Critical Review 2: Kebenaran Sejarah yang Hilang



Kebenaran Sejarah yang Hilang
Oleh Ida Fauziyah
Ungkapan kebenaran sejarah sebab hanya dari itu sebuah bangsa bisa berkaca dan belajar.
-Abraham Lincoln-

Dapatkah kita mengetahui kebenaran lewat sejarah?
Sejarah secara sempit adalh sebuah peristiwa manusia yang bersumber dari realisasi diri, kebebasan dan keputusan daya rohani. Sedangkan secaara luas, sejarah adalah setiap peristiwa (kejadian). Sejarah adalah catatan peristiwa masa lampau, studi tentang sebab dan akibat. Sejarah kita adalah cerita hidup kita. Sejarah selalu berkembang karena kita hidup adalah mengukir sejarah.
Sejarah sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa karena:
1.      Sejarah merupakan gambaran kehidupan masyarakat di masa lampau.
2.      Dengan sejarah kita dapat lebih mengetahui peristiwa atau kejadian yang terjadi di masa lampau.
3.      Peristiwa yang terjadi di masa lampau tersebut dijadikan pedoman dan acuan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di masa kini dan di masa yang akan dating.
4.      Dengan sejarah kita tidak sekedar mengingat data- data dan fakta- fakta yang ada tetapi juga lebih memaknainya dengan mengetahui mengapa peristiwa tersebut terjadi.

Namun, apa jadinya jika kebenaran kekuasaan membuat kebenaran sejarah ditiadakan? Apa yang harus kita lakukan sebagai pengukir sejarah jika sejarah kita tidak diabadikan demi kepentingan sekelompok orang?  Haruskah kita berdiam diri dan melihat semua itu?
Saat ini, kita hidup di era post- modernism di mana usaha untuk mempertahankan kebenaran dianggap sebagai keanehan. Alasannya, kebenaran sejarah sulit dibuktikan dan hanya merupakan opini yang subjektif, sehingga banyak kebenaran sejarah yang tidak dituliskan.
Kekuasaan banyak dijadikan sebagai alasan dan pembenar untuk menutupi kebenaran sejarah. Hal itu dilakukan oleh para penguasa demi “stabilitas nasional” maupun demi “keamanan nasional”. Mereka melakukan berbagai cara agar kekuasaan mereka tidak terganggu dengan adanya temuan- temuan sejarah yang bertolak belakang dengan keinginan mereka.
Howard Zinn dalam artikelnya yang berjudul “Speaking Truth to Power with Books” mengatakan bahwa kita dapat mengetahui dan mempelajari kebenaran kekuasaan melalui buku. Menurutnya, banyak buku yang berbicara tentang bagaimana kita menungkap tindakan-tindakan yang tidak sesuai norma dan aturan  yang dilakukan oleh orang-orang yang mengandalkan kekuasaan lewat buku. Dengan kata lain, kita dapat mempelajari “kebenaran sejarah” melalui buku.
Zinn menjelaskan bahwa ada beberapa cara dimana buku dapat mengubah kesadaran seseorang maupun masyarakat. Pertama, mereka (penulis) dapat memperkenalkan sebuah ide yang pembaca tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kedua, di mana buku dapat memiliki efek yang kuat untuk pembacanya. Sangat sering, orang percaya bahwa mereka tahu sesuatu ketika mereka benar-benar tidak mengetahui apa- apa. Ketiga yaitu melalui literatur absurditas.
Zinn juga menceritakan tentang penerbitan bukunya yang berjudul “Sebuah Sejarah Rakyat Amerika Serikat” ditolak oleh masyarakat Amerika Serikat. Mereka tidak percaya bahwa Cristhoper Colombus yang mereka kenal sebagai seorang pahlawan, penemu besar dan pembaca Al Kitab yang shaleh ternyata adalah pembunuh, penyiksa, penculik, mutilator orang-orang pribumi, munafik, orang yang tamak mencari emas, dan seseorang yang bersedia membunuh dan mencincang orang. Zinn bertujuan untuk menubah pola pikir masyarakat Amerika tentang Colombus melalui bukunya.
Ketika bukunya terbit, ia mendapati kabar dari seorang guru di California yang salah satu muridnya membawa buku Zinn untuk dibawa pulang ke rumah dan ternyata orang tua dari murid tersebut membaca buku Zinn. Buku itu sontak membuat orang tua murid tersebut kaget dan berkata “saya akan menemui dan berbicara kepada komite sekolah, karena saya pikir guru kamu adalah orang komunis”. Kasus itu di mana hanya untuk mempelajari fakta-fakta tentang Columbus dapat menyebabkan revolusi dalam pemikiran seseorang melalui kekuasaannya.
Sebuah kata dari Nalfi: Ada sesuatu yang penting bahwa tulisan dapat merubah pola piker seseorang. Hal ini dimasukkan ke dalam kata-kata oleh Kurt Vonnegut, yang sering bertanya, "Mengapa Anda menulis?" Vonnegut akan menjawab, "Saya menulis begitu Anda akan tahu ada orang yang merasakan hal yang Anda lakukan tentang dunia, bahwa Anda tidak sendirian. Itulah yang Zinn lakukan. Ia ingin orang lain tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia.

Di sini saya akan mengkritisi pendapat Zinn tentang “Membicarakan Kebenaran Kekuasaan dengan Buku-buku”. Zinn mengatakan bahwa kekuasaan kini mampu menggapai, menembus dan mengontrol individu sampai kepada tindakan- tindakan yang tidak seharusnya dilakukan. Tindakan- tindakan tersebut mungkin melanggar hukum, tidak sesuai norma masyarakat atau bahkan tidak manusiawi dilakukan oleh orang-orang yang mengandalkan kekuasaan sebagai pembenarnya.
Tindakan- tindakan yang demikian lantas banyak ditulis oleh orang. Zinn mengatakan bahwa buku dapat mengubah pola pikir maupun hidup seseorang atau bahkan akan memiliki efek pada dunia. Untuk itulah kejadian di masa lampau tersebut ditulis, sehingga itu bisa menjadi bahan pelajaran bagi generasi selanjutnya.
Ada dua jenis sejarah yang tertulis dalam buku atau yang tersebar di kalangan masyarakat. Pertama, sejarah sebagaimana yang benar-benar terjadi. Kedua, sejarah sepertimana yang diceritakan secara berpilih- pilih dengan sebagian daripadanya sengaja dipadamkan atau disembunyikan.
Adakah kita yang tersepit di antara dua jenis sejarah itu. Kita yang mempertahankan sejarah sebagai sebuah kebenaran dan kita yang tidak pernah berhenti mencari kebenaran, bersiteru dan mencabar kebenaran.
Apakah ada kebenaran dalam sejarah? Apakah yang diuraikan dalam buku adalah benar- benarb peristiwa yang terjadi?, pertanyaan mendasar seperti ini seringkali timbul ketika kita membaca sebuah uraian sejarah tentang sebuah peristiwa. Namun, kita seringkali mengabaikan “kebenaran” dalam sebuah sejarah atau cenderung menganggap “kebenaran sejarah” itu adalah apa yang diuraikan dalam sejarah yang kita baca. Ketika anggapan kita sebagai pembaca seperti itu, maka keadaan tersebut akan menimbulkan suatu pandangan subjektif terhadap suatu peristiwa dan lebih parah lagi akan menimbulkan fanatisme terhadap suatu “kebenaran” dari suatu atau sekolompok sejarawan.
Bericara tentang sejarah kita tidak bisa lepas pembicaraan tentang fakta. Ini tidak lain karena fakta merupakan unsur utama dalam penyusunan sejarah. Tanpa fakta tentu saja sejarah tidak mungkin disusun.
Berbicara sejarah berarti berbicara tentang kebenaran. Namun, “kebenaran” yang dijunjung tinggi itu hanya sebuah celoteh tanpa makna. Di mana penguasa dapat mengotak-atik semua isinya. Para penguasa tersebut mengandalkan “kekuasaan” sebagai pembenarnya. Apakah kita terlupa kepada sejarah? Atau apakah kita dipaksa untuk melupakan sejarah?
Bebicara kebenaran sejarah menurut Taufik Abdullah dilihat dari sisi pemihakan mengkristal dalam dua sisi. Pertama, sejarah mengabdi pada kebeneran stabilitas Negara. Kedua, sejarah mengabdi pada kebenaran akademik pada tataran sejarah mengabdi kebenaran stabilitas Negara, apapun temuan-temuan sejarah yang bertentangan dengan versi penguasa, maka dianggap mengancam stabilitas nasional “kebenaran sejarah” harus disembunyikan bahkan kalau perlu dibuang.
Menurut pendapat saya, tidak semua sejarah maupun kebenaran yang ditulis. Ada beberapa dari mereka sengaja disembunyikan demi kekuasaan. Kekuasaan selalu dianggap di atas segalanya. Kekuasaan sebagai symbol kekuatan. Itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa mereka adalah “A king of world”.  Kebenaran itu bisa saja dituliskan. Akan tetapi, mungkin isinya telah berubah dari yang sebenarnya. Maknanya bisa sedikit berubah atau bahkan berbeda sama sekali.
Sejarah dalam konteks demikian berfungsi membangun peradaban/kekuasaan. pemerintah/penguasa akan mengancam jika sejarah yang dainggap mengancam stabilitas nasional. Dengan demikian, kebenaran sejarah terletak pada siapa yang berkuasa.
Berbagai kepentingan dapat saja memboncengi pengungkapan masa lalu itu, seperti untuk kepentingan politik dalam menjaga legitimasi suatu golongan dalam masyarakat. Bisa juga mungkin untuk tujuan mengukuhkan keberadaan suatu ideology atau kepercayaan tertentu ataupun sekedar memperoleh kenikmatan kenangan masa lalu.  Namun, sekali lagi kekuasaan sangat berpengaruh dalam adanya kebenaran sejarah.
Sebagai contoh, selama ini yang dunia tahu bahwa penemu benua Amerika adalah Christopher Colombus. Akan tetapi, berdasarkan penelitian ulang yang dilakukan oleh beberapa peneliti Barat atau penelitian dari sumber- sumber tertulis dari kalangan muslim, ilmuan Muslim, ditemukan data bahwa benua Amerika telah ditemukan oleh penjelajah Muslim 603 tahun sebelum Christopher Colombus menginjakkan kakinya di benua Amerika.
Literature yang menerangkan bahwa penjelajah Muslim sudah datang ke Amerika sebelum Colombus, antara lain adalah pakar sejarah dan geographer Abdul Hassan Ali Ibnu Al Hussain Al Masudi (871- 957M). dalam bukunya yang berjudul “Muruj Adh- Dhahabwa Maad Al Jawhar” (Hamparan emas dan tambang permata), Al Masudi telah menuliskan bahwa Khaskhas Ibnu Sa’ied Ibn Aswad, seorang penjelajah Muslim dari Cordova, Spanyol telah berhasil mencapai benua Amerika pada 889M.
Bukti lain bahwa muslim sebagai penemu benua Amerika adalah Dr. Barry Fell dalam bukunya yang berjudul Saga America (New York, 1980), seorang arkeolog dan ahli bahasa berkebangsaan Selandia Baru jebolan Harvard University menunjukkan bukti- bukti detail bahwa berabad- abad sebelum Colombus, telah bermukim kaum Muslimin dari Afrika Utara dan Barat di benua Amerika. Tak heran jika bahasa masyarakat Indian Pima dan Algonquain memiliki beberapa kosa kata yang berasal dari bahasa Arab.
Hal itu jelas menjadi salah satu bukti bahwa tidak semua “kebenaran sejarah” dituliskan. Tidak seperti Zinn yang mengatakan bahwa kita bisa membicarakan kebenaran kekuasaan dengan buku, yang nyatanya malah kebenaran sejarah tidak ditulis bahkan disembunyikan. Lantas dari mana kita belajar atau mengetahui kebenaran sejarah jika kebenaran sejarah tersebut disembunyikan demi kekuasaan?
Contoh lain, ketika masyarakat Amerika menolak buku Zinn yang berjudul “Sebuah Sejarah Rakyat Amerika” karena dianggap tidak falid. Kita tidak bisa membenarkan pendapat Zinn tentang Colombus dan menyalahkan masyarakat Amerika yang seolah-olah tidak mau membuka mata.
Menurut pendapat saya, bisa saja mereka (baca: masyarakat Amerika) melakukan itu karena mereka telah menganggap Colombus adalah bagian dari pada bangsa mereka, sehingga itu menjadi kekuatan mereka untuk mempertahankan kekuasaan Amerika.  Walaupun, mungkin sebagian dari mereka memang mengetahui apa yang dikatakan oleh Zinn. Namun, mereka seakan tutup mulut dan tutup mata akan kenyataan tersebut.
Akan tetapi, hal tersebut bertolak belakang dengan niat dan harapan Zinn yang ingin merubah pola pikir masyarakat Amerika tentang Colombus. Menurut Zinn, Colombus adalah seorang pembunuh, penyiksa, penculik, mutilator orang-orang pribumi, munafik, orang yang tamak mencari emas, dan seseorang yang bersedia membunuh dan mencincang orang.
Sampai ketika Zinn mendapati kabar dari seorang guru di California yang salah satu muridnya membawa buku Zinn untuk dibawa pulang ke rumah dan ternyata orang tua dari murid tersebut membaca buku Zinn. Buku itu sontak membuat orang tua murid tersebut kaget dan berkata “Saya akan menemui dan berbicara kepada komite sekolah, karena saya pikir guru kamu adalah orang komunis”. Namun, sekali lagi mengingatkan bahwa masyarakat Amerika lebih memilih Colombus daripada Zinn.
Fakta lain berbicara bahwa Christoper Colombus dikenal sebagai penemu benua Amerika dan diapndang sebagai pahlawan eksplorasi abad pertengahan oleh banyak sejaraawan masa kini. Namun, banyak buku teks gagal bahkan tidak mengungkapkan berbagai fakta bahwa ia adalah seorang maniak genosida yang mencetuskan apa yang mungkin menjadi kasus terburuk genosida yang dilakukan satu bangsa manusia terhadap bangsa lain.
Terobsesi menemukan rute perjalanan laut ke Asia dan Timur jauh, Colombus dengan kapal ‘Enterprise Hindia’ pada tahun 1942 berlayar ke laut lepas, dengan dukungan keuangan dari Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari Spanyol. Namun, bukannya menemukan daerah perdagangan kaya di Timur, Colombus dan krunya menemukan dunia baru yaitu Amerika dan segera mulai menundukkan dan membunuh penduduk setempat dan menghapus kekayaan besar dari tanah tersebut.
Sebuah koloni kecil segera didirikan di Hispaniola yang terdiri dari tiga puluh Sembilan krunya, sisanya kembali ke Spanyol dengan Colombus bersama dengan emas, rempah- rempah dan penduduk asli diambil sebagi budak untuk diberikan sebagai hadiah bagi pelanggan kerajaan.
Tahun berikutnya, ia memimpin ekspedidi kedua yang terdiri dari  tujuh beals kapal besar dan berisi satu setengah ribu pendatang baru yang tiba di Amerika sebulan kemudian. Pada saat ia kembali ke Hispaniola, anak buahnya sudah banyak yang dibunuh oleh penduduk setempat dan koloni kedua kemudian didirikan.
Colombus menghukum penduduk setempat yang dikenal sebagai Taino, dengan kejam. Dia memperbudak banyak penduduk local dan membantai lebih banyak lagi, Ward Churchill, mantan professor studi etnis di University of Colorado, sampai tahun 1496, populasi telah berkurang dari sebanyak delapan juta menjadi sekitar tiga juta.
Para master Spanyol membantai penduduk pribumi kadang- kadang ratusan hanya sebagai bentuk olahraga, membuat taruhan tentang siapa yang bisa membelah seorang pria menjadi dua, atau meotong kepala hingga putus dalam satu pukulan, kadang pula mereka memancung kaki anak- anak kecil hingga putus hanya untuk menguji ketajaman pedang mereka.
Pembela Colombus berpendapat bahwa sejumlah besar korban tewas akibat penyakit namun mereka gagal untuk mengenali bahwa sebagian penyakit ini disebabkan oleh kondisi hidup buruk di camp- camp kerja paksa. Kehilangan hasil panen mereka di ladang, banyak jatuh korban disentri dan tifus yang bekerja sampai mati atau dibairkan mati kelaparan.
Hanya dalam waktu sekitar lima puluh tahun Colombus dan para pengikutnya mendapatkan segalanya tetapi mengeliminasi populasi sekitar lima belas juta orang. Proses ini hanya merupakan awal dari pembantaian massal sekitar seratus juta orang oleh bangsa Eropa yang disebut sebagai “peradaban” di belahan Barat membuat awal penemuan Dunia Baru (benua Amerika) menjadi kasus genosida massal terburuk dalam sejarah manusia.
Berdasarkan kasus-kasus di atas mengungkapkan bahwa tidak semua “kebenaran sejarah” diabadikan melalui tulisan. Banyak dari kebenaran sejarah itu yang disembunyikan bahkan dibuang demi kekuasaan. Kekuasaan selalu dianggap sebagai pembenar bagi orang- orang yang memiliki kekuasaan. Dan mereka para rakyat biasa tidak mampu melakukan apa- apa.
Seperti kita ketahui bahwa kita diminta untuk belajar dengan sejarah. Karena sejarah adalah guru kita. Mana- mana yang baik atau positif, kita ulang dan kembangkan. Mana- mana yang negative kita jadikan pelajaran.
Napoleon Bonaparte memandang sejarah sebagai kebohongan- kebohongan yang disepakati. Anggapan ini yang berdampak pada kemalasan berfikir dan memikirkan tentang realitas obyektik masa lalu yang sangat berguna bagi kehidupan masa kini dan masa depan. Anggapan kebenaran atas suatu keyakinan (termasuk sejarah) terjadi karena berbagai factor, yakni politisasi teks sejarah. Sekali lagi, itu merupakan kebohongan public yang dilakukan oleh para penguasa yang menjadikan kekuasaan sebagai pembenarnya.
Bukankah dengan begitu para penguasa mengajarkab kebohongan- kebohongan kepada para penerus bangsa?. Dalam bengkel sejaawan, tulisan sejarah bisa dalam bentuk sebenarnya—sepanjang bia memegang teguh disiplin metode ilmiah. Sayangnya, sejarawan sebagai individu terkadang harus tunduk pada otoritas penguasa. Jika sampai berani menentang penguasa, karya- karya mereka akan di “brendel”bahkan bisa jadi yang bersangkutan dijatuhi hukuman kurungan atau hukuman mati. Lantaran hegemoni penguasa pula, sejarah menjelma bukan dalam bentuk sejatinya. Ia dipermak dan diputar balik sehingga searah, sejalan dan sehaluan dengan kebijakan penguasa.
Menurut sejarawan muda JJ Rizal setidaknya ada lima kebiasaan buruk orang, yang bisa menjelaskan mengapa kepalsuan sejarah bisa terjadi, dan dilakukan oleh kelompok dengan suatu kepentingan tertentu, yakni:
1.      Karena belum adanya kesadaran keabnyakan dari orang tentang pentingnya/terbiasa mendokumentasi rincian kejadian. Tekun mencatat detil peristiwa. Abai pada uraian data, rincian angka. Yang dianggap remeh sekarang, dianggap pasti bukan hal penting nanti. Padahal, informasi sesepele apapun berpeluang mengubah alur cerita keseluruhan jika diletakkan pada konteks urutan kejadian yang proporsional.
2.      Menganggap sejarah adalah peristiwa dengan satu versi cerita saja. Versi lainnya tak mendapat tempat setara. Opsi alternative yang melihat keajadian dari sudut pandang yang berbeda diasumsikan tidak ada. Apalagi jika kisahnya tak sejalan dengan kepentingan orang- orang yang sedang berkuasa.
3.      Kurangnya kebiasaan melakukan kajian mendalam yang independen. Mudah percaya pada versi cerita yang dianggap benar oleh kebanyakn orang. Juga takut mengambil resiko dengan bernyali mealwan arus, untuk mengatakan yang benar dan yang salah. Padahal, meminjam perspektif jurnalistik, setiap orang dianggap fakta kebenaran, harus boleh diverifikasi, dikonfirmasi dan diklarifikasi ulang.
4.      Karena orang tak terbiasa mengakrabi data dan angka. Padahal, ada istilah data, angka dan fakta yang bisa diajak berbicara jika tahu caranya. Karena selalu ada penjelasan dibalik awal mula kejadian. Selalu ada angka yang menjadi penyebab dan atu tanda- penanda kejadian. Selalu ada cerita yang merangkai dan meruntun urutan peristiwa. Selalu ada data di balik fakta.
5.      Lupa, bahwa kebenaran itu sifatnya relative. Karena, kata filsuf legendaris Nietze, bahwa yang dianggap kebenaran sesungguhnya hanyalah persepsi seseorang/ sekelompok orang demi menopang kepentingannya. Bahkan Hukum Relativitas Khusus Einstein pun mewanti bahwa kebenaran adalah tergantung di mana posisi kita berada (sebagai pengamat kejadian) ketika berlangsungnya kejadian.
Jadi, jika kita tidak ada di tempat terjadinya peristiwa adalah hak kita untuk bersikap spektis. Mempertanyakan kebenarannya dan melihat kebenarannya dalam perspektif yang berbeda. Karena menurut dalil anonym mengungkapkan bahwa “sejarah ditulis oleh orang-orang yang berkuasa. Ketika sejarah ditulis, pelaku kejahatan bisa tampak seperti pahlawan”.
Akan tetapi sangat disayangkan ketika kebenaran kekuasaan tersebut ternyata tidak hanya dituliskan, melainkan juga didoktrinkan kepada para penerus bangsa melalui sejarah yang dibicarakan. Lantas apa jadinya para penerus bangsa saat ini?
Referensi

Howard Zinn. Anthropology off the Shelf: Speaking Truth to Power with Books. Desember 2005
http//www.jelajahunik.us/2011/11/ternyata-penemu-benua-amerika-bukan-colombus/
http//kris170845.wordpress.com/2012/10/28/skeptic-pada-kebenaran-sejarah-haruskah/
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment