Critical Review 2: Kebenaran tak selamanya dibenarkan



Kebenaran tak selamanya dibenarkan
(By: Iiz Lailatus Saidah)

Berbicara mengenai kebenaran adalah suatu yang dapat dikatakan relative, tergantung dari perspektif masing- masing individu. Banyak penyebab mengpapa jawaban dari masing- masing individu berbeda, hal tersebut tidak lain disebabkan karena pengalaman yang dialami masing-masing individu untuk memperoleh kebenaran yang berbeda.

Ketika kita berbicara sejarah adalah kita berbicara tentang sesuatu yang tidak pernah tuntas. Artinya selalu saja ada kemungkinan penulisan kembali sejarah apabila ditemukan bukti-bukti baru dan fakta-fakta yang baru.. Sejarah adalah catatan peristiwa masa lampau, studi tentang sebab dan akibat. Sejarah kita adalah cerita hidup kita. Sejarah selalu berkembang karena kita hidup adalah mengukir sejarah.

Kata-kata adalah sumber kekuatan, entah terucap atau tertuliskan sehingga mampu abadi, kata-kata yang baik akan membangun pribadi yang baik, ketika kita berbicara atau menulis, apa yang akan kita bicarakan dan tuliskan harus sesuai denga fakta dan kebenaran yang ada, jangan sampai menyimpang atupun mengada-ngada.

Kita bisa mengetahui kebenaran itu dengan cara kita baca buku, sebuah buku bisa meubah pemikiran orang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, kemudian kita cari tahu informasi yang sebenarnya, jangan hanya mengandlkan buku saja dan jangan hanya mendengarkan oomongan orang, belum tentu apa yang dibicarakannya itu sesuai dengan fakta yang ada.



Howard Zinn dalam artikelnya yang berjudul “Speaking Truth to Power with Books” dari buku “Antropology off the self” dari pengalama beliau, awalnya beliau sama sekali tidak mempunyai buku dan orang tuanya pun tidak mmilikinya, akan tetapi ketika beliau berusia 14 tahun beliau menemukan buku dijalan. Dicken adalah salah satu buku yang beliau baca, buku itu memiliki efek yang kuat pada pemikiran beliau. Itu adalah buku pertama yang diberikan oleh orang tuanya kepada beliau, karena orang tuanya tahu bahwa beliau gemar membaca.
Dari pengalaman beliau banyak orang mengatakan bahwa buku dapat  merubah hidup seseorang, dapat merubah pola fikir orang. Dan jika buku mengubah hidup seseorang dengan mengubah kesadaran seseorang, itu akan memiliki efek pada dunia, dalam satu atau cara lain, cepat atau lambat. Ada sejumlah cara dimana buku dapat mengubah kesadaran. Pertama, mereka (penulis) dapat memperkenalkan sebuah ide yang pembaca tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Hal ini terjadi pada banyak dari kita. Kita membaca Herman Melville, Billy Budd, dan kita dihadapkan dengan situasi dimana semua orang mematuhi hukum, semua orang patuh mengikuti aturan.
Ketika seorang penulis menuliskan bukunya, itu harus sesuai dengan fakta-fakta yang ada, jangan hanya mengetahuinya dari segi pengalaman si penulisnya saja, akan tetpai harus sesuai dengan fakta dan realita yang ada. Mengapa demikian, karena tulisan yang ada di buku tersebut akan memberikan informasi kepada orang lain, dan ketika informasi itu salah maka orang-orang yang membacanya pun akan salah dalam informasi tersebut apalagi dalam sejarah.
Seperti apa yang telah dialami oleh Howard Zinn, ketika Zinn menerbitkan bukunya yang berjudul “Sejarah Rakyat Amerika” yang menceritakan tentang “Christopher Columbus”, orang-orang asli Amerika tidak sejalan dengan apa yang diceritakan oleh Zinn dibukunya itu, mereka yang dibesarkan di Amerika Serikat belajar bahwa Colombus itu adalah seorang pahlawan Columbus penemu besar, Columbus pembaca Alkitab yang saleh. Untuk membaca tentang Columbus sebagai pembunuh, penyiksa, penculik, mutilator orang pribumi, munafik, orang yang tamak mencari emas, bersedia untuk membunuh orang dan mencincang orang,mereka terkejut dan tidak terima akan hal itu.
Pada satu titik, Zinn menerima surat dari seorang guru di California, ketika itu Seorang siswa membawa pulang bukunya Zinn tentang Colombus, ibunya membaca bab pertama atau mungkin satu sampai lima halaman dari bab pertama, dan ibunya menganggap bahwa Zinn adalah seorang komunis. Itu kasus di mana hanya untuk mempelajari fakta-fakta tentang Columbus dapat menyebabkan revolusi dalam pemikiran seseorang.
