Lautan Materi Para Calon Penulis
Bertajuk ke fifth meeting pada Mata Kuliah Writing and Composition
4 PBI A bersama sang master, Pak Lala Bumela.
Week by week PBI A semakin memanas. Tepatnya pada hari Senin, o3 Maret
2014 PBI A kembali bertanding ria dengan Writing 4. Berada di middle session
membuat para peserta harus konsisten. Apabila peserta ingin mundur dari
pertandingan, lebih baik sekarang karena the next match adalah waktu-waktu
kritis di mana tingkat kesulitan jauh lebih tinggi dengan previous match. Tantangan
lebih tajam lagi dan pertarungan pun semakin sengit. Sang coach tidak
setengah-setengah dalam mendidik dan melatih para peserta writing ini. Tak
segan-segan beliau menggunakan volume tingkat tinggi dalam pembelajarannya. Yang
harus dilakukan para pesertanya adalah membuat progress yang maju dan bersinar
berkualitas.
Pelatihan para calon penulis ini rupanya mendapat gretakan yang
membuat jiwa tulis-menulis ini sadar. Sang coach memberikan kami evaluasi pada
essay kami. masih banyak lubang yang menganga yang harus kami tutup
rapat-rapat. Namun, inilah sebuah proses yang memang tidak bisa dihindari para
calon penulis dalam perjalanannya menuju golden time for get the masterpiece. Pelatih
mengevalusi kekurangan kami yang ternyata jumlah kekurangan kami tidak sedikit.
Perlu ditekankan lagi beberapa kekurangan itu agar menjadi pelajaran dan tidak
akan me-repeat kesalahan ini. Gretakan dan ketidakpuasan pelatih dijadikan
sebuah butir motivasi agar lebih tertantang lagi dan maju dari sebelum
Karena kekurangan para calon penulis
ini terlalu besar, sang coach memberikan menu tambahan untuk nutrsi kami. Menu tersebut ialah kita harus mendalami context,
literacy, culture, technology, genre, identify, intertextuality, dan lain
lain.
Mengingat mengenai literasi, seorang penulis yang masih
amatir harus mengulas lagi literasi dan seluk-beluk tulis-menulis. Perlu
diketahui bahwa siswa Indonesia tidak
pernah mendapatkan materi bagaimana cara menulis yang benar (Anshori, 2003
). Siswa dan guru biasanya lebih menekankan kegiatan pembelajaran terhadap
penguasaan materi yang mengarah pada keberhasilan siswa dalam Ujian Akhir Nasional.
Padahal, belajar menulis merupakan seperangkat proses yang kompleks dan sulit
sehingga memerlukan kerangka metodelogi pembelajaran yang jelas pada semua
tahapan pembelajaran (Knapp & Watkins, 2005 ). Akan tetapi,
keterampilan menulis adalah proses kognitif yang sangat rumit (Sibarani,
2007).
Literasi hingga kini memang tak mudah diaplikasikan. Rasa manusia
yang acuh tak acuh memang menjadi suatu batu keras yang menghalangi kepedulian
literasi. Menengok ke Mikko Lehtonen, ‘The Cultural Analysis Of
Texts’, 2000. Di situ sijelaskan bagi orang-orang barat, membaca dan
menulis tampaknya menjadi kegiatan yang paling alami. Pada tahun 1985, hampir
30% dari semua orang di bumi tidak bisa memahami sebuah teks tertulis. Pada
tahun yang sama pula, hampir 900 juta dari seluruh populasi orang dewasa dunia
lebih dari 15 tahun yang buta huruf. Keterampilan membaca dan menulis harus
dipertimbangkan dan benar-benar tergantung pada pelatihan yang disengaja dan
belajar sadar. Literasi adalah kegiatan sosial dengan karakter. Hal ini dapat
digambarkan sebagai praktek dimana orang tertarik dalam membaca yang berbeda.
Setiap orang memiliki jenis keterampilan membaca yang berbeda dan mereka
mengaplikasikannya dalam kehidupan. Namun, segala bentuk keaksaraan mencakup
kemampuan untuk mengontrol sistem yang berbeda-beda dari simbol-simbol dimana
realita diwakili untuk pembacanya. (Lehtonen, 2000: 35).
Menengok pula pada halaman-halaman Key Hyland dalam buku “Teaching
and Researching Writing’, 2009. Pada dasarnya, menulis adalah kegiatan
memecahkan masalah, yakni bagaimana penulis mendekati tugas menulis sebagai
masalah dan membawa intelektual sumber daya untuk memecahkan masalah tersebut (Hyland,
2009:83) .
Menurut Nystrand, menulis adalah interaksi sosial. Proses
menulis ialah soal menguraikan teks sesuai dengan apa yang bisa penulis asumsi
bahwa pembaca tahu dan mengharapkan dan proses membaca adalah masalah
memprediksi teks sesuai dengan apa yang pembaca asumsi tentang tujuan penulis.
Sebagai akibatnya, komunikasi tertulis didasarkan pada apa yang penulis atau
pembaca masing-masing menganggapkan yang lain akan melakukan atau telah
dilakukan ( Hyland, 2009:45 ).
Literasi memang bukan hal tulis-menulis saja, namun hal yang paling
disoroti memang tulis-menulis. Menulis adalah suatu kegiatan penyampaian pesan
dengan menggunakan bahasa tulis sebagai medianya (Suparno dan Yunus, 2003). Pesan adalah
isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan, sedangkan tulisan
merupakan simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati
pemakaiannya. Dalam komunikasi tulis, paling tidak terdapat empat unsur yang
terlibat, yakni penulis sebagai penyampai pesan isi tulisan, saluran atau media
yang berupa tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan. Dengan keterampilan
menulis yang baik, penulis dapat menyebarluaskan pemikiran, pendapat,
pandangan, gagasan, atau perasaannya tentang berbagai hal secara produktif ,
menarik, dan mudah dipahami.
Selama ini, pembelajaran menulis lebih ditekankan pada hasil yang
berupa tulisan, tidak pada apa yang seharusnya dikerjakan siswa ketika menulis.
Guru meminta siswa untuk menulis sesuai dengan kompetinsi dasar dalam
kurikulum. Setelah selesai, tulisan siswa dikumpulkan, dikoreksi, dan dinilai
oleh guru. Kegiatan ini terus menerus dilakukan yang akibatnya menulis
dipandang sebagai keterampilan bahasa yang sangat penting yang harus dikuasai
oleh siswa (Hyland, 2007) aktifitas menulis tidak dapat dilepaskan dari
budaya baca-tulis (Barton, Hamilton, & Ivanic, 2000). Budaya
baca-tulis (literasi) merupakan kebaikan dari budaya dengar-ucap (orasi) (
Alwasilah, 2005)
Teks dan Konteks
Berbicara pada tulis-menulis, teringat pada teks konteks, intertekstualitas
, genre, identity, dan sebagainya. Bagaimana hal-hal tersebut berperan dalam
sebuah essay. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa teks adalah simbol
atau lambang yang dapat dilihat. Menurut Barthes (1981:32), teks adalah
permukaan fenomena sebuah karya satra. Teks adalah kata-kata yang membentuk
karya dan yang disusun dengan cara sedemikian rupa untuk membelokkan arti yang
tetap dan seunik mungkin. Karena teks merupakan tenunan yang dijalin, teks
sebagi jaringan yang secara konsitutif
berhubungan dengan tulisan, maka teks memiliki fungsi menjaga
permanennya inskripsi yang ditulis aga ingatan terbantu. Selain itu, teks
memiliki aspek legalitas karena memiliki sifat yang tetap dan tidak terhapus.
Sebuah wacana dibentuk oleh penulis yang berusaha untuk
menyeimbangkan tujuan mereka dengan harapan sang pembaca melalui proses
negoisasi (Nystrand : 1989 : 75). Teks sering ditujukan khalayak. Ketika
seorang penulis membuat sebuah buku, dia berfikir dan membayangkan pembacanya
ialah seorang penulis yang lebih darinya, tetapi sebenarnya penulis tidak bisa
memprediksi latar belakang budaya, pengetahuan, dan keinginan seorang
pembacanya. Bisa saja pembaca itu ialah guru, mahasiswa, pelatih, atau seorang
peneliti tesis. Dengan kata lain, buku dubaca oleh kalangan apapun, yakni
pemula, praktisi, spesialis, dan lan-lain. Penulis tahu bahwa tidak semua
pembaca nya akan menangkap makna penulis (Hyland, 2009: 46 ).
Teks bukan merupakan objek yang tetap, melainkan dinamis. Karena
dinamis, teks baru hidup didalam interaksi tersebut. Pengarang bukan lagi
penentu makna dan kebenran, melainkan hanya menaruh makna tekstersebut. Produk
tulisan yang performatif dan menghasilkan sesuatu, aktifitas pembaca
memperbanyak diri nya sendiri tanpa batas. Teks membuat celah pada tanda
sehingga muncul berbagai arti. Oleh karena itu, teks bukan objek yang stabil,
maka kata teks menjadi suatu pokok yang padat dalam metabahasa.
Culture Context
Konteks situasi beroprasi
lebih luas dan lebih abstrak. Halliday menyebutnya dengan konteks budaya
( ulture context ). Hal ini mengacu pada cara-cara sosial struktur, hirarki, ideologi
kelembagaan, dan disiplin yang memengaruhi bahasa yang digunakan dalam keadaan
tertentu. (Rusell, 1997). Contohya, penyelidikan kursus biologi mengenai
sel. Hal ini menunjukkan bahwa menulis siswa dalam kursus ini terletak baik di
tingkat mikro konteks (lab, riset sang profesor, universitas, administrasi, dan
disiplin terkait). Maupun ditingkat macro struktur sosial dan politik (perusahaan
obat, keluarga, pemerintah lembaga penelitian). Jadi, tidak seperti konteks
situasi, pengaruh konteks budaya pada penggunaan bahasa yang lebih menyebar dan
tidak langsung, yang beroprasi pada tingkat yang lebih abstrak. Hallyday
melihat konteks budaya seperti yang diungkapkan dalam konteks yang lebih
spesifik dari situasi, sehingga kita menggambarkan situasi sosial sebagai
bagian dari budaya yang lebih luas.
Intertextuality
Tentunya , setiap pembaca yang berhadapan dengan benda yang bernama
teks pasti akan bertarung dengan proses pemaknaaan. Ia menentukkan bagaimanakah
signifikan teks yang ia baca. Tanpa ia sadari, kode dan signifikasi yang ada di
dalam teks tersebut diperoleh dari teks-teks sebelumnya yang pernah ia baca.
dengan demikian, tanpa ia sadari pula sebenarnya tidak ada satupun teks yang
benar-benar manidri atau beriiri senduri. Setiap teks yang ada selalu terkait
dengan teks yang lainnya untuk mendapatkan signifikansi.
Keadaan ini telah disinggung oleh Julia Kristefa (Culler,
1981:104) bahwa jumlah pengetahuan yang dapat membuat suatu teks sehingga
memiliki arti, atau intertekstualitas, merupakan hal yang tidak bisa dihindari
karena setiap teks bergantung, menyerap, atau merubah rupa dari teks sebelumnya.
Hal senada disampaikan oleh Laurent Jeny (Culler. 1981:104) sebagai
“outside of intertextuality, the literary work would be quite simply interceptible,
in the same way as an uttarance is an as yet unknown language.” ini artinya
bahwa ketika suatu teks benar–benar tidak bergantung pada teks lain, maka teks
tersebut menjadi tidak bersignifikansi.
Namun masalahnya, sebagaimana dituturkan oleh Jenny. Istilah intertekstualitas
sendiri juga sulit dimaknai secara tepat sebab’. “at what paint can one start
to speak the presence of one text in another as an istance of intertextuality”.
Intertekstualitas merupakan salah satu teori yang digunakan oleh
pembaca untuk memperoleh makna dalam proses membaca suatu karya sastra. Hal itu
karena setiap pembaca yang berhadapan dengan teks pasti bertemu dengan proses
pemaknaaan. Pada hakikatnya, seseorang membaca untuk memperoleh informasi atau
makna dari teks yang ia abca. Dilihat dari pengertian yang lain, secara Ivas
interetext diartikan sebagai jaringan hubungan antara suuatau teks dengan yang
lainnnya. Lebih dari itu, teks itu sendidri secara etimologias (tekstus atau
bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan
jalinan. Produksi makna terjadi dalam
intertekstualitas, takni melalui proses oposoisi, permutasi, dan transformasi.
Kajian intertekstualitas berangkat dari asumsi bahwa kapanpun karya
tulis itu muncul, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Penulisan
suatu karya sastra tidak mungkin lepas dari unsur kesejarahannya. Teks dibaca
memang dengan adanya latar belakang teks lain. Teks yang menjadi latar
penciptaan karya baru disebut hipogram. Sedangkan teks baru yang menyarap dan
mentransformasikan hipogram disebut teks transformasi (Riffatera, 1978:23)
Pemikiran Kristeva mengenai intertekstualitas dapat
dijabarkan sebagai berikut [Adaptasi dari Junus (1985:87-88)]
a.
Kehadiran
suatu teks di dalam teks yang lain,
b.
Selalu
adanya petunjuk yang menunjukkan hubunagan antara suatu teks dengan teks-teks
pendahulu,
c.
Adanya
fakta bahwa penulis suatu teks pernah telah memebaca teks-teks pemengaruh
sehingga nampak jelek,
d.
Pembaca
suatu teks tidak akan pernah bisa membaca teks secara pisah dengan teks-teks
yang lainnya. Ketika ia membaca (dalam
rangka memahami) suatu teks, ia membacanya berdamppingan dengan teks-teks
lainnya.
Oleh karena itu, secara
praktis aktifitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu:
a)
membaca
2 teks atau lebih secara berdampingan pada saat
yang sama.
b)
hanya
membaca sebuah teks tetapi dilatar belakangi oleh teks-teks yang pernah ia baca
sebelumnya.
Intertekstualitas yang
sesungguhnya ialah yang kedua sebab inilah yang memungkinkan terjadinya teks
jamak, yang dilakukan melalui dimensi-dimensi interlocutor, yang suara-suara
nya dapat diperdengarkann pada setiap wacana itu juga, yang berbeda-beda sesuai
dengan intensi wacana masing-masing. Sekali lagi, tidak ada teks yang mandiri,
tidak ada pula orisinalitas dalam pengertian yang sungguh-sungguh, oleh karena
itu , pada dasarnya tidak ada wacana yang pertama dan terakhir, setiap wacana
merayakan kelahirannya (Ratna, 2004;174-175).
Intertekstualitas
sama sekali tidak perlu berdasarkan niat eksplisit atau kesengajaan seorang
penyair, sering kali seorang penyair pasti tidak sadar akan hipogram yang merupakan
latar sajak nya sendiri. (Teeu, 1983:70)
Arti suatu unsur
dianggap akan dapat diterangkan dengan menghubungkannya dengan unsur lain dalam
teks tersebut. Jadi, suatu teks dilihat sebagai suatu wacana, discourse.
Penelitian ini tersebut sebagai intertekstual. Apabila teks satra, dalam
batas-batas tertentu, dianggap sebagai teks yanng serius, penuh kesungguhan,
maka mungkin ada teks lain yang bersifat sebaliknya, yakni bersifat komedi
(lucu). Dalam hubungan ini, teks itu harus dilihat dalam hubungan dengan
teks-teks lainnya, sehingga terjadi ciri intertekstual (Junus 1988:86) :”
karya sebagai sumber makna: pengantar struktualisme’.
Munculnya tekt-teks lain dalam suatu karya sastra memberikan warna
dan corak tersendiri bagi teks yang terdapat dalam karya tersebut. Text yang
muncul kemudian merupakan jawaban,
peninjauan kembali, penggeseran, idealisasi, pemecahan, dan sebagainya dari
teks yang mendahuluinya. Oleh karena itu, pemahaman teks baru memerlukan latar
belakang pemahaan teks-teks yang mendahuluinya, dan hal itu merupakan prinsip
intertekstualitas. Hal ini menunjukkan bahwa senantiasa akan ada keterkaitan
antara teks yang satu dengan teks yang lainnya.
Sebenarnya, tujuan interteks itu sendiri adalah untuk memberikan
makna secara lebih penuh terhadap karya (karya satra). Penullisan atau
pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahan, sehingga
pemberian makna itu lebih lengkap jika dikaitkan denganunsur sejarah.
Proses Genre
Menurut Kastam Syamsi, salah satu cara untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran menulis adalah dengan melakukan inovasi model
pembelajaran melalui penerapan pendekatan proses genre, pendekatan ini
merupakan perpaduan antara pendekatan proses dan pendekatan genre (Nordin
& Mohammad, 2006, LEE,Goh,Chan,Yang,2007).
Menurut Badger
Dan White (2000), pada dasarnya terdapat tiga pendekatan utama dalam
pembelajaran menulis, yakni pendekatan produk,
pendekatan proses, dan pendekatan genre. Akan tetapi, ketiganya memiliki kekurangan
dan kelebihan masing-masing. Ketiganya dianggap saling melengkapi sehingga
disarankan adanya pendekatan baru yang disebut pendekatan proses genre.
Pendekatan proses genre
mencakup penciptaan kondisi ketika siswa dibantu untuk mengidentifikasi tujuan
menulis, mempertimbangkan bentuk, gaya konteks, suatu teks tulisan yang akan
disusun.
Lee, goh, chan, dan yang
(2007) menawarkan suatu model pembelajaran
menulis berdasarkan pendidikan proses genre dengan tahapan itu adalah :
1)
mengenal
teks,
2)
memahami
bahasa teks
3)
berlatih
menganalisis teks
4)
merefleksi
5)
mengembangkan
ide atau bahan
6)
menyusun
kerangka tulisan
7)
menyusun
/ menulis draft
8)
merevisi,
Beberapa genre menampilkan
tumpang tindih yang signifikan dalam hal tujuan dan pengguna, sementara yang
lain telah banyak kesamaan, tetapi semua membantu untuk membuat hirarki teks
yang bervariasi dalam paraktisi yang berbeda dalam disiplin ilmu yanng berbeda
pula. Jadi, apabila menulis review artikel atau buku,, teks mungkin
,memillikisedikit karir atau nilai akademis. (Hyland, 2006: 55).
Academic Writing Involves The Writer’s Sense Of
Identity.
Ivanic’s work has shown how our writing identities are both
individual and collective (ivanic, 1998 : 332 ). Developing “ a sense of
authorship “ is the way that ivanic has expressed the crentally of identtily to
academic writing. This idea can be traced back to her involvement with the
adult literacy student writing movement (Ivanic And Moss, 1991, Gardener ,
1992; Rapal 1999; Mace , 1995 ) (lih,’why
Writing Matters’, 2009).
Teknologi
Literasi 9Melek Teknologi)
Melek teknologi adalah
peserta didik aktif terlibat dalam proses teknologi atau belajar memanfaatkan
hasil teknologi tidak hanya mengetahui atau mengenal saja. Peserta didik pun
mampu memanfaatkan teknologi sebaik mungkin. Pemanfaatan teknologi ini juga
bermanfaat untuk melatih diri mereka sendiri. Selain itu, dengan teknologi
pserta didik mampu menemukan dan memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-harinya melalui penggunaan teknologi.
Berbicara mengenai history seperti yang sebelumnya dikupas dalam
critical review kedua kami, ternyata history memiliki magnet kaitannya dengan literasi. Pada halaman-halamn indah Lehtonen,
tertulis “Our life histories contain many literacy events from which we learn and which contribute to
the present.” Kemudian “The literacy event also has a social hiatory which help
creat current practices.”
Minggu lalu, para calon
penulis berlatih menulis satu jam per 500 kata. Pelatih give a free writing
about Howard Zinn. Hasil tulisan saya memang tidak memuaskan dan belum mencapai
200 katapun. Rangkaian katanya pun belum
menggugah selera sang pelatih, inilah hasilnya:
This is The Real Howard Zinn
Many people knew Howard Zinn as a
historian but they did not know more about Howard Zinn. If you see in wikipedia
for his profil, you will know that he was a historian and politican. He studied
in historian major at united States University. Surely, he expect at all about
history and politican.
He has maked a fenomenal book entittled
“A people’s History of The United States”. This book maked the
reader shocked. He wrote the struggle of society when Columbus came firstly in
America. He is different with each other when he wrote the history of Amerika.
if the other historian maked the story from the right and told about the
kindess of Columbus, it is different with Howard Zinn. He wrote the real of
Columbus as the criminator, mutilator, genocide, rape, and so on.
He as American historian took the
different way for write the history of America. But here, we talk about the
real of Hazard Zinn as a historian. He write the history.
Rangkaian kata diatas adalah hasil free wrting saya yang baru
mencapai 173 kata. Memang tak mudah menulis dengan diwaktu dan target 1 jam/500
kata. Namun, ini menjadi latihan bagi kami untuk menulis cepat dan natural.
Begitu banyaknya materi-materi yang harus diingat bahkan
diaplikasikan para calon penulis agar dapat menjadi penulis yang handal. Materi-materi
tersebut tak lain dan tak mungkin ialah bagian dari jelajah litersi kita.
Sebagai calon penulis handal, pastinya tidak jauh dri kata literasi yang memang
membangun jiwa kita menjadi pribadi yang disiplin dan berkualitas. Lautan
materi terseb harus dijelajahi sedalam mungkin oleh para calon penulis agar
kehandalan dalam menulis, membaca, dan berlitersai tak terkalahkan.