Class
Review 10 :
Babak Akhir dalam Penentuan Masa Depan, Papua Barat
(author : Hanifatus Sholihah)
Bertemu
lagi dengan hari Senin. Bertemu lagi dengan Writing and Composition 4.
Ini mungkin menjadi langkah perjuangan akhir para anak PBI semester 4 dalam
menghadapi mata kuliah writing ini. Hari ini, tepatnya tanggal 12 Mei
2014, pukul 09.00 kita sudah dalam keadaan “siap sedia” untuk berperang lagi
dengan sejarah West Papua. Alat perang seperti logbook, paper
Argumentative Essay serta alat-alat perang lainnya sudah disiapkan
matang-matang.
Pada
class review yang katanya terakhir ini, maka saya akan membahas mengenai
“West Papua dan Penyelesaian Sengketa Internasional”.
Ditinjau
dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai
ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum atau kebijakan
yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai
masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau
kepentingan antara dua bangsa yang berbeda. Penyelesaian sengketa secara damai
dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 piagam PBB yang mencantumkan beberapa
cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya adalah :
a.
Negosiasi
b.
Enquiry
atau Penyelidikan
c.
Mediasi
d.
Konsiliasi
e.
Arbitrase
f.
Judicial
Settlement atau Pengadilan
g.
Organisasi-organisasi
atau badan-badan regional
Dari
tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam piagam, dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik
(diplomatik). Yang termasuk kedalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah
arbitrase atau pengadilan. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian
sengketa secara diplomatik adalah negoisasi, enquiry, mediasi, dan konsiliasi.
Hukum Internasional publik juga mengenal good officers atau jasa-jasa baik yang
termasuk kedalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.
Perusahaan Multinasional..Inilah sedikit
kenyataannya…
Di beberapa dekade akhir abad ke-20, transformasi pesat
dunia industri mengambil bentuknya yang baru. Kemajuan mencolok ilmu dan teknologi,
sebagai mesin penggerak suatu masyarakat, dunia mendapatkan pengaruhnya dari
berbagai sudut. Perekonomian adalah salah satu bidang yang mengalami berbagai
perubahan mencolok di masa-masa tersebut. Yang pasti, munculnya berbagai
perusahaan multinasional, hingga batas tertentu, membuka peluang bagi
globalisasi ekonomi.
Pengalaman pertumbuhan
ekonomi pada abad kesembilan belas di Negara-negara maju banyak bersumber dari
dari pergerakan modal internasional yang cukup deras pada waktu itu. Mobiltas
faktor-faktor produksi yang terjadi antar Negara mencapai titik puncaknya
dengan hadirnya perusahaan-perusahaan multinasional. Mungkin perkembangan
yang terpenting dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional selama dua
dasawarsa terakhir ini adalah lonjakan mengagumkan kekuatan dan pengaruh
perusahaan-perusahaan raksasa multinasional. Merekalah penyalur utama
aneka factor produksi, mulai dari modal, tenaga kerja dan teknologi produksi,
semuanya dalam skala besar-besaran, dari satu Negara ke Negara lainnya.
Dalam operasinya ke
berbagai Negara-negara dunia ketiga, mereka menjalankan berbagai macam operasi
bisnis yang inovatif dan kompleks sehingga tidak bias lagi kita pahami hanya
dengan perangkat teori-teori perdagangan yang sederhana, apalagi mengenai
distribusi keuntungannya. Perusahaan-perusahaan raksasa, seperti IBM, Ford,
Exxon, Philips, Hitachi, British Petroleum, Renault, Volkswagen,
dan Coca-Cola, telah sedemikan rupa mendunia dalam operasinya sehingga
kalkulasi atas distribusi keuntungan-keuntungan yang dihasilkan oleh produksi
internasional itu kepada penduduk setempat dan pihak asing menjadi semakin
sulit dilakukan.
Arus sumber-sumber
keuangan internasional dapat terwujud dalam dua bentuk. Yang pertama adalahpenanaman
modal asing yang dilakukan oleh pihak swasta (private foreign investment) dan investasi
portofolio, terutama berupa penanaman modal asing “langsung” (PMI).
Penanaman modal seperti ini juga dapat disebut Foreign Direct
Investment (FDI). FDI (Foreign Direct
Investment) atau investasi langsung luar negeri adalah
salah satu ciri penting dari sistem ekonomi yang kian mengglobal. Ia bermula
saat sebuah perusahaan dari satu negara menanamkan modalnya dalam jangka
panjang ke sebuah perusahaan di negara lain. Dengan cara ini perusahaan yang
ada di negara asal (biasa disebut ‘home country‘) bisa
mengendalikan perusahaan yang ada di negara tujuan investasi (biasa disebut ‘host country‘)
baik sebagian atau seluruhnya. Caranya dengan si penanam modal membeli
perusahaan di luar negeri yang sudah ada atau menyediakan modal untuk membangun
perusahaan baru di sana atau membeli sahamnya sekurangnya 10%.
Biasanya, FDI terkait
dengan investasi aset-aset produktif, misalnya pembelian atau konstruksi sebuah
pabrik, pembelian tanah, peralatan atau bangunan; atau konstruksi peralatan
atau bangunan yang baru yang dilakukan oleh perusahaan asing. Penanaman kembali
modal (reinvestment) dari pendapatan perusahaan dan penyediaan pinjaman
jangka pendek dan panjang antara perusahaan induk dan perusahaan anak atau
afiliasinya juga dikategorikan sebagai investasi langsung. Kini mulai muncul
corak-corak baru dalam FDI seperti pemberian lisensi atas penggunaan teknologi
tinggi. Sebagian besar FDI ini merupakan kepemilikan penuh atau hampir penuh
dari sebuah perusahaan. Termasuk juga perusahaan-perusahaan yang dimiliki
bersama (joint ventures) dan aliansi strategis dengan
perusahaan-perusahaan lokal. Joint ventures yang melibatkan tiga pihak atau
lebih biasanya disebut sindikasi (atau ‘syndicates‘) dan biasanya
dibentuk untuk proyek tertentu seperti konstruksi skala luas atau proyek
pekerjaan umum yang melibatkan dan membutuhkan berbagai jenis keahlian dan sumberdaya.
FDI dan Liberalisasi di
Indonesia
UU Penanaman Modal
Asing (UU No. 1/1967) dikeluarkan untuk menarik investasi asing guna membangun
ekonomi nasional. Di Indonesia adalah wewenang Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) untuk memberikan persetujuan dan ijin atas investasi langsung luar
negeri. Dalam dekade terakhir ini pemodal asing enggan menanamkan modalnya di
Indonesia karena tidak stabilnya kondisi ekonomi dan politik. Kini muncul tanda-tanda
bahwa situasi ini berubah: ada sekitar 70% kenaikan FDI di paruh pertama tahun
2005, bersamaan dengan tumbuhnya ekonomi sebesar 5-6% sejak akhir 2004. Pada
awal 2005, Inggris, Jepang, Cina, Hong Kong, Singapura, Australia,
dan Malaysia adalah sumber-sumber FDI yang dianggap penting. Menurut data
statistik UNCTAD, jumlah total arus masuk FDI di Indonesia adalah US$1.023
milyar pada tahun 2004 (data terakhir yang tersedia); sebelumnya US$0.145
milyar pada tahun 2002, $4.678 milyar pada tahun 1997 dan $6.194 milyar pada
tahun 1996 [tahun puncak].
Pertumbuhan penanaman
modal swasta asing secara langsung (foreign direct investment)-yakni, yang
dana-dana investasinya langsung digunakan untuk menjalankan kegiatan bisnis
atau mengadakan alat-alat atau fasilitas produksi seperti memberi lahan,
membuka pabrik-pabrik, mendatangkan mesin-mesin, membeli bahan baku, dan
sebagainya di Negara-negara dunia ketiga seperti di Indonesia ini, telah
berlangsung secara sangat cepat selama sekian dasawarsa terakhir ini. Apabila
pada tahun 1962 nilai totalnya baru mencapai sekitar US$ 2,4 miliar, maka di
tahun 1980 jumlahnya telah melonjak menjadi sekitar US$ 11 miliar, kemudian
naik lagi hingga US$ 35 miliar di tahun 1990, serta berpuncak sebesar lebih
dari US$ 120 ,miliar di tahun 1997. dari keuntungan yang sedemikian besar diperoleh
ini, hanya sekitar 60 persen dari total dana investasi asing tersebut yang
mengalir ke Negara-negara di Asia.
Perusahaan-perusahaan
multinasional yang ingin menyedot sumber daya alam menguasai pasar (baik yang
sudah ada dan menguntungkan maupun yang baru muncul) dan menekan biaya produksi
dengan mempekerjakan buruh murah di negara berkembang, biasanya adalah para
penanam modal asing ini. Contoh ‘klasik’ FDI semacam ini misalnya adalah
perusahaan-perusahaan pertambangan Kanada yang membuka tambang
di Indonesia atau perusahaan minyak sawit Malaysia yang mengambil alih
perkebunan-perkebunan sawit di Indonesia. Cargill, Exxon, BP, Heidelberg Cement,
Newmont, Rio Tinto dan Freeport McMoRan, dan INCO semuanya memiliki
investasi langsung di Indonesia. Namun demikian, kebanyakan FDI di Indonesia
ada di sektor manufaktur di Jawa, bukan sumber daya alam di daerah-daerah.
Salah satu aspek
penting dari FDI adalah bahwa pemodal bisa mengontrol atau setidaknya punya
pengaruh penting manajemen dan produksi dari perusahaan di luar negeri. Hal ini
berbeda dari portofolio atau investasi tak langsung, dimana pemodal asing
membeli saham perusahaan lokal tetapi tidak mengendalikannya secara langsung.
Biasanya juga FDI adalah komitmen jangka-panjang. Itu sebabnya ia dianggap lebih
bernilai bagi sebuah negara dibandingkan investasi jenis lain yang bisa ditarik
begitu saja ketika ada muncul tanda adanya persoalan.
Undang-Undang penanaman
Modal Pertama dikeluarkan pada waktu masa pemerintahan orde baru yang dipimpin
oleh Presiden Soeharto, yaitu Undang-Undang No.1 tahun 1967, dikatakan dengan
jelas bahwa beberapa jenis bidang usaha sepenuhnya tertutup bagi perusahaan
asing, yaitu pelabuhan, pembangkitan dan transmisi listrik, telekomunikasi,
pendidikan, penerbangan, air minum, perkereta-apian (KA), tenaga nuklir, dan
media massa. Kesemua bidang ini dibatasi adanya campur tangan oleh pihak asing
karena bidang-bidang ini dapat dikategorikan sebagai usaha yang bernilai
strategis bagi Negara dan kehidupan sehari-hari rakyat banyak yang seharusnya
tidak boleh dipengaruhi oleh pihak asing (terdapat di pasal 6 ayat 1).
Setahun kemudian
dibuatlah Undang-Undang yang mengatur tentang penanaman modal dalam negeri (UU
No.6 tahun 1968), yang didalamnya (Pasal 3 ayat 1), menyatakan sebagai berikut :
“Perusahaan Nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51 % daripada
modal dalam negeri yang ditanam di dalmnya dimiliki oleh Negara dan / atau
swasta nasional”. Dengan kata lain, berdasarkan Undang-Undang ini, pemodal
asing hanya boleh memiliki modal maksimal, sebanyak-sebanyaknya 49% dalam
sebuah perusahaan. Namun kemudian, pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan
pemerintah yang menjamin investor asing bisa memiliki hingga 95% saham
perusahaan yang bergerak dalam bidang “… pelabuhan; produksi dan
transmisi serta distribusi tenaga listrik umum; telekomunikasi; penerbangan,
pelayaran, KA; air minum, pembangkit tenaga nuklir; dan media massa” (PP
No. 20/1994 Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1).
Penanaman Modal Swasta Asing Secara Langsung (FDI), 1970-1997
Penanaman
FDI
|
Penerima
Utama FDI, 1997
|
||
Tahun
|
Total FDI netto
(dalam US$ miliar)
|
Negara Penerima
|
FDI yang diterima
(persentase total)
|
1970
1980
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
|
3,1
10,9
23,7
35,1
42,5
53,2
78,1
96,3
118,9
119,4
|
Cina
Brasil
Meksiko
Indonesia
Polandia
Malaysia
Argentina
India
Venezuela
Negara-negara
berkembang lainnya
|
31
13
7
5
4
3
3
3
2
29
|
Selanjutnya dibawah
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah Indonesia
mengadakan International Infrastructure Summit pada tanggal 17
Januari 2005 dan BUMN summit pada tanggal 25-26 Januari 2005. Infrastructure
summit menghasilkan keputusan eksplisit bahwa seluruh proyek infrastruktur
dibuka bagi investor asing untuk mendapatkan keuntungan, tanpa perkecualian.
Pembatasan hanya akan tercipta dari kompetisi antarperusahaan. Pemerintah juga
menyatakan dengan jelas bahwa tidak akan ada perbedaan perlakuan terhadap
bisnis Indonesia ataupun bisnis asing yang beroperasi di Indonesia.
BUMN summit
menyatakan jelas bahwa seluruh BUMN akan dijual pada sektor privat. Dengan kata
lain, artinya tak akan ada lagi barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah
dengan biaya murah yang disubsidi dari pajak. Di masa depan seluruh barang dan
jasa bagi publik akan menjadi barang dan jasa yang bersifat komersial yang
penyediaannya murni karena motif untuk mendapatkan laba. Kebijakan-kebijakan
ini menunjukkan proses liberalisasi yang saat ini sedang berlangsung di semua
sektor di Indonesia dan menunjukkan pentingnya FDI bagi pemerintah Indonesia.
Perusahaan-Perusahaan
Multinasional
Perusahaan
Multinasional telah memainkan peranan yang sangat penting dalam menjalankan
kebijakan dan aturan baik di tingkat national maupun internasional. Di
negara-negara berkembang, hampir setiap aspek dari kehidupan komunitas telah
terkena dampak dari operasi Perusahaan Multinasional. Perusahaan
multinasional atau PMN adalah perusahaan yang berusaha di
banyak negara; perusahaan ini biasanya sangat besar. Perusahaan seperti ini
memiliki kantor-kantor, pabrik atau kantor
cabang di banyak negara. Mereka biasanya memiliki sebuah
kantor pusat di mana mereka mengkoordinasi manajemen global. Perusahaan
multinasional yang sangat besar memiliki dana yang melewati dana banyak negara.
Mereka dapat memiliki pengaruh kuat dalam politik global, karena pengaruh
ekonomi mereka yang sangat besar bagai para politisi, dan juga sumber finansial
yang sangat berkecukupan untuk relasi masyarakat dan melobi politik. Karena
jangkauan internasional dan mobilitas PMN, wilayah dalam negara, dan Negara
sendiri, harus berkompetisi agar perusahaan ini dapat menempatkan fasilitas
mereka (dengan begitu juga pajak pendapatan, lapangan kerja, dan aktivitas
ekonomi lainnya) di wilayah tersebut. Untuk dapat berkompetisi, negara-negara
dan distrik politik regional seringkali menawarkan insentif kepada PMN, seperti
potongan pajak, bantuan pemerintah atau infrastruktur yang lebih baik atau
standar pekerja dan lingkungan yang memadai.
Perusahaan
multinasional pada dasarnya adalah sebuah perusahaan raksasa yang menjalankan,
memiliki serta mengendalikan operasi bisnis atau kegiatan-kegiatan usahanya di
lebih dari satu Negara. Perusahaan multinasional ini umumnya berupa perusahaan
yang dikelola oleh lebih dari sebuah negara, dan oleh karena kekuatan
ekonominya yang besar, ia mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan perekonomian
suatu negara dengan sangat luas.
Dari sudut pandang
sejarah, model perusahaan seperti ini mulai bermunculan sejak dekade 50.
perusahaan-perusahaan multinasional, terutama di AS, semakin aktif di beberapa
bidang, setelah terpengaruh oleh kondisi perekonomian di zaman itu. Dengan
memanfaatkan sistem transportasi dan komunikasi internasional yang semakin
modern, demikian pula karena adanya “celah” antara hubungan Eropa dan Jepang,
perusahaan-perusahaan ini menemukan peluang untuk menjual produk-produk mereka
ke luar batas-batas AS. Tak lama kemudian, perusahaan-perusahaan Eropa
mengikuti jejak langkah mereka ini, sehingga menjadi semakin luaslah keberadaan
perusahaan-perusahaan multinasional ini.
Perusahaan
multinasional atau PMN adalah perusahaan yang berusaha di
banyak negara; perusahaan ini biasanya sangat besar. Perusahaan seperti ini
memiliki kantor-kantor, pabrik atau kantor
cabang di banyak negara. Mereka biasanya memiliki
sebuah kantor pusat di mana mereka mengkoordinasi manajemen global. Perusahaan
multinasional yang sangat besar memiliki dana yang melewati dana banyak negara.
Mereka dapat memiliki pengaruh kuat dalam politik global, karena pengaruh
ekonomi mereka yang sangat besar bagai para politisi, dan juga sumber finansial
yang sangat berkecukupan untuk relasi masyarakat dan melobi politik. Karena
jangkauan internasional dan mobilitas PMN, wilayah dalam negara, dan Negara
sendiri, harus berkompetisi agar perusahaan ini dapat menempatkan fasilitas
mereka (dengan begitu juga pajak pendapatan, lapangan kerja, dan aktivitas
ekonomi lainnya) di wilayah tersebut. Untuk dapat berkompetisi, negara-negara
dan distrik politik regional seringkali menawarkan insentif kepada PMN, seperti
potongan pajak, bantuan pemerintah atau infrastruktur yang lebih baik atau
standar pekerja dan lingkungan yang memadai.
Terdapat dua
karakteristik pokok dari perusahaan multinasional, yakni ukuran mereka yang
sangat besar dan kenyataan bahwa operasi bisnis mereka yang tersebar ke seluruh
dunia itu cenderung dikelola secara terpusat oleh para pemimpinnya di kantor
pusatnya yang berkedudukan di Negara asal. Ukuran mereka yang sedemikian besar
tentu memberikan kekuatan ekonomi (dan terkadang juga kekuatan politik) yang
sangat besar, sehingga mereka merupakan kekuatan utama (sekitar 40%) yang
menyebabkan berlangsungnya globalisasi perdagangan duniua
secara pesat. Dengan kekuatan yang begitu besar, merekalah yang sebenarnya
seringkali mendominasi aneka komoditi dagang di Negara-negara berkembang
(tembakau, mie, bubur gandum instant, dsb).
Dari gambaran ini, maka
bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kekuatan ekonomi (dan terkadang politik)
yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaa multinasional tersebut, apalagi jika
dibandingkan dengan pemerintahan di Negara-negara berkembang di mana mereka
menjalankan bisnisnya. Kekuatan mereka ini juga ditunjang lagi oleh posisi
oligopolitik yang mereka genggam dalam perekonomian domestic atau
bahkan internasional pada sektor atau jenis-jenis produk yang mereka jalankan.
Dampak perusahaan
multinasional
Dewasa ini kehadiran
perusahaan-perusahaan multinasional di bidang ekonomi dan politik dunia, terasa
sangat mencolok. Perusahaan-perusahaan multinasional yang “menancapkan kukunya”
juga tentu saja memberikan implikasi kepada, saya sebut sebagai, Negara yang
di’ekspansi’nya, baik dampak positif maupun dampak negatifnya.Dampak positif
pertama yang paling sering disebut-sebut sebagai sumbangan positif
penanaman modal asing ini adalah, peranannya dalam mengisi kekosongan atau
kekurangan sumber daya antara tingkat investasi yang ditargetkan dengan jumlah
actual “tabungan domestik” yang dapat dimobilisasikan. Dampak positif
kedua adalah, dengan memungut pajak atas keuntungan perusahaan
multinasional dan ikut serta secara financial dalam kegiatan-kegiatan mereka di
dalam negeri, pemerintah Negara-negara berkembang berharap bahwa mereka akan
dapat turut memobilisasikan sumber-sumber financial dalam rangka membiayai
proyek-proyek pembangunan secara lebih baik.
Dampak positif
ketiga adalah, perusahaan
multinasional tersebut tidak hanya akan menyediakan sumber-sumber financial dan
pabrik-pabrik baru saja kepada Negara-negara miskin yang bertindak sebagai tuan
rumah, akan tetapi mereka juga menyediakan suatu “paket” sumber daya yang
dibutuhkan bagi proses pembangunan secara keseluruhan, termasuk juga pengalaman
dan kecakapan manajerial, kemampuan kewirausahaan, yang pada akhirnya nanti
dapat dimanifestasikan dan diajarkan kepada pengusaha-pengusaha domestic.
Dampak positif
keempat adalah, perusahaan
multinasional juga berguna untuk mendidik para manajer local agar mengetahui
strategi dalam rangka membuat relasi dengan bank-bank luar negeri, mencari
alternative pasokan sumber daya, serta memperluas jaringan-jaringan pemasaran
sampai ke tingkat internasional. Dampak positif kelimaadalah,
perusahaan multinasional akan membawa pengetahuan dan teknologi yang tentu saja
dinilai sangat maju dan maju oleh Negara berkembang mengenai proses produksi
sekaligus memperkenalkan mesin-mesin dan peralatan modern kepada Negara-negara
dun ia ketiga.
Selain dampak positif
yang telah dikatakan diatas, tentu saja dalam pelaksanaan kegiatan ekonominya,
perusahaan multinasional juga mempunyai dampak negatif yang terjadi pada Negara
tamu. Pada umumnya pasar yang menjadi sasaran pemasaran perusahaan
multinasional ini memang adalah Negara-negara yang notabenenya adalah Negara-negara
yang sedang berkembang atau Negara-negara dunia ketiga. Hal ini mereka lakukan
karena Negara-negara dunia ketiga ini dinilai belum mempunyai perlindungan yang
baik atau belum mempunyai “kekuatan” yang cukup untuk menolak “kekuatan”
daripada perusahaan-perusahaan raksasa multinasional ini sehingga bukan tidak
mungkin mereka bisa melakukan intervensi terhadap pemerintahan yang
dilangsungkan oleh Negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain Negara-negara
ini menghadapi dilema di mana sebagian besar negara terlalu lemah untuk
menerapkan prinsip aturan hukum, dan juga perusahaan-perusahaan
raksasa ini sangat kuat menjalankan kepentingan ekonomi untuk keuntungan mereka
sendiri.
Kemudian kita juga
harus menyadari bahwa perusahaan-perusahaan mutinasional ini tidak
tertarik untuk menunjang usaha pembangunan suatu Negara. Perhatian
mereka hanya tertuju kepada upaya maksimalisasi keuntungan atau tingkat hasil
financial atas setiap sen modal yang mereka tanamkan. Perusahaan-perusahaan
multi nasional ini senantiasa mencari peluang ekonomi yang paling
menguntungkan, dan mereka tidak bisa diharapkan untuk memberi perhatiam kepada
soal-soal kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan lonjakan pengangguran. Pada
umumnya, perusahaan-perusahaan multinasional hanya sedikit memperkerjakan
tenaga-tenaga setempat. Operasi mereka cenderung terpusat di sector modern yang
mampu menghasilkan keuntungan yang maksimal yaitu di daerah perkotaan.
Selain tidak bisa
diharapkan untuk ikut membantu mengatasi masalah ketenagakerjaan di Negara tuan
rumah, mereka bahkan seringkali memberi pengaruh negative terhadap
tingkat upah rata-rata, karena mereka biasanya memberikan gaji dan aneka
tunjangan kesejahteraan yang jauh lebih tinggi ketimbang gaji gaji rata-rata
kepada para karyawannya, baik itu yang berasal dari Negara setempat atau yang
didatangkan dari Negara-negara lain. Di atas telah dikatakan bahwa keuatan
mereka juga ditunjang oleh posisi oligopolitik yang mereka genggam dalam
perekonomian domestik atau bahkan internasional pada sektor atau jenis-jenis
produk yang mereka geluti. Hal ini bertolak berlakang dari keyataan bahwa
mereka cenderung beroperasi di pasar-pasar yang dikuasai oleh beberapa penjual
dan pembeli saja. Situasi seperti ini memberi mereka kemampuan serta kesempatan
yang sangat besar untuk secara sepihak menentukan harga-harga dan laba yang
mereka kehendaki, bersekongkol dengan perusahaan lainnya dalam membagi daerah
operasinya serta sekaligus untuk mencegah atau membatasi masuknya
perusahaan-perusahaan baru yang nantinya dikhawatirkan akan menjadi saingan
mereka.
Hal-hal tersebut mereka
upayakan dengan menggunakan kekuatan yang mereka miliki dalam penguasaan
teknologi-teknologi baru yang paling canggih dan efisien, keahlian-keahlian
khusus, diferensiasi produk, serta berbagai kegiatan periklanan secara gencar
dan besar-besaran untuk mempengaruhi, kalau perlu mengubah, selera dan minat
konsumen. Kemudian walaupun dampak-dampak awal (berjangka awal) dari penanaman
modal perusahaan multinasional memang dapat memperbaiki posisi devisa Negara
yang menerima mereka (Negara tuan rumah), tetapi dalam jangka panjang
dampak-dampaknya justru negatif, yakni dapat mengurangi penghasilan
devisa itu, baik dari sisi neraca transaksi berjalan maupun neraca modal. Neraca
transaksi berjalan bisa memburuk karena adanya impor besar-besaran atas
barang-barang setengah jadi dan barang modal oleh perusahaan multinasional itu,
dan hal tersebut masih diperburuk lagi oleh adanya pengiriman kembali
keuntungan hasil bunga, royalty, dan biaya-biaya jasa manajemen ke Negara
asalnya. Jadi praktis pihak Negara tuan rumah tidak memperoleh bagian
keuntungan yang adil dan wajar.
Selain itu
perusahaan-perusahaan multinasional berpotensi besar untuk merusak
perekonomian tuan rumah dengan cara menekan timbulnya semangat bisnis para
usahawan local, dan menggunakan tingkat penguasaan pengetahuan
teknologi mereka yang superior, jaringan hubungan luar negeri yang luas dan
tertata baik, keahlian dan agresivitas di bidang periklanan, serta penguasaan
atas berbagai berbagai jenis jasa pelengkap lainnya untuk mendorong keluar
setiap perusahaan local yang cukup potensial yang dianggap mengganggu atau
mengancam dalam kancah persaingan, dan sekaligus untuk menghalangi munculnya
perusahaan-perusahaan baru yang berpotensi untuk menjadi saingan mereka.
Perusahaan-perusahaan multinasional juga sering menggunakan kekuatan ekonomi
mereka untuk mempengaruhi, menyuap, dan memanipulasi berbagai kebijakan
pemerintah di Negara tuan rumah ke arah yang tidak menguntungkan bagi
pembangunannya.
Freeport Indonesia
; Pembangunan untuk siapa ? Berkah Atau Bencana ?
Pada saat ini, masih
lekang dingatan kita tentang kasus pertikaian berdarah yang terjadi di tanah
papua antara kaum asli papua yang merasa sebagai pemilik tanah yang asli
sebagai kaum yang termarginalkan di tanahnya sendiri, dengan salah satu
perusahaan multinasional yang beroperasi di daerah papua yaitu PT. Freeport
Indonesia (FI). Warga yang bertikai menuntut penutupan PT. FI karena dinilai
tidak memberikan keuntungan yang adil bagi warga local. Menurut mereka, sejak
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat 1969 dilaksanakan, Pepera telah
melenceng jauh dari amanat rakyat Papua. Kemudian, kontrak yang dilakukan
Pemerintah Indonesia bersama PT. FI mereka nilai tidak mengakomodasi hak rakyat
Papua.
Mereka menilai otonomi
khusus belum mampu meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan rakyat rakyat,
apalagi menciptakan lapangan kerja yang produktif. Kebijakan pemekaran yang
sewaktu itu digembar-gemborkan juga dianggap upaya “memecah belah”. Mengapa
mereka menggugat PT. FI? Di tempat beroperasinya perusahaan tambang yang makmur
itu, sekelompok rakyat Papua malah menjadi pencari remah-remah sisa pada
pembuangan tailing. Ironisnya, permukiman dan tempat mereka hidup dan
bersosial, yakni hutan dan gunung, telah hancur. Gugatan terhadap situasi ini
sebenarnya sudah lama dilancarkan, tetapi selalu menghadapi tantangan
pelanggaran hak asasi manusia.
Lokasi pertambangan
Freeport berupa gunung biji tembaga (Ertsberg), pertama kali ditemukan seorang
ahli geologi kebangsaan Belanda, Jean Jacqnes Dory pada 1936. Kemudian
ekspedisi Forbes Wilson tahun 1960 menemukan kembali Ertsberg. Freeport pertama
kali melakukan penambangan pada bulan Desember 1967 pasca-Kontrak Karya I (KK
I). Ekspor pertama konsentrat tembaga dimulainya pada Desember 1972 dan
beberapa bulan kemudian tepatnya Maret 1973, proyek pertambangan dan Kota
Tembagapura ini diresmikan Presiden Soeharto.
Setelah sekian lama
dilakukan ekplorasi dan tentunya eksploitasi, kandungan tembaga semakin berkurang.
Tapi pada 1986 ditemukan sumber penambangan baru di puncak gunung rumput atau
dikenal dengan nama Grasberg. Di daerah ini, kandungannya jauh lebih besar
dibanding sebelumnya. Kandungan bahan tambang emas terbesar di dunia ini
diketahui sekitar 2,16 hingga 2,5 miliar ton dan kandungan tembaga sebesar 22
juta ton lebih. Diperkirakan dalam sehari diproduksi 185.000 hingga 200.000 ton
biji emas/tembaga. Melihat potensi itu, Freeport memperpanjang KK I dan
dibuatlah KK II pada Desember 1991 yang memberikan hak kepada Freeport selama
30 tahun dengan kemungkinkan perpanjangan selama 2 X 10 tahun. Ini berarti KK
II itu akan berakhir pada tahun 2021 dan jika diperpanjang, maka akan berakhir
2041 nanti. Sehingga setelah 35 tahun, tepatnya tahun 2041 barulah Freeport
kembali menjadi milik Indonesia.
Lalu pertanyaannya,
siapa yang menikmati hasil Freeport selama ini? Sebab sumbangan ke APBN hanya
Rp2 triliunan, saham pemerintah hanya 9,36 persen, sisanya milik asing. Tentu
saja yang mendapat keuntungan besar ini, mereka yang terlibat dalam pengelolaan
pertambangan itu. Menurut kantor berita Reuters (“PR”, 18/3 2006) dinyatakan
bahwa para petinggi Freeport paling tidak menerima Rp126,3 miliar/bulan.
Misalnya Chairman of the Board, James R Moffet menerima sekitar Rp87,5 miliar
lebih per bulan dan President Directornya, Andrianto Machribie menerima Rp15,1
miliar per bulan. Di samping itu, juga bagi para pejabat Orba yang menangani
Freeport turut menikmatinya. Sebab, bukan tak mungkin KK I dan II diwarnai
dengan berbagai permainan “sulap”.
Walau memang sejak Juli
1996, ada dana satu persen dari laba kotor perusahaan bagi warga lokal di
Kabupaten Mimika, khususnya tujuh suku di dalam kawasan wilayah konsesi
Freeport. Tapi jelas tak seberapa dibanding jumlah hasil tambang yang telah
dikeruk dari perut “ibu” (sebutan perumpamaan gunung biji emas bagi orang
Amungme terhadap Ertsberg dan Grasberg). Terus yang tak bisa dipungkiri, dana
ini menjadi sumber konflik internal diantara mereka. Apalagi dana itu
disinyalir sebagai media peredam setelah ada kerusuhan Maret 1996. Bahkan
sempat Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa) awalnya menolak menerima dana
itu. Sementara warga lokal dari adat lain yang ada di sekitar perusahaan merasa
berhak juga atas dana itu. Intinya: ada ketidakpuasan, ketidakadilan, dan
pengelolaan yang tak profesional.
Tapi sejatinya,
konflik-konflik sekitar Freeport telah dimulai sejak perusahaan itu berdiri.
Misalnya, saat persiapan awal proyek Freeport sekitar 1960-1973 telah
terjadi konflik dengan masyarakat adat setempat berkaitan soal pengakuan
identitas dan pandangan hidup yang berhubungan dengan alam yang mereka anggap
keramat. Misalnya gunung-gunung berselimut salju (Nemangkawi atau panah putih)
yang telah dikeruk itu merupakan tempat bersemayamnya roh-roh nenek moyang
mereka ketika meninggal dunia. Terus yang perlu diingat pula, konflik pertama
terjadi saat tim ekspedisi Forbes Wilson tahun 1960 meminta bantuan masyarakat
sekitar membawa barang-barang keperluan rombongan (porter), tetapi mereka tak
dibayar. Kekecewaan dan merasa ditipu ini bisa menjadi awal konflik.
Konflik berikutnya yang
dikenal dengan konflik January Agreement yang dibuat tahun 1974. Isinya
menyangkut kesepakatan antara Freeport dengan masyarakat Suku Amungme dalam
kaitan pematokan lahan penambangan dan batas tanah milik perusahaan
dengan masyarakat adat setempat. Namun pada kenyataannya, diduga Freeport telah
mengambil tanah adat jauh di luar batas yang telah disepakati. Masyarakat adat
semakin tergerser dan menjadi kaum pinggiran (pheripheral saja).
Konflik-konflik berkaitan dengan January Agreement terus saja berlanjut sampai
pembentukan Lemasa tahun 1992. Konflik lainnya dipicu soal kerusakan lingkungan
yang semakin parah.
Papua memiliki 42 juta
hektar hutan dengan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, seperti bahan
tambang, minyak dan gas bumi, serta hutan dan laut yang berlimpah. Walaupun
kekayaan alam itu sudah dieksploratif secara ekstraktif selama puluhan tahun,
rakyat Papua yang bejumlah sekitar dua juta jiwa masih tergolong penduduk
termiskin di republik ini. Ironisnya, ketika sumber daya alam mereka
menghasilkan uang bertriliun-triliun, sekitar 80 % penduduknya masih hidup pada
tingkat subsisten. Masih banyak warga yang hanya memakai koteka. Data Badan
Pusat Statisitik (BPS) pada tahun 2004 menunjukkan penduduk miskin di Papua
pada tahun 2002 mencapai 39 %. Angka ini akan menjadi lebih besar karena
sebagian besar penduduk miskin ini berada pada warga asli yang jumlahnya
sekitar 60 % dari total jumlah penduduk provinsi ini. Dalam laporan
Conservation Internasional Indonesia 2004 dikatakan warga Papua mempunyai
tingkat kesehatan yang memprihatinkan, angka kematian bayi di Papua cukup
tinggi, yaitu 100 per seribu kelahiran bayi hidup. Angka itu hampir tidak
berubah sesudah otonomi khusus. Angka kematian ibu juga paling tinggi di negeri
ini, yaitu 60-700 per 100.000 kelahiran. Selain itu tingkat harapan hidup juga
rendah. Dari sisi pendidikan, 44,13 % warga Papua buta huruf. Ketidakseimbangan
dalam bagi hasil penerimaan dan pengelolaan sumber daya alam dianggap sebagai
biang keladi kemiskinan dan ketertinggalan ini. Padahal, ketika republik ini
mengalami krisis, produk domestk regional bruto (PDRB) Papua melonjak dari Rp.
9 triliun pada tahun 1997 menjadi Rp. 19 triliun pada tahun 1998. ini
disebabkan total nilai tambah dari sector pertambangan meningkat 38 %. Padahal,
Papua merupakan propinsi dengan tingkat PDRB kempat tertinggi stelah Riau, DKI
Jakarta dan Kalimantan Timur.
Sejak 3 tahun yang
lalu, angka kemiskinan penduduk Mimika hampir dua kali lipat kemiskinan tingkat
nasional. Dari jumlah penduduk sebanyak 131.715 jiwa kala itu, penduduk
miskinnya mencapai 32,75 %. Runyamnya, angka kemiskinan itu mengalaim
kemiskinan sepanjang tahun. Sektor pendidikan yang semestinya menjadi sektor
paling dasar, ternyata hanya membuat hati terenyuh. Di pedalaman-pedalaman,
sekolah-sekolah nyaris tidak memiliki guru. Sistim sekolah hancur. Akibatnya
sekolah-sekolah sering diliburkan. Walaupun ada kebijakan penerapan dana 1
persen dari PT. FI untuk masyarakat sekitar, namun trenyata dana tersebut tidak
dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Dana kompensasi 1
persen berawal ketika pemerintah pusat, pemerintah Irian Jaya, dan PT. FI
merancang pola pembangunan masyarakat untuk memecahkan proses pembangunan di
Mimika. PT FI berkomitmen untuk mengalokasikan dana sebesar 1 persen dari
pendapat kotor tahunan selama 10 tahun guna mendukung program tersebut. PT FI
yang beroperasi sejak 1967 mulai mengucurkan dana tersebut pada tahun 1996.
Dana itu ditangani Tim Pengembangan Wilayah Timika Terpadu (PWT2). Masyarakat
sendiri mendirikan Yayasan Tujuh Suku (terdiri dari suku Amungme, Kamoro, Moni,
Lani, Damal, Mee / Ekari, Nduga). Tiap suku mengelola dana tersebut secara
sendiri-sendiri. Nyatanya uang menjungkirbalikan kearifan lokal yang selama ini
dipegang teguh oleh masyarakat. Kebersamaan yantg menjadi perilaku dasar pun
mulai tergerogoti setelah mengenal uang.
Sepanjang sepuluh tahun
ini (1996-2005), dana 1 persen yang telah dikucurkan PT FI sebesar Rp. 1.615.635.852.591
(190.847.906 US$). Jika tahun 1996, dana 1 persen itu sejumlah 25 miliar, maka
pada tahun 2005 Rp. 393 miliar (tabel). Sebagian besar dana itu digunakan untuk
sektor pendidkan dan kesehatan. Sebagai contoh, tahun 2005 dana pendidikan sebesar
Rp. 63,32 miliar (24 %) dan dana kesehatan Rp. 70,61 miliar (27 %). Sektor
lainnya yang dibiayai dengan dana 1 persen itu antara lain pengembangan ekonomi
dan pengambangan desa, dukungan adat, dukungan agama, serta manajemen dan
kapital dengan jumlah yang variatif.
Penerimaan dana 1
persen (1996-2005)
Tahun
|
Dalam US$
|
Dalam
Rupiah
|
1996
|
10.810.150
|
25.208.728.000
|
1997
|
12.742.915
|
38.751.186.601
|
1998
|
16.625.288
|
179.704.641.750
|
1999
|
21.117.015
|
158.043.612.470
|
2000
|
13.504.330
|
117.256.285.550
|
2001
|
17.317.229
|
179.636.056.710
|
2002
|
18.313.298
|
172.305.938.178
|
2003
|
21.841.766
|
189.037.735.585
|
2004
|
18.041.433
|
161.838.029.479
|
2005
|
40.534.482
|
393.853.618.268
|
Total
|
190.847.906
|
1.615.635.852.591
|
Hingga kini,
masih ada yang menilai Freeport belum memberi keadilan bagi pemilik sumber daya
alam yang mereka keruk selama ini. Sehingga kasus – kasus seperti itu seakan
tak pernah berhenti. Bahkan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam surat keputusannya
bernomor 08/MRP/2006 Tentang Keberadaan PT Freeport Indonesia yang berisi empat
poin, salah satunya merekomendasi kepada pemerintah agar Freeport ditutup.
Sebab mereka menilai, kasus Freeport bukan hal baru. Sejak ditandatanganinya
MoU antara pemerintah Indonesia dengan pihak manajemen Freeport di tahun 1967,
terhitung banyak kasus yang terjadi. Dari isu penembakan komunitas lokal oleh
aparat keamanan di lokasi pertambangan itu hingga perusakan ekosistem yang
dilakukan perusahaan. Secara kasat mata, fenomena konflik sekitar Freeport
memberikan sebuah gambaran menarik dicermati. Berbagai konflik yang berkaitan
dengan eksistensi Freeport di Kabupaten Mimika itu, bukanlah merupakan satu
fenomena baru. Sebab tak mustahil konflik ini imbas ketidakberesan penanganan perusahaan
MNC selama ini sebagai warisan kebijakan pemerintah Orde Baru (Orba).
Menurut John Nakiaya,
Sekretaris Eksekutif Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro
(LPMAK), lembaga yang kini mengelola kompensasi dana 1 persen itu mengatakan
bahwa alokasi dana itu tidak dalam bentuk uang tunai, tetapi berupa fasilitas
public, antara lain rumah sakit (RS) Mitra Masyarakat, RS Waa-Banti, Puskesmas
pembantu di aroanap dan Tsinga. Sarana itu diberikan gratis bagi warga tujuh
suku itu. Di bidang pendidikan, selain pembangunan infrastruktur, pengelolaan
asrama, dukungan transportasi dan bahan makanan bagi guru di daerah terpencil,
dana 1 persen itu juga disalurkan sebagai beasiswa bagi 5.464 pelajar atau
mahasiswa tujuh suku itu yang tersebar di berbagai kota.
Kesimpulan
Akhir dekade 1990-an ini
merupakan periode yang menarik bagi kita untuk menilai kembali segala dampak
kualitatif maupun kuantitatif yang ditimbulkan oleh investasi yang dilakukan
perusahaan-perusahaan raksasa multinasional terhadap kondisi social-ekonomi
Negara-negara berkembang yang bertindak sebagai tuan rumahnya. Tetapi
perusahaan multinasional atau transnasional bisa menjadi bencana nasional
karena rawan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan bisa menjadi kekuatan
penghambat proses demokratisasi di negara-negara sedang berkembang.
Direktur Eksekutif
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Emmy Hafild mengemukakan hal itu
dalam diskusi bertema, “Tanggung Jawab Transnational Corporations dalam HAM”
yang diselenggarakan Komisi Nasional HAM, Rabu (21 November 2006) di
Jakarta. Emmy berpendapat, ada kecenderungan kuat, para pemimpin
pemerintahan atau negara di negara-negara berkembang tunduk pada kekuatan modal
perusahaan-perusahaan transnasional. “Jadi, jangan heran bila banyak kebijakan pemerintah
soal perburuhan misalnya, lebih memihak kepentingan perusahaan transnasional,”
tegasnya. Menurut Emmy, dimana pun, perusahaan-perusahaan multinasional
selalu berusaha menggunakan setiap celah untuk mendikte norma internasional.
“Dan nyatanya berhasil,” tuturnya. Emmy mengatakan, perusahaan multinasional di
Tanah Air lebih banyak menimbulkan berbagai kerusakan daripada keuntungan.
Berbagai kerusakan itu antara lain, perampasan tanah, penghancuran tradisi,
perampasan hak penduduk atas lingkungan hidup yang sehat, penghancuran sumber
daya alam, serta pelecehan seksual.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan, keterlibatan masyarakat sangat
esensial dalam pembangunan berkelanjutan, tetapi saat ini masih terbatas dan
masih belum menjadi suatu gerakan. Untuk mendorong partisipasi masyarakat,
dibutuhkan suatu wahan untuk menyebarkan suatu informasi mengenai pembangunan
berkelanjutan dan isu lingkungan global. Selain itu, kata Rachmat, diperlukan
penguatan jejaring masyarakat untuk dapat berperan dalam pembangunan masyarakat
yang berkelanjutan. Terkait dengan kasus yang terjadi di Papua, mungkin solusi
yang perlu dimanifestasikan di dalam masyarakat itu sendiri adalah berupa pola
alokasi dana ke titik tertentu mungkin perlu dikembangkan ke kelompok-kelompok
yang lebih kecil, mengingat suku-suku yang mendiami kawasan pegunungan itu
hidup dalam kelompok-kelompok kecil di daerah-daerah terisolasi sehingga dampak
yang terjadi lebih dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Barang kali satu-satunya
kesimpulan yang cukup sahih untuk dikemukakan di sini adalah bahwasannya
penanaman modal swasta asing bisa merupakan pendorong pembangunan ekonomi dan
social yang penting selama kepentingan-kepentingan perusahaan multinasional
tersebut memang sejalan dengan kepentingan pemerintah dan masyarakat di Negara
tuan rumah (tentu saja yang dimaksudkan dengan kepentingan di sini bukanlah
kepentingan yang pada akhirnya menyebabkan berlarut-larutnya pembangunan yang
dualistis serta memburuknya ketimpangan distribusi pendapatan). Namun, selama
perusahaan-perusahaan multinasional tersebut hanya melihat kepentingan mereka
dari segi output secara global atau maksimalisasi keuntungan saja tanpa
memperdulikan dampak-dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh segenap aktivitas
bisnisnya terhadap kondisi-kondisi ekonomi dan social di wilayah-wilayah
operasinya, maka selama itu pula tuduhan-tuduhan dari pihak yang menentang
penanaman modal asing akan semakin mendapatkan dukungan di kalangan pemerintah
maupun masyarakat di Negara-negara dunia ketiga.
Menurut
Ken Hyland dalam bukunya yaitu “Teaching and Researching of Writing”
yaitu mengenai “ a process view of writing “ dalam halaman 80 ada 5 hal,
yaitu :
1.
Problem Solving
Disitu
tujuannya adalah for the betterment of life (perbaikan) dimana dalam
perbaikan terdapat suatu “awareness” yang dapat dilihat dari apa yang
kita lakukan, karena tingkat “awareness” yang rendah maka budayanya pun
rendah.
Problem solving
ditandai dengan invention strategies (banyak sekali mengalami dan melakukan
sesuatu) dan extensive planning (rancangan yang besar) karena harus menarik.
Semakin besar masalah, maka semakin besar tindakan penyelesaiannya.
2.
Generative
Yaitu
dibagi menjadi dua, Discover dan Explore. Dari kedua point ini,
maka tujuannya adalah sebagai “ideas” dalam menulis.
3.
Recursive
Dalam
point ini, yang diutamakan dan dilihat adalah “motion” yang mana
prosesnya harus “constant review” dalam waktu yang sangat sedikit.
4.
Collaborative
Bertujuan
agar sesuatu yang kita buat (hasilkan) harus memfosilkan timbal balik,
khususnya antara pembaca dan penulis.
5.
Developmental
Dalam hal
mengembangkan suatu bentuk tulisan maka yang harus dilakukan adalah (improvement
is evaluated) suatu peningkatan adalah proses dari penilaian.
Kesimpulannya,
jadi dalam kasus “West Papua” banyak sekali terjadi sengketa
Internasional, seperti dimana cara penyelesaiannya ada sembilan macam, yang
dibagi menjadi dua cara. Secara politik, dapat diselesaikan dengan negosiasi,
jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, dan penyelesaian dibawah naungan PBB.
Sedangkan pada cara hukum dapat dilakukan melalui lembaga peradilan
internasional yang telah dibentuk (mahkamah internasional). Selain itu, menurut
Ken Hyland dalam mempelajari suatu proses-proses dalam menulis, kita harus
berpedoman pada lima hal, yaitu: problem solving, generative, recursive,
collaborative, serta developmental.