Masih ada cara lain yang dimana buku dan menulis sangat berpengaruh, yaitu melalui literatur absurditas. Selain itu ada cara lain di mana buku dapat memiliki efek yang kuat. Sangat sering, orang percaya bahwa mereka tahu sesuatu ketika mereka benar-benar tidak mengetahui sesuatu apapun.
Disini saya akan mengkritik Howard Zinn dalam artikelnya yang berjudul  “Speaking Truth to Power with Books” dari buku “Antropology off the self”. Dalam artikelnya Zinn berpendapat bahwa berbicara tentang kebenaran kekuasaan melalui buku- buku. Zinn dengan pengalamannya mengatakan bahwa buku bisa merubah hidup seseorang dan bisa merubah pola fikir seseorang.
Memang buku itu adalah gudangnya ilmu pengetahuan, buku juga bisa menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Pepatah lama yang mengatakan bahawa buku merupakan jendela dunia. Banyak yang mengatakan buku adalah jendela dunia. Betul sekali, buku adalah jendela dunia. Dengan membuka buku berarti kita membuka jendela dunia. Kita bisa melihat keluar, sesuatu yang baru atau pemandangan yang berbeda dengan apa yang ada di rumah kita. Yang dimaksud rumah adalah pikiran kita saat ini. Sebagian orang mengatakan bahwa dengan membaca sebuah buku berarti kita membuka cakrawala. Selain itu buku juga sebagai gudangnya ilmu, bebagai informasi bisa kita dapatkan melalui buku.
Membaca buku adalah kita menyelami dunia lain, yaitu sebuah dunia yang ada di dalam pikiran orang lain. Sementara setiap orang memiliki dunia masing-masing. Dengan membaca buku kita akan menyelami berbagai dunia orang lain yang akan memberikan kita kebijaksanaan yang lebih mendalam dalam menghadapi hidup.
Akan tetapi kebenaran kekuasaan selalu ditutup- tutupi dan buku- bukunya pun selalu disimpan dan disembunyikan, orang-orang yang memilki kekuasaanlah yang menyembunyikan buku-buku tetang kebenaran itu, karena mereka takut akan kebenaran yang sesungguhnya. Kekuasaan bisa mengambil dan merebut segalanya, dengan kekuasaan orang bisa melakukan apapun atau berbuat seenaknya. Sikap- sikap dan tindakan-tindakan yang tidak wajar pun dilakukannya.
Berbicara tentang “kebenaran”, kebenaran terkadang selalu ditutup- tutupi dan disembunyikan dan kebenaran tidak selamanya dibenarkan. Contohnya saja Howard Zinn menerbitkan buku yang berjudul “Sebuah Sejarah Rakyat Amerika”, dalam buku tersebut menceritakan tentang Christopher Columbus dimana orang-orang Amerika mengnggap bahwa Columbus adalah seorang pemimpin, diplomat dan penemu benua Amerika, tapi kenyataannya Columbus bukanlah penemu benua Amerika, dia sangat jahat, dia seorang penjahat, penakluk dan pembunuh.
Sejarah Sebuah Rakyat Amerika Serikat dimulai dengan menceritakan kembali dari pertemuan pertama dari masyarakat adat di Karibia dengan ekspedisi Christopher Columbus . di mana Columbus digambarkan sebagai , penjelajah damai tercerahkan, setelah ia menemukan dan  berada di tanah baru, berteman dengan orang-orang pribumi . Menggambar dari jurnal Columbus sendiri serta tulisan-tulisan lain sezaman , Columbus adalah agen penaklukan dengan nafsu untuk emas dan sumber daya lainnya yang juga memiliki keinginan untuk menyiksa dan membunuh orang lain untuk mencapai tujuan tersebut.
Columbus dan motivasinya merupakan bentrokan pertama nilai-nilai yang terjadi di Dunia Baru. Dalam tulisan-tulisannya, Columbus melihat bahwa penduduk Kepulauan Bahama damai, akomodatif dan tidak memiliki unsur-unsur yang terorganisir untuk membela diri. Dalam pikiran Columbus, faktor-faktor ini membuat orang-orang pribumi matang untuk ditakllukan oleh Spanyol dan Negara Eropa lainnya.
Pada pertengahan dekade kedua abad ke-20 , kekuatan Eropa sedang berperang . Konflik Perang Dunia I yang mencakup krisis kekuasaan kolonial pertempuran untuk sumber daya dan wilayah . Meskipun nominal mulai karena ketegangan politik antara Eropa , inti dari pertempuran itu atas tanah , wilayah dan pengaruh di Afrika , Asia dan Amerika Latin. Periode ini juga melihat penindasan gerakan Anarkis , dilambangkan dengan penuntutan terkenal dari dua anarkis , Nicola Sacco dan Bartolomeo Vanzetti pada tahun 1920.
Pada saat itu banyak orang Amerika mulai mengubah pemikiran mereka pada hari-hari krisis dan pemberontakan. Akhir Perang Dunia I untuk sementara membawa kemakmuran ke Amerika Serikat . Dengan pengaruhnya yang berkembang di dunia, campuran bisnis besar dan pemerintah yang semakin mencari untuk memperluas kekuasaan Amerika di luar negeri.
Apakah ada kebenaran dalam sejarah? Apakah yang diuraikan dalam buku tersebut adalah benar- benar peristiwa yang terjadi? Pertanyaan mendasar seperti ini seringkali timbul ketika kita membaca sebuah uraian sejarah tentang sebuah peristiwa. Namun kita seringkali mengabaikan arti dari “kebenaran” dalam sebuah sejarah atau cenderung menganggap kebenaran sejarah itu adalah apa yang diuraikan dalam uraian sejarah yang kita baca.
Melompat pada masa Soeharto, ketika sejarah diseragamkan. Pada masa orde baru penulisan sejarah harus ‘restu’ dari Soeharto supaya tidak menimbulkan instabilitas politik dan ekonomi. Para sejarawan yang memilki pandangan yang berbeda diamankan dan hasil karyanya dirapikan. Selain itu tekanan-tekanan terus diberikan terhadap lawan politiknya melalui penulisan sejarah yang ‘menyimpang’.
Tetapi keadaan sekarang cenderung berbeda dengan masa lalu, kita setelah reformasi dibebaskan dalam berkarya dan mengeluarkan pendapat. Kita mengharapkan tuah reformasi untuk mendapatkan sejarah yang kritis, yang objektif tanpa ada sebuah fakta yang ditutup-tutupi atau bahkan dihilangkan. Sekarang sudah terbukti para sejarawan bungkam atau dipaksa bungkam berlomba-lomba menyajikan suatu ‘kebenaran’ tentang masa lalu. Seperti jamur yang tumbuh dimusim hujan. Terlepas dari keragaman sejarah tersebut, semuanya adalah khazanah yang pantas untuk dibaca dalam beruasaha menemukan kembali ‘kebenaran’ sebuah peristiwa.
Dimuat dari Harian Kaltim Post, Edisi Sabtu, 20 Oktober 2007, tragedi G 30 S/PKI, kejadiah pahit. Dalam peristiwa memilukan itu, beberapa petinggi militer dibunuh. Kejadian tragis berikutnya adalah ribuan manusia mengalami penyiksaan dan pembantaian akibat perbedaan ideology. Orang-orang yang ditudung sebagai penganut komunisme disingkirkan atau mengalami pengasingan berkepanjangan. Episode penuh kepahitan itu ditutup oleh sebuah layar yang bernama kesaktian pancasila.
Menurut Firos Fauzan, dengan menggunakan istilah G 30-S masyarakat hanya akan mengingat peristiwa penculikan jendral dan gerakan militer di Jakarta, sehingga tidak menganggap pristiwa itu sebagai kudeta yang dilakukan oleh PKI, sebagai mana partai palu Arit tersebut melakukan coup dengan menculik para jendral dan aksi di daerah-daerah. Sebenarnya sejarah 1 Oktober itu penghianatan pancasila bukan kesaktian pancasila.
Sebanarnya dalang adri G 30 S/PKI bukan hanya CIA, tetapi juga KGB, awalnya sungguh sebuah statement yang mengagetkan, akan tetapi dengan dilengkapi fakta pendukung yang sungguh menarik. Ketika didalam tahanan (Orde Baru) tokoh- tokoh PKI maupun tokoh- tokoh yangdiindikasikan terlibat G30S. Mereka antara lain Jendral Supardjo (wakil pemimpin Senko/ sentaral komando G30S), Letkol Untung (pemimpin Senko G30S), Jendral Sabur (komandan Cakra Birawa) dan Pono (biro khusus PKI).
Kesaksian-kesaksian tersebut kemudian terangkai menjadi sebuah fakta baru, yang sjatinya lebih memperkuat dari fakta- fakta yang sudah lama terbongkar. Antara lain, bahwa “Bung Karno” sama sekali tidak terlibat baik langsung maupun tak langsung dengan G30S, bahwa ada keterlibatab CIA, M16 dan KGB di dalam tragedy tersebut bahwa Soeharto mengetahui aka nada pergerakan malam 30 september 1965, bahwa jendral A. Yani kepada Bung Karno pernah membenarkan tentang adanya “DEwan Jendral” dan masih banyak fakta lain.
