Paket Kebenaran dari Sang Historian
(By:
Enok Siti Jaenah)
“I think of an intellectual as just being bookish,
being interested in history books, utopian ideas, that
kind of thing.”
-Richard Rorty
“A book is the only place in which
you can examine a fragile thought without breaking it, or explore an explosive
idea without fear it will go off in your face.
It is one of the few havens remaining where a man's mind can get both
provocation and privacy.”
-Edward P. Morgan
Buku
merupakan pendar peradaban umat manusia. Dalam setiap buku, seringkali terdapat
sejumlah pikiran cerdas
yang kemudian bisa mempengaruhi cara berpikir dalam masyarakat tertentu. Dalam
buku pula tertoreh bagaimana rupa sejarah bisa beragam, bagaimana filsafat bisa
menjadi racun yang membebaskan, bagaimana sastra bisa bercerita tentang
kebenaran melalui dusta, atau bagaimana sains bisa membunuh Tuhan. Namun siapa
sangka, di balik sebuah buku tersimpan suatu kekuatan hebat. Sebegitu hebatnya
kekuatan dari buku, sehingga ia merupakan instrumen yang berdaya kuat,
mencengkeram erat, menggetarkan, dan berkuasa mengubah arah peristiwa-peristiwa
yang sedang atau akan terjadi. Saya semakin memantapkan hati untuk percaya hal
tersebut setelah membaca napak tilas tinta sejarawan terkemuka di dunia. Howard
Zinn, sejarawan yang mengungkap perihal urgensi sebuah buku dalam kehidupan
kita lewat artikelnya yang bertajuk Speaking
Truth to Power with Books.
Derap-derap
langkah pena yang ditorehkan Zinn selalu terdengar tegar dan meyakinkan. Itu yang
saya rasakan selepas rampung membaca artikelnya. Nyaris tak pernah selangkahpun
Zinn menorehkan sesuatu yang tidak urgen. Entah itu kepentingan politik,
ekonomi, rasial, ataupun nasional. (Jakartabeat.net: 2010) Howard Zinn, sang
sejarahwan radikal Amerika, ia telah berpulang dengan nama besar dari sebuah buku
legendaris yang ia tulis; A People’s History of the United States. Buku tersebut
yang ketika diterbitkan pertama kali di tahun 1980 hanya terjual empat ribu
kopi, kini telah terjual habis hampir mencapai dua juta kopi dan dicetak ulang
lima kali. Ia menempatkan sang penulis, saat itu seorang profesor sejarah di Boston University, di
jajaran elit tradisi kritis kaum liberal-progresif Amerika.
Yang
menarik dari buku Zinn tentu saja adalah keberaniannya untuk mengungkap sisi
gelap sejarah. Sasaran tembaknya tak tanggung tanggung yaitu Christoper
Colombus dan para sejarahwan yang menulis versi lugu dari kedatangan para
kolonis. Di dalamnya termasuk sejarahwan Harvard, Samuel Elliot Morison. Ada yang salah ketika
para sejarahwan menganggap profesi mereka sama dengan para ahli penggambar peta,
ujar Zinn. Pembuat peta dengan sengaja menyederhanakan realitas, menunjukkan
bagian yang perlu, dan membuang yang tak penting terlihat. Itu yang membuat di
peta Indonesia,
kepulauan kita jadi datar dan tak perlu ada gambar benua Amerika di sana.
Namun menulis sejarah adalah hal yang sungguh-sungguh berbeda.
Ketika
bias para ahli dalam membuatan peta bersifat teknis, maka para sejarahwan
biasnya tiada lain adalah bias ideologis. Setiap penekanan tertentu dalam
penulisan sejarah akan mendukung sebuah kepentingan. Namun sayangnya dalam
penuturan historis, bias ini tidak seterang sebagaimana dalam penulisan peta.
Sejarahwan menulis seakan setiap pembaca punya sebuah kepentingan bersama yang
tunggal. Para penulis tertentu seakan lupa bahwa produksi pengetahuan adalah
alat tempur dalam antagonisme antar kelas sosial, ras, ataupun bangsa-bangsa.
