THE POWER OF BOOKS : The Book Effect of History



 Critical Review 2

THE POWER OF BOOKS : The Book Effect of History
(By : Evi Alfiah)

Dewasa ini peranan buku di ranah dunia semakin perpengaruh.  Banyaknya penulis-penulis hebat yang menjajahkan tulisannya pada dunia.   Seperti buku cerita atau novel, buku-buku pengetahuan serta buku-buku sejarah yang kian masa kian membludak.  Di ranah pendidikan mungkin sangat terkenal dengan buku-buku ilmu pengetahuan dan buku-buku sejarah yang dapat diterima baik dikalangan pelajar.  Namun, apakah buku-buku sejarah itu benar-benar menceritakan fakta atau hanya menceritakan kebohongan untuk golongan-golongan tertentu belaka. Ketika kita berbicara tentang sejarah, sangat tipis kemungkinan terhadap kebenarannya, karena kita sering kali dibingungkan oleh sumber-sumber yang telah ada.
Napoleon Bonaparte memandang sejarah sebagai kebohongan-kebohongan yang disepakati.  Anggapan ini yang berdampak pada kemalasan berpikir dan memikirkan tentang realitas obyektif masa lalu  yang  sangat berguna bagi kehidupan sekarang dan masa depan. Anggapan kebenaran atas suatu keyakinan (termasuk sejarah) terjadi karena berbagai faktor, antara lain politisasi teks sejarah.  Berbicara kebenaran sejarah menurut Taufik Abdullah dilihat dalam dua sisi. Pertama, sejarah mengabdi pada kebenaran stabilitas negara. Kedua, sejarah mengabdi pada kebenaran akademik pada tataran sejarah mengabdi kebenaran stabilitas negara, apapun temuan-temuan sejarah yang bertentangan dengan versi penguasa, maka dianggap mengancam stabilitas nasional. Oleh karena itu, atas nama stabilitas nasional “Kebenaran Sejarah” harus disembunyikan bahkan kalau perlu dibuang.
Sebuah buku adalah jendela dunia yang dapat mengubah dunia.  Sesaat sebelum membacanya, terkadang kita hanya memandang buku sebagai suatu tumpukan kertas tak berjiwa yang penuh oleh teori-teori, cerita-cerita, curahan hati sang penulisnya dan jauh dari kenyataan hidup sehari-hari.   Namun siapa sangka, dibalik sebuah buku dapat tersimpan suatu kekuatan hebat.   Sebegitu hebatnya kekuatan dari buku, sehingga ia merupakan instrumen yang berdaya kuat, mencengkeram erat, menggetarkan dan berkuasa mengubah arah peristiwa-peristiwa yang sedang atau akan terjadi.  Yang bisa diarahkan untuk kebaikan maupun keburukan. Bagi kemaslahatan maupun bencana.
Howard Zinn dalam bukunya menceritakan tentang kekuatan buku yang bisa merubah pola pikir seseorang.  Bermulai dengan memperkenalkan isu yang paling penting dari semua yang berkaitan dengan menulis, serta menjelaskan tentang apa kegunaan dan pengaruhnya.   Howard zinn menyatakan lewat pengalaman yang ia ceritakan dalam bukunya bahwa buku mampu mengubah pandangan hidup seseorang.   Dia ingin mengetahui apa yang buku dapat lakukan dan mengapa buku dikatakan bisa merubah pandangan seseorang.  Salah satu alasannya adalah bahwa sangat langka untuk menemukan langsung garis antara penulisan buku dan perubahan kebijakan.  Tapi dia berpikir dapat menemukan garis langsung,  dan dapat menemukan era di mana tulisan-tulisan muncul dan kesadaran masyarakat dibesarkan dan kebijakan yang berubah, kadang-kadang setelah puluhan tahun berlalu. Lintasan panjang antara menulis dan mengubah kesadaran, antara menulis dan aktivisme dan kemudian mempengaruhi kebijakan publik, bisa berliku-liku dan rumit. Tapi ini tidak berarti kita harus berhenti dari menulis.
Dia meyakini bahwa buku berfungsi sangat penting dalam kehidupan ini.  Kecintaannya terhadap buku dimulai sejak dia masih kecil ketika orang tuanya sadar bahwa Zinn adalah sesorang yang suka terhadap buku. Orang tuanya tidak memiliki satu bukupun di rumah, tetapi ketika dia berumur 14 tahun, dia menemukan sebuah buku di jalan. Dan kemudian orang tuanya tahu bahwa dia tertarik pada buku meskipun mereka tidak memiliki apapun. Dan mereka mengirim kupon ke surat kabar New York Post- yang menawarkan satu set Dickens yang pernah mereka dengar. Zinnpun memulai membaca Dicknens.  Buku itu telah memberi efek besar pada pada pemikirannya.
            Dia berfikir orang lain telah memiliki pengalaman yang sama. Ada buku yang serius mempengaruhi. lalu bagaimana membuat hubungan antara bagaimana mereka mempengaruhi kita, dan apa yang kemudian kita lakukan, dan kemudian apa hubungan antara apa yang orang lakukan dan kemudian apa yang terjadi di dunia. Menurut Zinn itu rumit.   Ada seseorang yang telah berkata kepada Zinn, "Buku ini berubah hidup saya. "pertama kali dia mendengarnya, itu mengejutkannya. Dia pernah diundang untuk berbicara di University of Hawaii dan setelah itu dia sedang duduk di kantin.  Ada siswa yang duduk di seberang meja darinya, dan dia melihat buku yang sedang dibacanya,  The  Color  Purple oleh Alice Walker.  dia tidak ingin mengatakan, bahwa Alice Walker adalah seorang mahasiswanya. Jadi dia hanya berkata kepadanya, "Apa pendapat Anda tentang buku itu? Lalu siswa itu menjawab " Buku ini mengubah hidup saya. " jawaban itu mengejutkan Zinn. Tapi Zinn telah mendengar pernyataan itu berkali-kali bahwa "Buku ini mengubah hidup saya." Jadi, Zinn berfikir bahwa buku memang dapat melakukan itu. Dan jika buku mengubah hidup seseorang dengan mengubah seseorang kesadaran, itu akan memiliki efek pada dunia, dalam satu atau cara lain, cepat atau lambat, dengan cara yang tidak dapat dipikirkan sebelumnya.
            Berikut ini adalah ide lain yang mungkin terjadi kepada orang-orang, mungkin setelah membaca buku, terutama jika mereka membaca sejarah ortodoks. Ini bisa menyerang Anda bahwa kita tidak semua memiliki kepentingan yang sama. Kita diberitahu bahwa beberapa kebijakan dalam "Kepentingan nasional," bahwa sesuatu harus dilakukan untuk "keamanan nasional," atau "pertahanan nasional." kepura-puraan adalah bahwa kepentingan "bangsa" meliputi kita semua. 
Zinn lalu bercerita tentang Christopher Columbus. Ketika bukunya A People’s History of the United States keluar, dia mulai mendapatkan surat dari di seluruh negeri.  Dia menemukan bahwa sebagian besar surat ditangani dengan bab pertama sebuah buku, yang tentu saja membuatnya sangat curiga! Dia menolak untuk menerima atau percaya bahwa orang hanya membaca bab pertamanya saja. Sebaliknya, saya datang ke kesimpulan bahwa semua surat tentang bab pertama itu adalah menjengkelkan untuk mereka yang dibesarkan di Amerika Serikat yang belajar tentang Pahlawan Columbus, Columbus penemu besar, Columbus pembaca Alkitab yang saleh. Untuk membaca tentang Columbus sebagai pembunuh, penyiksa, penculik, mutilator, orang pribumi, munafik, orang yang tamak mencari emas, bersedia untuk membunuh orang dan mencincang orang tersebut.
Christopher  Columbus menyebut Amerika sebagai ‘The New World’ ketika pertama kali menginjakkan kakinya di benua itu pada 21 Oktober 1492.  Namun, bagi umat Islam di era keemasan, Amerika bukanlah sebuah ‘Dunia Baru’. Sebab, 603 tahun sebelum penjelajah Spanyol itu menemukan benua itu, para penjelajah Muslim dari Afrika Barat telah membangun peradaban di Amerika. Klaim sejarah Barat yang menyatakan Columbus sebagai penemu benua Amerika akhirnya terpatahkan. Sederet sejarawan menemukan fakta bahwa para penjelajah Muslim telah menginjakkan kaki dan menyebarkan Islam di benua itu lebih dari setengah milenium sebelum Columbus.  Secara historis umat Islam telah memberi kontribusi dalam ilmu pengetahuan, seni, serta kemanusiaan di benua Amerika.
Tidak perlu diragukan lagi, secara historis kaum Muslimin telah memberi pengaruh dalam evolusi masyarakat Amerika beberapa abad sebelum Christopher Columbus menemukannya,” tutur Fareed H Numan dalam American Muslim History A Chronological Observation. Sejarah mencatat Muslim dari Afrika telah menjalin hubungan dengan penduduk asli benua Amerika, jauh sebelum Columbus tiba.  Jika Anda mengunjungi Washington DC, datanglah ke Perpustakaan Kongres (Library of Congress). Lantas, mintalah arsip perjanjian pemerintah Amerika Serikat dengan suku Cherokee, salah satu suku Indian, tahun 1787. Di sana akan ditemukan tanda tangan Kepala Suku Cherokee saat itu, bernama AbdeKhak dan Muhammad Ibnu Abdullah.
Isi perjanjian itu antara lain adalah hak suku Cherokee untuk melangsungkan keberadaannya dalam perdagangan, perkapalan, dan bentuk pemerintahan suku cherokee yang saat itu berdasarkan hukum Islam.  Lebih lanjut, akan ditemukan kebiasaan berpakaian suku Cherokee yang menutup aurat sedangkan kaum laki-lakinya memakai turban (surban) dan terusan hingga sebatas lutut.  Cara berpakaian ini dapat ditemukan dalam foto atau lukisan suku cherokee yang diambil gambarnya sebelum tahun 1832. Kepala suku terakhir Cherokee sebelum akhirnya benar-benar punah dari daratan Amerika adalah seorang Muslim bernama Ramadan Ibnu Wati.  Secara umum, suku-suku Indian di Amerika juga percaya adanya Tuhan yang menguasai alam semesta. Tuhan itu tidak teraba oleh panca indera. Mereka juga meyakini, tugas utama manusia yang diciptakan Tuhan adalah untuk memuja dan menyembah-Nya.
Sejarawan Ivan Van Sertima dalam karyanya They Came Before Columbus membuktikan adanya kontak antara Muslim Afrika dengan orang Amerika asli. Dalam karyanya yang lain, African Presence in Early America, Van Sertima, menemukan fakta bahwa para pedagang Muslim dari Arab juga sangat aktif berniaga dengan masyarakat yang tinggal di Amerika.  Van Sertima juga menuturkan, saat menginjakkan kaki di benua Amerika, Columbus pun mengungkapkan kekagumannya kepada orang Karibian yang sudah beragama Islam. “Columbus juga tahun bahwa Muslim dari pantai Barat Afrika telah tinggal lebih dulu di Karibia, Amerika Tengah, Selatan, dan Utara,” papar Van Sertima. Umat Islam yang awalnya berdagang telah membangun komunitas di wilayah itu dengan menikahi penduduk asli.
Menurut Van Sertima, Columbus pun mengaku melihat sebuah masjid saat berlayar melalui Gibara di Pantai Kuba. Selain itu, penjelajah berkebangsaan Spanyol itu juga telah menyaksikan bangunan masjid berdiri megah di Kuba, Meksiko, Texas, serta Nevada. Itulah bukti nyata bahwa Islam telah menyemai peradabannya di benua Amerika jauh sebelum Barat tiba.  Lebih lanjut Columbus mengakui pada 21 Oktober 1492 dalam pelayarannya antara Gibara dan Pantai Kuba melihat sebuah masjid (berdiri di atas bukit dengan indahnya menurut sumber tulisan lain). Sampai saat ini sisa-sisa reruntuhan masjid telah ditemukan di Kuba, Mexico, Texas dan Nevada.
Banyak wawasan yang tersirat dalam buku.  Baik itu melalui buku-buku sejarah maupun buku-buku cerita.  Zinn percaya dengan buku-buku yang ia baca. Sehingga dia memiliki hasrat untuk menciptakan buku sejarah Colombus.  Orang-orang Amerika percaya dengan sesosok pahlawan yang dimaksudkan oleh Howard Zinn tersebut.  Akan tetapi ada sebagian orang yang tidak percaya dengan buku yang diciptakan oleh Zinn tersebut mengenai Colombus. Sehingga mereka mencari kebenaran yang pasti dengan menjelajah dunia untuk mencari tahu kebenarannya tentang Colombus. Buku memang memiliki efek yang kaut bagi orang-orang yang biasa.
Masih ada cara lain buku dan tulisan dapat berpengaruh, yaitu melalui literatur absurditas, dalam tradisi Jonathan Swift dan Franz Kafka dan Mark Twain. Dia berpikir bahwa buku-bukunya Kurt Vonnegut, seperti Cat Cradle dan Slaughterhouse-Five. Dia berpikir juga, Joseph Heller Catch-22. Heller menciptakan adegan dengan Yossarian, yang Perang Dunia II Bombardier, di sebuah rumah pelacuran di kota Italia, berbicara dengan seorang pria Italia tua yang berkata, "Kau tahu, Italia akan menang karena dia begitu lemah. Amerika Serikat dalam jangka panjang akan kehilangan karena dia begitu kuat. "Ini adalah ide yang absurd. Tapi itu membuatmu berpikir.
Ada sesuatu yang penting yang dapat tulisan lakukan, selain dari semua hal lain. Hal ini dimasukkan ke dalam kata-kata oleh Kurt Vonnegut, yang sering bertanya, "Mengapa Anda menulis?" Vonnegut akan menjawab, "Saya menulis begitu Anda akan tahu ada orang yang merasakan hal yang Anda lakukan tentang dunia, bahwa Anda tidak sendirian. "Itu adalah hal yang sangat penting untuk mencapai, untuk memiliki orang-orang merasa bahwa mereka tidak sendirian. Dan hal tersebut untuk anda juga.
Beberapa orang menikmati belajar sejarah melalui membaca. Bagi mereka yang suka membaca, sejarah bisa menjadi pelajaran yang menyenangkan. Di sekolah pelajaran sejarah kadang menjadi neraka bagi anak-anak yang tidak suka membaca. Mereka biasanya berpikiran sejarah adalah pelajaran menghafal. Sebenarnya mereka hanya tidak bisa, atau `mungkin tidak terbiasa dengan membaca.  Pelajaran sejarah sebenarnya sama sekali bukan pelajaran menghafal. Sejarah lebih menuntut untuk banyak membaca. Siapa pun yang ingin belajar sejarah haruslah mau membaca. Membaca disini bukan untuk hafal melainkan paham. Hafal atau tidak itu bukan hal penting. Untuk paham pun butuh proses pengendapan pasca membaca. Tidak semua pembaca bisa langsung paham. Sejarah adalah pelajaran yang membutuhkan proses yang tidak singkat
Buku adalah kunci peradaban, sejak ribuan tahun yang lampau, buku dalam bentuk yang paling sederhana hingga buku elektronik telah menjadi sarana bagi para filsuf, teolog, sejarahwan, ilmuwan, dan sastrawan             untuk menyebarluaskan ide-ide mereka. Mereka berharap ide-ide mereka dapat dibaca di masa buku itu ditulis maupun di masa depan dari generasi ke generasi.   Buku dengan sendirinya cepat atau lambat akan menyebarluaskan ide-ide penulisnya ke seluruh dunia, tidak hanya bagi orang yang membacanya langsung, melainkan juga pada orang-orang yang tidak pernah membuka-buka halamannya sekalipun. Pertanyaannya sekarang buku apa yang berpengaruh pada perubahan dunia?
Sudah banyak orang atau lembaga literasi yang membuat daftar buku-buku yang mempengaruhi dunia, salah satunya adalah Andrew Taylor, jurnalis Inggris yang pada tahun 2008 menerbitkan buku berjudul Books That Changed The World . Di bukunya ini Taylor memilih 49 buku dari berbagai genre mulai dari puisi, politik, fiksi, filsafat, teologi, antropologi, ekonomi, hingga fisika. Semua itu diyakininya dapat mewakili bagaimana buku-buku itu mempengaruhi dunia baik dari nilai-nilai moral, kemanusiaan, alam semesta, teknologi, perekonomian dunia, hingga bagaimana seharusnya sebuah pemerintahan berjalan .
Dalam bukunya ini Andrew Taylor mengupas ke 49 buku yang dipilihnya secara kronologis berdasarkan tahun terbit mulai dari Iliad yang diyakini sebagai karya puisi epik tertua di dunia Barat yang ditulis oleh Homer pada abad ke 8 SM hingga seri pertama novel Harry Potter : Harry Potter and the Philospoher ‘s Stone pada tahun 1997 yang memecahkan rekor dunia sebagai buku terlaris dimana hingga buku ini ditulis telah terjual sebanyak 400 juta eks dalam 67 bahasa dan menjadi awal dari sensasi terbesar penerbitan di era modern.
Dalam buku ini, Andrew Taylor menempatkan tiap buku dan pengarangnya dalam konteks sejarahnya, meringkaskan isi buku yang dibahas, serta menjelaskan pengaruh dan warisan dari buku-buku tersebut pada dunia baik dimasa buku itu terbit hingga kini. Sebagai contoh antara lain bagaimana dengan tersedianya Alkitab dalam bentuk cetakan akan menandai revolusi politik dan sosial di Eropa ketika masyarakat awam mulai mempertanyakan kewenangan lembaga keagamaan dalam sistem pemerintahan negara. Risalah-risalah politik abad ke 18 yang terdapat dalam Common Sense ( 1776 ) karya Thomas Paine memberikan kesadaran baru akan kemerdekaan sebuah negara, atau bagaimana kutipan2 pidato Mao Zedong yang dibukukan dalam Buku Merah (1964 ) telah turut memberikan andil dalam revolusi kebudayaan dan penindasan rakyat di negerinya.
Di ranah fiksi kita akan melihat bagaimana novel Uncle Tom’s Cabin (1852) karya Harriet Beecher Stowe yang mengisahkan derita para budak Afrika di Amerika dapat mempengaruhi jutaan orang dan dunia internasional untuk melawan sistem perbudakan. Atau bagaimana novel Christmast Carol (1834) karya Cahrles Dickens telah menciptakan citra populer tentang Natal yang terus bertahan hingga kini.  Selain kaya akan informasi, kemasan buku ini juga sangat menarik, dicetak diatas kertas art paper yang mengkilap dengan kualitas foto-foto yang tajam dan tersaji dalam ukuran folio, sampul hard cover lengkap berserta jacket buku dengan tampilan yang menawan membuat buku ini layak dikoleksi dan dapat bertahan lama melintasi perjalanan waktu.
            Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, eksistensi sebuah buku sangatlah penting dan berpengaruh terhadap pola pikir seseorang dan ketika pola pikir seseorang dapat dipengaruhi, otomatis dapat mengubah cara hidup sehingga sampai pada perubahan yang menonjol pada hidup seseorang bahkan sampai kepada perubahan dunia.  orang yang berkuasa adalah orang yang dapat dengan mudah mengubah dunia.  sangat disyangkan jika yang dirubah dengan kemampuan dan pengetahuan manusia itu berkaitan dengan sejarah.
Sebuah sejarah dan beberapa kejadian yang terjadi di waktu lampau bahkan dapat kita temukan di dalam buku. Berbagai ide, pemikiran dan pencerahan bahkan dituliskan di beberapa helai kertas dan disusun menjadi sebuah buku.   Namun sangat disayangkan beberapa buku-buku yang berisikan hal penting banyak yang sudah hilang, rusak baik secara disengaja maupun tidak disengaja.
Penyampaian sejarah seharusnya berdasarkan fakta, tapi buku – buku sejarah banyak yang menceritakan kebohongan dan parahnya diterapkan dalam ranah pendidikan.  Sejarah dipalsukan berdasarkan pengetahuan yang terbatas seorang penulis atau oleh golongan-golongan yang memanfaatkan keuntungan untuk kepentingan sepihak.  Tidak hanya buku sejarah, buku-buku lainpun dapat mengubah pandangan hidup seseorang.  Pandangan hidup adalah pola pikir manusia terhadap sesuatu, sehingga manusia berfikir akan sesuatu.  Eksistensi buku yang kian masa kian banyak membuat banyak pula pandangan manusia yang tercipta, membuat mereka berfikir tentang kebenaran dari apa yang mereka baca.
Untuk itu penting menanamkan pemahaman terhadap generasi yang lebih muda dalam menerima dan mengolah sejarah dengan baik, agar lebih kritis dalam menentukan dan mengetahui tentang sejarah, tidak hanya mudah percaya pada satu buku saja melainkan berusaha mencari sumber-sumber yang lain yang kiranya dapat dipercaya dan akurat kebenarannya.  Namun, ketika membicarakan tentang sejarah sangat mudah bagi kita untuk terkecoh dan dibingungkan oleh berbagai sumber-sumber yang ada karena sejarah sangatlah tipis kemungkinan kebenarannya.  








Buku-Buku Pengubah Sejarah, Robert B. Downs, alih bahasa Asrul Sani, Penerbit Tarawang Press Yogyakarta, April 2001.
Howard Zinn (2005)


Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment