Class
Review 6
Kreatifitas
Menulis Sebuah Praktek Literasi
(By:
Evi Alfiah)
Pagi-pagi buta
ketika hari masih gelap dan berkabut diselimuti oleh dingin yang memaksa saya
harus terbangun dari mimpi malam itu.
Hari ini tidak seperti biasa. Jam 05.00 tepat saya harus berangkat ke kampus,
karena perkuliahan dimulai pada jam 05.45 WIB.
Waktu yang cukup pagi untuk memulai perkuliahan. Namun dengan semangat
para mahasiswa antusias mengikuti perkuliahan.
Pada
pertemuan kali ini Mr.Lala memberikan sebuah kutipan yang isinya mengenai
literasi. Kaum literat adalah mereka
yang tercerahkan oleh ilmu pengetahuan dan keterampilan. Mereka yang baru fase awal ; peniru. Meniru adalah bagian penting dari menemukan
lalu menciptakan, dari memahami affordance dan meaning potential. Literasi harus ditumbuh kembangkan dalam
ranah kehidupan ini agar hidup kita tercerahkan.
Berlanjut
pada slide berikutnya, Mr. lala melanjutkan penjelasannya. Kutipan pada slide beliau adalah Fowler (1996
: 10) : “Like the historian critical linguist aims to understand the values
which underpin social, economic, dan political formations and diachronically,
changes in values and changes in formations, yang artinya seperti para linguist
pengkritik sejarawan yang bertujuan untuk memahami nilai-nilai yang mendukung
formasi social, ekonomi, politik, diakronis, perubahan dalam penilaian dan
perubahan formations. Kutipan selanjutnya
yaitu : Fowler (1996: 12) “Ideology is of course both a medium and an
instrument of historical processes”, yang artinya ideology ini tentu saja baik
media, alat proses sejarah. Values
merupakan factor yang sangat penting untuk diperhatikan dipahami.
Setiap
sejarah pasti memiliki values yang berbeda-beda ada yang baik ada juga yang
buruk. Cara memahami values tergantung
ideology setiap orang. Values dipahami
untuk menilai sesuatu dan di dalam praktek literasi tidak ada yang netral
karena ideology tidak netral. Ideology
is omnipresent in every single text (spoken, written, audia, visual, or the
combinations of all of them) (Fowler : 1996) text productions is never neutral
( Fairclough 1989 ; 1992; 1995; 2000; Lehtonen 2000). Literacy is never neutral (Alwasilah 2001-2002). Therefore,
reading and writing is always
ideologically motivated. Writing in college often takes the form of
persuasion convincing others that you have an interesting, logical point of
view on the subject you are studying. Persuasion is a skill you practice regularly
in your daily life. In college,
course assignments often ask you to make a persuasive case in writing.
Berlanjut pada slide berikutnya yaitu : You are
asked to convince your reader of your point of view. This form of persuasion,
often called academic argument, follows a predictable pattern in writing. After
a brief introduction of your topic, you state your point of view on the topic
directly and often in one sentence. This
sentence is the thesis statement, and it serves as a summary of the argument
you’ll make in the rest of your paper.
Ideologi itu ada dan hadir dimana-mana. Baik di teks tertulis, lisan audio, visual
atau kombinasi dari semuanya. Membaca
dan menulis selalu termotivasi secara ideology.
Dalam menulis, ideology kita bermain.
Menulis tentu di dalamnya memiliki ideology yang sesuai dengan
penulisnya. Disini identitas seorang
penulis diketahui. Pembaca dan penulis
memiliki sudut pandang yang berbeda, namun penulis harus bisa meyakinkan dan
membuat menarik pembaca atas tulisan kita.
Bentuk persuasi sering disebut dengan argument academic. Di dalam
tulisan argument penulis muncul setelah dia menjelaskan pengenalan singkat dari
sebuah topic. Berikut adalah
tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh penulis :
1. Emulate
Emulate
adalah salah satu tugas perkembangan yang perlu dilalui oleh seorang pelajar
dalam menciptakan suatu karyanya, terkhusus dalam pembuatan karya ilmiah. Sebelum masuk pada keterampilan-keterampila
yang lainnya. Pemahaman konsep menulis
menjadi hal yang penting bagi kita, termasuk pelajar karena dalam praktek
kesehariannya banyak yang terampil dalam membaca tetapi mengalami kesulitan
dalam menulis.
2. Discover
Setelah
proses emulate sudah dilakukan, ternyata emulate ini kurang efektif jika
dilakukan terus menerus dan menjadi kebiasaan bahkan menjadikan itu sebagai
suatu keharusan. Discover ini adalah
kegiatan tahap ke dua yang dilakukan seorang penulis untuk mencipatakan karya
tulisnya. Pada tahap ini biasanya baru
belajar bagaimana menyusun kalimat yang baik, bagaimana menciptakan gagasan
atau ide-ide yang akan dituangkannya.
Setelah mereka melewati tahap awal yaitu emulate maka mereka akan
menentukan gambaran-gambaran ide-ide yang akan mereka tuliskan nanti.
3. Create
Selanjutnya
tahap create. Terkadang kita kagum pada
keterampilan menulis seseorang yang semakin baik setiap hari, terkadang kita
iri pada hal tersebut, maka practice adalah cara yang tepat untuk bisa
menyeimbangkan dengan penulis yang lebih baik.
Sebelum melakukan tahap create, penulis harus sudah melalui tahap-tahap
sebelumnya.
Dari
pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keterampilan menulis adalah isi
dari praktek literasi. Penulis
seyogyanya mampu berfikir kreatif untuk dapat menulis dengan baik dan tulisan
tersebut mampu menarik pembaca untuk menyukai tulisannya. Terdapat tahap-tahap yang membimbing seorang
yang ingin menjadi penulis agar progresif.