meruntuhkan iman seorang muslim jika tidak dibarengi dengan Tauhidnya yang kuat. Sedangkan di Indonesia rata-rata iman yang dimilki anak bangsa ini masih dalam tarap biasa.
Tetapi kelompok Katolik dan Kristen Protestan memberi apresiasi dan menyetujui tentang pengenalan agama lain ini sebatas sebagai pengetahuan untuk kepentingan kerukunan, dengan catatan tidak menyinggung keyakinan agama lain. Sementara respond dari kalangan Hindu, Budha dan Konghucu menganggap hal itu penting tetapi ”jika dibekali dengan keyakinan kuat tentang agama yang dianutnya.”  Khusus dalam pendidikan agama peserta didik dipisahkan sesuai dengan agama masing- masing, sesuai agama yang dianutnya. (Lihat Kompas,  16 Januari 2005).
Argumentasi di balik pemikiran ini adalah bahwa setiap agama mempunyai sistem kepercayaan yang berbeda, yang tidak mungkin disandingkan secara bersama dalam pendidikan agama. Maka pemisahan siswa dalam pendidikan ini sudah sewajarnya dilakukan. Dan argumentasi ini disepakati oleh umumnya elit agama, guru dan orang tua siswa, baik dalam agama Islam, Protestan, sebagian Katolik, umumnya Hindu dan Budha. Maka dianggap sudah sewajarnya pendidikan agama dilakukan secara terpisah, dan umumnya masyarakat menganggap tidak wajar bila seorang peserta didik belajar dengan satu wadah.
Dan sedangkan jika metode ini diterapkan di tingkat SD hingga SMA bisa jadi mereka mengikuti materi maupun metode pengajaran dimana mereka akan dilibatkan. Memasuki pendidikan sekolah sama artinya dengan memasuki jenjang pendidikan yang seluruh prosesnya tunduk pada kurikulum yang dirancang mengikuti narasi yang telah  dirumuskan negara orde baru dan dilajutkan hingga tahun 2006 bahwa agama yang berbeda adalah sesuatu yang wajib dipisahkan dengan begitu jelasnya, meski dalam kehidupan bermasyarakat dapat berakibat memisahkan sesama warga negara.
Dari pemaparan-pemaparan serta bukti-bukti yang tertera dapat ditarik kesimpulan bahwa :
Ternyata setelah diselidiki pada umumnya aspek yang mempengaruhi penyesuian diri dalam belajar dapat  dibagi kedalam tiga bagian yakni aspek biologis, aspek psikologis, dan aspek sosiologis. Aspek biologis yang dimaksud adalah kondisi fisik seperti structural jasmaniah, kesehatan dan sebagainya. Aspek psikologis merupakan kondisi-kondisi yang secara psikis dapat menentukan keadaan seseorang antara lain bakat, minat, sikap ,emosi, tingkat kecerdasan dan sebagainya. Aspek sosiologi berupa situasi lingkungan yang mendukung atau menghambat proses penyesuaian diri seseorang baik lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Bukan hanya yang disebutkan oleh Chaidar Alwashilah saja yang dapat menentukan pengembangan siswa “Salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara
Menurut Chaidar Alwashilah “Anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka . Dalam konteks sekolah , itu adalah hubungan ini di mana rekan-rekan menghormati , membantu , berbagi , dan umumnya sopan terhadap satu sama lain . Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial.”  Akan tetapi akan lebih efektif ketika ragam pengetahuan dan perbedaan individu setiap kelompok individu memiliki porsi ragam pengetahuan yang berbeda karena kepekaan khusus yang dimilikinya. Pola pikir orang cerdas biasanya didominasi oleh ragam pengetahuan yang bersifat kognitif, seperti konsep, prinsip, atau metakognisi. Ragam pengetahuan motorik mendominasi olahragawan. Sedangkan pekerja seni sering dipengaruhi oleh ragam fakta, dan sikap. Pekerja sosial atau bidang komunikasi memerlukan ragam pengetahuan antar pribadi yang menonjol. Kepekaan atas salah satu atau kombinasi dominan ragam pengetahuan inilah yang menjadi modal dasar belajar seseorang. Setiap orang memperoleh kemudahan yang berlainan. Setiap pribadi, mempunyai pengetahuan atau ilmu yang dibekali oleh Tuhan Yang Maha Esa secara berbeda. Kandungan otak dan kemampuan menjadi berbeda pula, namun tidak ada salah satupun yang melebihi lainnya.  
            Jika metode yang diharapkan Chaedar Alwashilah mengenai kebijakan sekolah yang harus ditegakkan oleh guru yang berbeda agama diterapkan di tingkat SD hingga SMA bisa jadi mereka mengikuti materi maupun metode pengajaran dimana mereka akan dilibatkan. Memasuki pendidikan sekolah sama artinya dengan memasuki jenjang pendidikan yang seluruh prosesnya tunduk pada kurikulum yang dirancang mengikuti narasi yang telah  dirumuskan negara orde baru dan dilajutkan hingga tahun 2006 bahwa agama yang berbeda adalah sesuatu yang wajib dipisahkan dengan begitu jelasnya, meski dalam kehidupan bermasyarakat dapat berakibat memisahkan sesama warga negara.

Referensi:
Chaedar Alwasilah, “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”, Oktober, 2011:The Jakarta Post.
Arikunto, Suharsimi, (2001). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Bumi Aksara. Jakarta. Chaplin, J.P, (2002). Kamus Psikologi. Radja Grafindo Persada. Jakarta. Gerungan,
W.A. (1988). Psikologi Sosial. Eresco. Jakarta. Goleman, D, (2000). Kecerdasan Emosional, Mengapa EI lebih Penting dari pada IQ. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Cazden, C. (1988). Wacana kelas. Dalam MCWittrock (Ed.). Handbook penelitian pada pengajaran (hlm. 432-462). NY: Macmillan Pub. Co
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment