Class Review 5
Literacy:
Lebih Dalam Memahami Baca-Tulis
(By: Evi Alfiah)
Background
knowledge merupakan factor yang membuat pembaca
memiliki selera membaca yang berbeda.
Tidak semua pembaca suka terhadap suatu bacaan tertentu, karena mereka
memiliki level bacaan yang berbeda. Hal
ini juga yang terjadi di kelas writing 4 TBI-A.
hasil karya tulis para mahasiswanya belum bisa memenuhi kepuasan
dosennya sebagai pembaca. Senin, 03
Maret 2014. Mr. Lala Bumela masih aktif
membawakan Mata Kuliah Writing and Comprehension 4 di kelas TBI-A. Beliau masih semagat membawakan materi-materi
writing yang luar biasa yang harus mahasiswa gali lebih dalam.
Selain daya baca yang kurang, mahasiswa rupanya
belum bisa memahami teks. Mahasiswa
masih tersesat dalam menulis yang baik.
Ken Hyland dalam bukunya Teaching
and Researching Writing mengatakan ada 6 persoalan kunci dalam
menulis. Persoalan tersebut adalah
mengenai context, literacyi, culture,
technology, genre dan identity.
Berikut merupakan penjabaran dari isu-isu tersebut :
1. Context
Dalam
menulis pasti memiliki konteks. Koteks
dilihat sebagai latar belakang yang terpisah teks, yang dalam peran jenis
tertentu merupakan informasi tambahan yang bisa jadi bantuan dalam memahami
teks tersebut. (Lehtonen : 2000). Makna
dari teks tidak terletak di dalam kata yang dituliskan oleh penulis dan
dikirimkan kepada pembaca. Akan tetapi makna akan tercipta antara penulis dan
pembaca selama mereka merasakan teks
dalam cara-cara yang berbeda, masing-masing menduga maksud/tujuan dari yang
lain (Hyland : 2009).
Van
Dijk (2008 : viii). Dalam bukunya
melihat konteks sebagai sekelompok variable statis yang mengelilingi penggunaan
bahasa. Kita harus melihatnya dilantik
sebagai interaktif social berkelanjutan dan terikat oleh waktu (Duranti and
Goodwin, 1992). Konteks mungkin intuitif
meliputi segala sesuatu. Cutting (2002 :
3) menyatakan bahwa ada tiga aspek utama konteks dalam penafsiran ini.
Ø Konteks
situasional : apa yang diketahui masyarakt tentang apa yang dapat mereka lihat
disekitar mereka.
Ø Latar
belakang konteks pengetahuan : apa yang diketahui masyarakat tentang dunia,
aspek kehidupan, dan satu sama lain.
Ø Co-textual
konteks : apa yang masyarakat ketahui tentang apa yang mereka telah katakana.
Analisis
yang lebih berorientasi memahami konteks bahasa yang berbeda cara dan dimulai
dengan teks, sifat-sifat situasi social sebagai sistematis dikodekan dalam
wacana. Pendekatan lain bahasa,
linguistic fungsioanl sistemik telah berusaha untuk menunjukan bagaimana
konteks meninggalkan jejaknya atau disajikan dalam pola penggunaan bahasa. Halliday mengembangkan analisis konteks
berdasarkan gagasan bahwa teks adalah hasil dari pilihan bahas penulis dalam
konteks situasi tertentu ( Malinowski, 1949).
Artinya,
bahasa bervariasi sesuai dengan situasi dimana ia digunakan, sehingga jika kita
meneliti teks kita dapat membuat dugaan tentang situasi atau jika kita dalam
situasi tertentu kita dapat membuat pilihan linguistic tertentu pula sesuai
situasi.
2. Literacy
Menulis
dan menbaca adalah action dari literasi.
Bagaimana kita menggunakan sebuah bahasa dalam kehidupan kita. Konsep modern literasi melihat menulis
sebagai practice of literasi bukan sebagai skill abstrak dimana seseorang
menggunakan sebuah teks. (Hyland : 2009).
Scribner
dan Cole (1981 : 236) mengatakan bahwa melek tidak hanya mengetahui cara
membaca dan menulis maskah tertentu, tetapi menerapkan pengetahuan ini untuk
tujuan tertentu dalam konteks tertentu yang digunakan. Ini adalahlayak dipertimbangkan. Peran keaksaraan membantu kita untuk memahami
bagaimana orang hidup yang masuk akal melalui praktik rutin menulis dan
membaca. Pandangan keaksaraan social :
ü Literasi
adalah kegiatan social dan jauh lebih baik dijelaskan dalam halo rang praktik
keaksaraan.
ü Orang-orang
memiliki kemahiran yang berbeda yang berhubungan dengan berbagai domain
kehidupan.
ü Praktik
keaksaraan masyarakat terletak dalam hubungan social yang lebih luas sehingga
perlu untuk menggambarkan pengaturan peristiwa keaksaraan
ü Praktik
keaksaraan berpola oleh lembaga-lembaga social dan kekuasaan hubungan dan
beberapa kemahiran yang dominan, terlihat dan berpengaruh daripada yang lain.
ü Litersi
didasarkan pada system symbol sebagai cara untuk mewakili dunia kepada orang
lain dan diri sendiri.
ü Sikap
dan nilai-nilai yang berkaitan dengan panduan keaksaraan tindakan kita untuk
komunikasi.
ü Sejarah
kehidupan kita mengandung banyak peristiwa keaksaraan darimana kita belajar dan
yang memberikan kontribusi hingga saat ini.
ü Sebuah
peristiwa keaksaraan juga memiliki sejarah social yang membantu menciptakan
arus praktek.
3. Culture
Budaya
secara umum dipahami sebagai historis ditransmisikan dan jaringan sistematis
makna yang memungkinkan kita untuk memahami, mengembangkan dan
mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan kita tentang dunia. (Lantolf :
1999). Akibatnya, bahasa dan
pembelajaran dikepung oleh budaya.
Budaya
memiliki keterkaitan dengan menulis karena nilai-nilai budaya kita dilakukan
melalui bahasa, tetapi karena budaya juga membuat kita tersedia untuk pasti
menggunakan cara mengorganisir persepsi
dan harapan kami, termasuk yang kita gunakan untuk belajar dan berkomunikasi
secara tertulis (Hyland : 2009)
4. Technology
Zaman
sekarang merupakan zaman serba canggih dimana orang dapat dikatakan orang yang
literate bukan hanya dari kemampuan membaca dan menulis saja tetapi juga
berdasarkan kemampuannya dalam menggunakan teknologi. Technology menjadi tantangan tersendiri bagi
para pembaca dan penulis untuk dapat berliterasi sesuai perkembangan zaman dan
kecanggihan teknologi.
5. Genre
Genre
adalah istilah untuk mengelompokkan teks bersama-sama, mewakili bagaimana
penulis biasanya menggunakan bahasa untuk menanggapi situasi berulang. Mereka adalah sumber daya untuk mendapatkan
hal-hal dilakukan dengan menggunakan bahasa, yang mencerminkan gagasan bahwa
anggota masyarakat biasanya memiliki
sedikit kesulitan dalam mengenali kesamaan dalam teks lisan dan tertulis yang mereka gunakan sering dan mampu menarik pengalaman mereka berulang-ulang dengan teks tersebut untuk memahami dan menghasilkan mereka relatif mudah . Hal ini karena menulis dan berbicara didasarkan pada harapan : penulis, misalnya, membuat maknanya jelas dengan mengambil kesulitan untuk mengantisipasi apa yang pembaca dapat mengharapkan didasarkan pada teks-teks sebelumnya mereka telah membaca dari jenis yang sama. Unit ini memperkenalkan beberapa ide kunci dari genre dalam Pengajaran EAP dan penelitian, dimulai dengan karakterisasi singkat dari istilah tersebut.
sedikit kesulitan dalam mengenali kesamaan dalam teks lisan dan tertulis yang mereka gunakan sering dan mampu menarik pengalaman mereka berulang-ulang dengan teks tersebut untuk memahami dan menghasilkan mereka relatif mudah . Hal ini karena menulis dan berbicara didasarkan pada harapan : penulis, misalnya, membuat maknanya jelas dengan mengambil kesulitan untuk mengantisipasi apa yang pembaca dapat mengharapkan didasarkan pada teks-teks sebelumnya mereka telah membaca dari jenis yang sama. Unit ini memperkenalkan beberapa ide kunci dari genre dalam Pengajaran EAP dan penelitian, dimulai dengan karakterisasi singkat dari istilah tersebut.
Genres are recognized
types of communication actions, which means that to participate in any social
event, individuals must be familiar with genres they encounter there. Because of this genre is now one of the most
important concepts in language education today
(Hyland 2009: 63).
6. Identity
Identitas
mengacu pada cara-cara orang menampilkan
siapa mereka pada satu sama lainnya (Benwell dan Stokoe, 2006 : 6). Identitas dipandang diskontruksi oleh
terlibatnya teks kita dan pilihan bahasa yang kita buat sehingga identitas bergerak
dari pribadi ke ranah public. Identitas
itu adalah sesuatu yang kita katakana atau tulis pada kenyataannya, mengatakan
sesuatu tentang kita dan jenis hubungan kita ingin membangun dengan orang lain
(Hyland: 2009). Hubungannya dengan menulis, identitas memperkenalkan siapa
penulis yang dapat dilihat dari voice dalam tulisannya.
Setelah
membahas tentang isu-isu dalam writing,
kemudian berlanjut pada pembahasan berikutnya yaitu mengenai
intertextualitas. Intertekstualitas
merupakan salah satu teori yang digunakan oleh pembaca untuk memperoleh makna
dalam proses menbaca suatu karya sastra. Karena setiap pembaca yang berhadapan
dengan teks pasti bertemu dengan proses pemaknaan. Pada hakekatnya seseorang membaca
untuk memberoleh sesuatu, entah itu berupa informasi atau makna dari teks yang
dibaca tersebut.
Teori
intertekstualitas pada awalnya diperkenalkan oleh Julia Kristeva seorang
peneliti dari Prancis mengungkapkan dalam (Culler, 1981: 104) bahwa jumlah pengetahuan
yang dapat membuat suatu teks sehingga memiliki arti, atau
intertekstualitas merupakan hal yang tak bisa dihindari, sebab setiap teks
bergantung, menyerap, atau merubah rupa dari teks sebelumnya. Bakhtin
(1986), as cited in Hyland (2002): language is dialogic: a conversation between
writer and reader in an ongoing activity. Gagasan ini menunjukan bahwa wacana selalu
terkait dengan wacana lain, baik saat merek berunah dari waktu ke waktu dan
kesamaan mereka pada setiap titik waktu.
Hubungan antara teks dan user terhadap network, tentang text dan
menetapkan terlebih dahulu suatu system untuk membentuk suatu arti ‘meaning’
yang dapat dikenali oleh text-user yang lainnya. Hyland
(2002): Writing
reflects traces of its social uses because it is linked and aligned with
other texts upon which it builds and which it anticipates.
Menurut
Laurent Jenny dalam (Culler, 1981: 104) sebagai “outside of
intertextuality, the literary work would be quite simply impertceptible,
in the same way as an utterance in an as yet unknown language”. Yang
artinya bahwa ketika suatu teks benar-benar tidak bergantung kepada teks lain,
maka teks tersebut menjadi tidak bersignifikansi. Culler menekankan intertekstualitas
memiliki dua fokus kajian (Culler, 1981: 103);
1.
Penyadaran posisi penting prior
texts (teks-teks pendahulu).
2.
Intelligibility (tingkat
terpahaminya suatu teks) dan meaning (makna) yang ditentukan
oleh kontribusi teks-teks pendahulu terhadap berbagai macam efek signifikansi.
Karya sastra ditulis atau dicipta berdasarkan konvensi sastra yang ada. Karya
sastra ditulis mencontoh karya yang sudah ada sebelumnya. Akan tetapi, di
samping itu, karya sastra adalah kreatifitas, maka karya sastra ditulis tidak
semata-mata hanya mencontoh saja, melainkan juga memperkembangkan konvensi yang
sudah ada, bahkan menyimpangi ciri-ciri dan konvensi-konvensi yang ada dalam
batas-batas tertentu. Dalam sejarah sastra selalu ada ketegangan antar konvensi
dengan pembaharuan (Teeuw, 1980: 12). Hal ini merupakan prinsip kreativitas dan
sifat kreatif karya sastra.
Proses
pembacaan dan pemaknaan kemudian dapatlah dianggap sebagai hal yang sangat
kompleks. Teks sendiri merupakan sekumpulan kode-kode yang nilai
signifikansinya ditentukan oleh teks-teks pendahulunya sedangkan pembaca teks
juga tidak bergulat dengan teks dalam keadaan bersih. Pemikiran Kristeva mengenai intertekstualitas
dapat dijabarkan sebagai berikut (adapatasi dari Junus, 1985: 87-88):
1.
Kehadiran suatu teks di dalam teks
yang lain,
2.
Selalu adanya petunjuk yang
menunjukkan hubungan antara suatu teks dengan teks-teks pendahulu,
3.
Adanya fakta bahwa penulis suatu
teks telah pernah membaca teks-teks pemengaruh sehingga nampak jejak,
4.
Pembaca suatu teks tidak akan pernah
bisa membaca teks secara pisah dengan teks-teks lainnya. Ketika ia membaca
(dalam rangka memahami) suatu teks, ia membacanya berdampingan dengan teks-teks
lain.
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menulis dan membaca terdapat
hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipahami.
Dari keduanya juga terdapat konteks yang berkaitan dengan aspek-aspek
penting seperti social, budaya, kemajuan technology guna menjadi masyarakat
yang literate dengan melakukan proses literasi yang cakupannya tidak hanya
mahir membaca dan menulis tetapi juga semua yang berkaitan dengan hidup yang
lebih baik dan tetap seimbang dengan perkembangan zaman.