Inilah
kritik pedas Zinn pada Samuel Elliot
Morrison sang sejarahwan Harvard yang menulis buku seminal Christoper Columbus,
Mariner.
Benar, Morison tak sedikitpun berbohong soal kekejaman Columbus. Ia bahkan menyebut sang pelaut telah
melakukan genosida pada Indian Arawaks. Namun, tulis Zinn, fakta yang tertera
di satu halaman ini kemudian ia kubur dalam ratusan halaman lain yang
mengagungkan kebesaran sang pelaut. Keputusan untuk lebih menceritakan sebuah
heroisme dan abai pada penekanan fakta pembantaian masal yang terjadi pada suku
Indian Arawaks bukanlah sebuah kebutuhan teknis ala pembuat peta, namun murni
pilihan ideologis. Sebuah pilihan ideologis untuk menjustifikasi apa yang telah
terjadi, pungkas Zinn.
Berangkat
dari ketidaksetujuannya tersebut, kemudian Zinn menulis versi sejarah yang
berbeda. Sejarah dari sudut pandang orang-orang kalah, alias sang pecundang.
Jadilah ia bercerita tentang penemuan benua Amerika dari kacamata suku Indian
Arawaks, tentang Civil War sebagaimana dialami oleh kaum Irlandia di
New York, tentang perang Dunia pertama dilihat dari pihak kaum Sosialis, dan
tentang penaklukan Filipina menurut tentara kulit hitam di Luzon.
Ada
yang menarik ketika kita sebenarnya juga bisa melempar kritik yang serupa pada
Zinn. Bahwa ia juga sedang mengambil sebuah pilihan ideologis dalam menulis
sejarah, bahwa ia menekankan fakta fakta yang ia suka dan melewatkan yang lain.
Lalu apa bedanya ia dengan Morison? Zinn sebenarnya tak lebih dari petinju dari
sudut ring yang berbeda. Jika Morison menulis dari kacamata sang pemenang, Zinn
lah corong sang pecundang. Jawaban pada kritik inilah yang menunjukkan
kebesaran seorang Howard Zinn.
Pertama, ia jujur dalam
mengungkap keberpihakannya. Zinn jelas tidak senaif mereka yang berbicara soal
objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan sedari awal memperingatkan pembaca
tentang posisinya. Bab pertama bukunya sangat confessional, dan di
halaman 11 dari 729 halaman A People’s History of United States ia
menulis:
If history is to be
creative, to anticipate a possible future without denying the past, it should,
I believe, emphasize new possibilities by disclosing those hidden episodes of
the past when, even if in brief flashes, people showed their ability to resist,
to join together, occasionally to win. I am supposing, or perhaps only hoping,
that our future may be found in the past’s fugitive moments of compassion
rather than in its solid centuries of warfare. That, being as blunt as I can,
is my approach to the history of the United States. The reader may as well know
that before going on.
Kemudian
hal kedua yang perlu dicatat dari seorang Howard Zinn: ia menolak konsekuensi
saling peduli terhadap komunitas dalam sebuah bangsa. “Sejarah setiap negeri yang selalu ditulis
sebagai sebuah sejarah keluarga menyembunyikan konflik kepentingan yang kronis
antara penakluk dan pecundang, tuan dan budak, kapitalis dan buruh, serta
dominator dan yang terdominasi. Dan dalam dunia yang penuh konflik tersebut,
dunia para korban dan eksekutor, adalah tugas mereka yang berpikir, sebagaimana
Albert Camus sarankan, untuk tidak berpihak di sisi kaum eksekutor!” Ini kata
kata Zinn yang saya terjemahkan dari halaman 10 bukunya untuk menjelaskan
sudut pandang penulisan sejarahnya yang berbeda.
Itulah
sejumput rahasia yang diungkap dari masterpiece-nya Zinn; A People’s History of
The United States yang mengundang banyak kecaman dari orang-orang yang mengaku
tidak terima bahwa Colombus yang selama ini diagung-agungkan sebagai pahlawan,
justru dikatai sebagai pembunuh, penyiksa, munafik dan lain sebagainya oleh
Howard Zinn di bab pertama dalam buku tersebut.
Menurut
data yang diambil dari Wikipedia mengenai List of Countries by Literacy Rate,
United States menduduki peringkat yang tinggi. Di sana disajikan bahwa literacy
rate untuk semua kalangan sudah mencapai 99%, male literacy 99%, dan female
literacy 99%. Untuk Negara yang rating literasinya nyaris bernilai sempurna,
tidak akan kesulitan untuk menerapkan betapa kuatnya peran buku dalam kehidupan
kita.
Dan
betapa terlihatnya pengagungan terhadap buku yang mereka perlihatkan lewat
perayaan hari buku sedunia. Pemilihan tanggal 23 April sebagai world book day merupakan
pilihan UNESCO, guna Mendorong kepada setiap orang (kaum muda khususnya) untuk
menemukan kesenangan dalam membaca, dan memberikan apresiasi yang tinggi kepada
pengarang-pengarang besar yang telah memberikan kontribusi terhadap kemajuan
sosial dan kultural umat.
Lain
dengan negara kita, menumbuhkan keyakinan kepada jiwa-jiwa masyarakat bahwa
buku itu bisa mengubah hidup kita masih jauh dari kata ‘iya’. Pasalnya, bangsa
kita membaca buku bisa jadi hanya sekedar usaha membosankan ditengah riuh
kegiatan lain. Orang-orang masih sangat enggan untuk melakukannya, apalagi
untuk menuju kata analisis teks, mengkritisi, atau paling tidak hanya sebatas
memahaminya. Kita masih belum akrab dengan kehidupan spesies teks-teks yang
hidup di permukaan bumi ini.
Apalagi
jika kita tengok sejarah Islam yang tragis beberapa ratus tahun silam. Saat perpustakaan yang dibangun
dengan susah-payah pada masa Abbasiyah dihancurkan seketika oleh pasukanMongol
(1258). Mereka membakar atau membuang ke Sungai Tigris koleksi buku
Perpustakaan Baghdad. Ini adalah pemusnahan buku paling mengerikan dalam
sejarah perpustakaan Islam. Tumpukan api unggun pembakaran buku Perpustakaan
Baghdad konon menyamai ketinggian menara Masjid Agung Baghdad.
Khalifah
yang membangun cikal bakal Perpustakaan Baghdad adalah al Mansyur (754-775). Ia
memulai kegiatan ilmu ini dengan memerintahkan penerjemahan buku-buku asing. Ia
juga membangun gedung khusus yang menjadi cikal-bakal baitulhikmah yang
dibangun oleh al Ma’mun (813-833). Baitulhikmah kemudian menjadi perpustakaan
besar dengan segala aktivitas intelektualnya. Koleksi buku Perpustakaan Baghdad
berjumlah 400 hingga 500 ribu jilid.
Sejarah
acap kali menyembunyikan kepingan peristiwa ini. Tragedi besar ini adalah
kebohongan besar yang banyak sekali orang tidak tahu menahu. Pemusnahan yang
dilakukan oleh pasukan Mongol tak lain hanyalah modus belaka. Mereka mencuri aset-aset
berharga di dunia
pendidikan islam untuk kemudian mereka akui keberadaannya. Yang mereka bakar
dan mereka hanyutkan adalah bukan buku-buku yang berada di baitul hikmah. Mereka
membawa buku tersebut dan menterjemahkannya dalam bahasa mereka sendiri. Kemudian
di sinilah terjadi pengalih-paksaan hak cipta.
Itulah
kiranya mengapa sekarang negara-negara eropa dan amerika selalu menjadi kiblat
ilmu pengetahuan. Kita tidak sadar, bahkan kita tidak tahu bahwa mereka bisa
mengubah dunia lewat buku yang mereka klaim sebagai mahakarya mereka. Negara Baghdad kala itu menjadikan buku sebagai ”panglima”. Di
sini budaya literasinya sangat maju. Para terpelajar dan orang kaya di Baghdad
kala itu, bangga bila punya koleksi buku yang banyak dan bermutu. Pernah
seorang dokter diundang Sultan di Bukhara untuk tinggal di istananya. Ia
menolak, sebab untuk mengangkut bukunya perlu 400 unta.
Islam
sering kali diberikan gambaran oleh orang-orang dan golongan yang tidak pernah
mengenalnya sebagai agama yang mundur dan memundurkan. Kenyataan dan gambaran
yang diberikan itu bukan saja tidak benar tetapi justru bertentangan dengan
hakikat sejarah yang sebenarnya. Sejarah adalah fakta, dan fakta adalah
sejarah. Sejarah telah membuktikan betapa dunia Islam telah melahirkan banyak
golongan sarjana dan ilmuwan yang cukup hebat dalam berbagai bidang keilmuwan.
Salah
satu contohnya adalah Abu Raihan Al-Biruni, ilmuan ahli astronom dan fisika
yang jarang tertangkap kamera sejarah. Sekarang yang kita tahu ahli astronom
itu adalah Aristoteles, Nicolas Copernicus, dan ilmuan-ilmuan lain yang
berbangsa barat. Dan dari orang-orang baratlah ilmu-ilmu itu kemudian dicuri,
lalu dipatenkan atas nama mereka masing-masing untuk mencari keuntungan. Banyak
sekali penemuan-penemuan dari kebudayaan Islam yang luput dari pandangan
manusia.
Jalaludin
Rakhmat dalam bukunya pernah menyatakan bahwa perubahan sosial seringkali
disebabkan oleh empat hal, yakni ide besar, tokoh besar, gerakan sosial dan
revolusi. Dua penyebab pertama mencerminkan kekuatan ide dan ketokohan dalam
melemparkan sebuah wacana dalam masyarakat. Tetapi yang tetap diyakini adalah
bagaimana kekuatan pikiran dalam buku sangat ’berpengaruh’ secara massif dalam
masyarakat pembaca. Oleh karenanya wajar jika Napoleon Bonarparte begitu
ketakutan dengan kekuatan tulisan ketimbang sejumlah tentara di medan laga.
Kita
sering membela dan membual bahwa buku adalah sumber pengetahuan. Sebuah medium
yang membawa pecintanya keluar dari kungkungan kebodohan seperti yang
digambarkan dalam “orang-orang gua” dalam kisah Plato. Tapi buku sebenarnya
hanyalah pemantik. Ia memberikan sebuah perspektif baru, yang seringkali, mampu
mengoyak tatanan saklek dari masyarakat yang kepalang malas.
Di Indonesia sendiri praktik
penistaan terhadap buku bukanlah hal yang asing. Sejak zaman kesultanan Mataram
dan Islam keraton yang membakar kitab beserta ulama non keraton, telah
dilakukan. Pemerintah kolonial Belanda juga memberlakukan pelarangan terhadap
bacaan yang dianggap mengganggu ketertiban. Salah satu yang masyur adalah
pelarangan pamflet Soewardi Soerjaningrat berjudul Als Ik eens Nederlander
was.
Sensor Pemerintah Kolonial belanda
berlanjut dengan memencarakan dan membuang penulis-penulis berbahaya seperti
Semaoen, Mas Marco Kartodikromo dan Darsono. Pada masa paska kemerdekaan
perilaku serupa juga tetap dilakukan. Seperti peristiwa dimana Mahasiswa
Universitas Bung Karno membakar buku sebagai bentuk protes terhadap budaya
Nekolim pernah terjadi. Serta yang paling baru, juga paling menyedihkan, adalah
ketika Gramedia membakar bukunya sendiri karena desakan kaum intoleran.
Tapi di antaranya barangkali zaman
Soeharto merupakan era kedigdayaan sensor buku. Hampir semua buku bernada kiri
diberangus dan tak mendapat ruang. Salah satu yang kita kenal adalah pelarangan
terhadap buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Ini menarik karena buku Hoakio di
Indonesia karangannya dilarang pada zaman Sukarno dan berujung pemenjaraan
Pram. Sementara buku Tetralogi Pulau Buru juga dilarang oleh Suharto. Ia
adalah penulis yang dimusuhi dua rezim sekaligus.
Seusai Reformasi pelarangan buku
tetap terjadi. Seperti yang dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Intelejen
(JAM Intel) pada 2009 lalu. Dasar hukumnya adalah UU No. 4/PNPS/1963 sebuah
undang undang yang kepalang bapuk dan uzur untuk digunakan pada hari ini.
Setidaknya ada Lima buku yang dilarang oleh JAM Intek karena dianggap
mengganggu ketertiban umum. Di antaranya adalah Dalih Pembunuhan Masal oleh
John Rossa dan Lekra Tak Membakar buku oleh Muhidin M. Dahlan.
Tapi manusia yang mencintai buku
tidak tinggal diam. Ada upaya-upaya untuk melawan usaha pembungkaman terhadap
buku. Salah satunya adalah Pekan Buku Terlarang atau Banned Books Week
yang dimulai sejak 1982. Acara ini dilakukan sebagai sebuah respon dari
berbagai buku yang dilarang atau diharamkan dibaca di sekolah atau oleh negara.
Sejak berdiri terdaftar ada sekitar 11.300 terlarang yang telah dibaca secara
publik sebagai usaha perlawanan.
Perubahan baku-pikir (mindset)
dari para rohaniawan moderat juga turut membantu perang terhadap pengkerdilan
buku. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Paus Paulus ke VI pada 14 Juni
1966 dengan mencabut Index Librorum Prohibitorum. Meski dengan catatan
bahwa buku yang ada dalam daftar tersebut tetap memiliki potensi menggoyahkan
iman dan merusak akidah. Namun siapapun yang membaca “Tak lagi berdosa dan
harus dihukum”.
Itulah penggalan-penggalan kilas
balik yang saya kaitkan dengan Speaking
Truth to Power with Books. Maka memang benar buku mampu
mengubah dunia, mempengaruhi seseorang, dan mengubah hidup seseorang. Banyak sekali orang-orang
yang merasa hidupnya, pola fikirnya ataupun pandangannya berubah karena sebuah
buku. Bahkan dunia sekarang bisa seperti
ini tidak luput dari campur tangan sebuah buku.
Howard
Zinn memiliki perannya sendiri dalam melakukan perubahan. Seperti keyakinan
yang pernah ia katakan dan kini banyak diingat dan dikutip orang,
"Tindakan kecil ketika dilipatgandakan berjuta-juta orang akan mengubah
dunia."
Howard Zinn telah membelalakan mata
kita, betapa dahsyatnya kekuatan deretan huruf yang membentuk makna. Jejak-jejak
yang ditinggalkan Zinn khususnya di artikel Speaking
Truth to Power with Books seperti sebuah surat peringatan kepada para
pahlawan bersenjata pena. Ketika rutinitas memaksanya untuk terus berkarya,
maka saat itulah mereka dituntut untuk selalu menyampaikan kebenaran. Karena sesungguhnya
jejak tinta kita adalah bukti bahwa kita telah memberikan sejarah baru di muka
bumi ini.
Sejarah
muncul dari penciptaan-penciptaan. Untuk itulah, ruang untuk menjadi kreatif
itu yang perlu dibangun, ruang untuk berimajinasi. Sebuah ruang yang banyak
dimiliki masa lampau yang dibangun melalui peradaban manusia terdahulu. Sejarah
telah mengajarkan kepada dunia, maka belajarlah dari sejarah. Dan sejarah tidak
akan sampai kepada manusia terkini tanpa adanya buku sebagai bukti kongkret. Pelajarilah
sejarah, maka kau akan tahu kebenaran. Tuliskanlah kebenaran, maka kau akan
mengubah kehidupan.
REFERENSI
Howard,
Zinn. (1980). A People’s History of The
United States. United States: Harper & Row; HarperCollins