Dilihat dari kedua contoh diatas, bahwa kebaenaran sejarah selalu disembunyikan dan ditutup- tutupi oleh orang- orang yang memilki kekuasaan. kekuatan adalah uang dan harta, kekuasaan adalah kedudukan pangkat dan jabatan, kemanusiaan hanya sebagai semboyan belaka dan hanya ucapan bibir saja, dan Keadilan adalah milik sang penguasa, orang kaya dan bukan rakyat biasa, kesemuanya itu hanya satu kata yaitu rekayasa, manipulasi dan pemutar balikan fakta demi adanya suatu kepentingan”. Fakta terbukti bahwa kebenaran & keadilan selalu dikalahkan oleh mereka yang menginginkan kebatilan, serta kejujuran & kebenaran selalu dijadikan korban oleh adanya kepentingan, kekuasaan, Uang maupun kehormatan & Pangkat.
 Sejarah yang diketahuai sekarang ini adalah merupakan hasil penelitian, dan tidak semua sejarah yang telah diungkapkan mempunyai saksi hidup yang bisa dijadikan nara sumber. Jika “kebenaran” sejarah tidak diungkap, samapai kapan bangsa ini hidup dalam kebohongan sejarah.
Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang keliru dalam menulis sejarah. Hal-hal tersebut dapat berwujud factor-faktor yang datangnya dari dalam diri si penulis itu sendiri, ada pula yang datangnya dari luar luar. Factor-faktor dari dalam yang dikemukakan ole (Shiddiqi, 1984: 15-16)  misalnya:
1.      Terlalu fanatic terhadap apa yang dituliskannya. Dalam hal seperti ini, penulis adalah orang seorang yang membela gigih kebenaran golongannya sendiri tanpa mau melihat kesalahan-kesalahan yang dperbuat
2.      Terlalu percaya dengan sikap yang berlebihan terhadap kebenaran sumber informasi. Dia penolak semua informasi yang datang dari sumber lain
3.      Keyakinan yang salah terhadap sesuatu hal yang benar atau sebaliknya
4.      Tidak mampu memahami masalah
5.      Tidak mampu menempatkan peristiwa pada proporsi yang benar
6.      Mencari muka agar disenangi oleh orang lain (penguasa)
7.      Adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar dirinya baik dari penguasa maupun dari masyarakat lingkungannya.
Dalam konteks sejarah, ada dua macam kebenaran yaitu, kebenaran yang yang berdasarkan fakta dan yang berdasarkan tulisan. Keobjektifan dalam penulisan sejarah mengacu pada peristiwa yang sebenarnya terjadi dan tidak bisa terulang lagi. Sedangkan sejarah yang subjektif yang ditulis oleh seorang sejarawan. Karena kedua duanya merupakan bagian dari penulisan sejarah. Namun pada dasrnya sejarah adlah ilmu yang bersifat subjektif (Abu Su’ud 2012).
Sejarah dapat dilihat dari arti subjektif dan objektif. Sejarah dalam arti sujektif adalah suatu konstruk, yaitu suatu bangunan yang disususn oleh subjek/ sejarawan/ penulis sebagai suatu uraian atau cerita (Kartodirjo, 1992: 14-15). Oleh karena itu sejarah dalam arti subjektif tidak terlepas dari penagruh penulis. Uraian atau cerita tersebut merupakan suatu kesatuan yang mencakup fakta-fakta  yang dirangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur.
Disetiap tempat, setiap orang dan setiap peristiwa pasti ada sejarahnya, mengapa bisa dikatakan demikian, semua itu karena ada sejarahnya. Akan tetapi sejarah yang terjadi itu tidak semua orang mengetahuinya, kebanyakan orang tidak mengetahui sejarah tentang kota mereka masing-masing. Banyak sejarah-sejarah yang sengaja disembunyikan, entah mengapa hal itu tejadi.
Banyak fakta- fakta sejarah yang sengaja disembunyikan dari penetahuan masyarakat luas. Mungkin karena adanya keburukan atau kejahatan yang dilakukan oleh penguasa pada masa lalu atau bisa juga untuk menyembunyikan konspirasi- konspirasi jahat untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompok- kelompok tertentu. Atau barang kali karena ada kejadian yang memang tidak tercatat dengan baik.
Seperti pelajaran- pelajaran sejarah di bangku sekolah dimaterinya terlihat seolah- olah bukunya itu benar, didalam buku sejarah itu ditulis denagn jelas sekali tentang  tempat kejadian, tokoh dan lain sebagainya, akan tetapi itu semua belum terlalu terbukti dengan benar. Seharusnya, harus ada bukti yang nyayta agar sejarah bukan hanya dianggap sebagai pelajaran khayalan. Hal yang seperti  inilah yang harus dirubah, bahwa seorang penulis harus menuliskan apa yang dituliskannya sesuai dengan fakta yang benar- benar terjadi, terutam untuk penulis yang menuliskan tentang sejarah.
Masalah antar hubungan sejarah dan kekuasaan sudah lama diungkap di tanah air. Idealnya sejarah neruoakan catatan dari apa yang dinamakan peristiwa sejarah. Namun, dalam praktiknya, interpretasi terhadap peristiwa itu sendiri menjadi tak terhindarkan akibat ketidakjelasan peristiwa, keanekaan sumber dan perbedaan informasi dari sumber serta perbedaan pandangan penulis atau pembuat sejarah. Karena itulah, dalam praktiknya masalah interpretasi menjadi sangat penting dan lebih penting lagi ketika sejarah menjadi kepentingan kekuasaan atau penguasa.
Sejarah memilki arti penting bagi sebuah kekuasaan, sejarah juga merupakan fondasi atau penopang sebuah kekuasaan. Maksudnya, selama rakyat masih mempercayai kebenaran sebuah sejarah tertentu, dukungan mereka penguasa akan tetap berjalan. Namun, begitu muncul keraguan akan kebenaran sejarah tersebut, dukungan mereka pun mulai goyah.
Kita ketahui bahwa banyak undur yang mempengaruhi penulis sejarah dalam kerjanya, lalu bagaimana dengan fenomena penggunaan sejarah sebagai alat legitmasi kekuasaan? Kekuasaan atau penguasa sengaja meminta pada sejarawan atau penulis sejarah untuk menuliskan sejarah berdasarkan “pesanan” mereka sag penguasa. Kemudian sejarah yang aslinya mereka sembunyikan, agar tidak mengetahui sejarah yang aslinya seperti apa, yang mereka tahu hanya sejarah yang dituliskan oleh penulis yang sudah dipesan berdasasrkan keinginnan para penguasa.
Dalam menjelaskan fakta-fakta secara umum/general, bisa benar dan salah. Jadi butuh waktu yang lama untuk mengidentifikasi keadaan /kondisi kebenaran. Salah seorang filosof sejarah F.R. Ankersmith memaparkan bahwa mendeskrisikan kembali peristiwa masa lampau secara umum tidak dapat dikatakan benar, karena tidakmenunjukkan setiap kenyataan dunia. Ankersmith menyatakan bahwa peristiwa khusus/particular adalah nyata, tapi generalisasi hanya merupakan konstruksi konsep.
Dapat disimpulkan bahwa proses penulisan sejarah memang tidak bisa dilepaskan dengan sifat subjektivitas baik yang datang dari pribadi sejarawan itu sendiri maupun pengaruh dari luar dirinya. Namun yang terpenting bahwa usaha untuk meningkatkan objektivitas dalam ilmiah perlu terus ditigktakn. Penulis sejarah tidak bisa dilepaskan dengan factor ideologi dan system politik.
Kebenaran itu tidak selamanya dibenarkan, banyak buku-buku sejarah yang isinya berbeda dengan faktanya, mereka (penulis) hanya mengetahui sejarahnya saja tidak disertai dengan fakta-fakta yang terkait dengan sejarah tersebut. Dalam mengungkapkan kebenaran itu dinilai lebih kongkrit, dengan adanya keterkaitan tersebut akan memudahkan dalam mengungkap kebenaran dari fakta sejarah dan sumber yang didapat didukung  dengan pengakuan akan lebih dipercaya lagi bahwasanya sejarah tersebut bukan hanya peristiwa tanpa bukti, tetapi peristiwa dengan bukti yang kuat.
Sekarang sudah terbukti para sejarawan bungkam atau dipaksa bungkam berlomba-lomba menyajikan suatu ‘kebenaran’ tentang masa lalu. Seperti jamur yang tumbuh dimusim hujan. Terlepas dari keragaman sejarah tersebut, semuanya adalah khazanah yang pantas untuk dibaca dalam beruasaha menemukan kembali ‘kebenaran’ sebuah peristiwa.



Referensi:

Howard Zinn. Anthropology off the Shelf: Speaking Truth to Power with Books. Desember 2005
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment