Critical Review 1



CLASSROOM DISCOURSE: MARI KENALKAN KATA “KERUKUKAN”
(By: Endang Siti Nurkholidah)
Bersatu ataukah bercerai-berai? Ini adalah pilihan hidup yang sering terjadi di kehidupan masyarakat. Ini semua diakibatkan karena banyaknya perbedaan disekeliling kita. Hidup dalam negara yang penuh keragaman memang menjadi sebuah tantangan bagi semua manusia. Untuk hidup damai dan berdampingan, tentu dibutuhkan toleransi satu sama lain. Memang setiap manusia di dunia memiliki perbedaan yang signifikan dan perbedaan itu yang membuat saling melengkapi. Perbedaan adalah sesuatu hal yang indah dalam hidup ini, meskipun banyak orang yang tak menyadarinya. Setiap orang yang hidup di dunia ini akan merasakan perbedaan dengan lawannya atau sesama kerabatnya. Mengapa begitu? Karena setiap manusia memiliki perbedaan dan dibalik perbedaan ada sebuah misteri besar yang harus kita pecahkan. Seperti perbedaan keragaman suku, agama, maupun budaya yang ada diberbagai penjuru dunia.

Dunia memang sedang dilanda rasa dilematik akibat perubahan yang cepat dan tidak terlekkan, sehingga menimbulkan akibat pada perubahan sosial, budaya bahkan agama. Sepertinya ada beberapa pergeseran system nilai social, budaya dan agama yang cukup drastic sekali. Pergeseran nilai yang sangat penting ini menimbulkan goncangan yang sangat dahsyat. Perubahan nilai ini juga terjadi di tanah air yang kita bangga-banggakan dan yang kita cintai. Ya, Indonesia bumi pertiwiku. Sepertinya Indonesia salah satu Negara yang dilanda konflik antar social, suku, budaya dan agama. Ini terbukti bahwa di Indonesia masih banyak konflik yang sering bermunculan juga diberbagai media elektronik maupun cetak. Contohnya seperti konflik antar agama yang terjadi pada masyarakat.
Hampir semua manusia menyadari bahwa keragaman dan perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima dan dihadapi, walaupun terkadang sikap yang kurang tepat terhadap keragaman sering menjadi sumber konflik. Berdiri dalam keragaman dan perbedaan tertentu memang membuka peluang untuk terjadinya ragam konflik kemanusiaan. Oleh karena itu manusia dituntut untuk mencari titik-titik tertentu yang memungkinkan adanya titik temu atau titik kebersamaan, sehingga terbuka peluang untuk tumbuhnya sikap toleran dalam menyikapi pluralitas. 
Ketika kita berbicara tentang kerukunan, berarti secara tidak langsung kita berbicara tentang toleransi juga. Kerukunan dan toleransi memang sudah menjadi satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Apa itu toleransi? Toleransi adalah perilaku terbuka dan menghargai segala perbedaan yang ada dalam setiap kehidupan. Biasanya orang bertoleransi terhadap perbedaan kebudayaan dan agama. Namun, konsep toleransi ini juga bisa diaplikasikan untuk perbedaan jenis kelamin, anak-anak dengan gangguan fisik maupun intelektual dan perbedaan lainnya. Toleransi juga berarti menghormati dan belajar dari orang lain. Menghargai perbedaan, menjembatani kesenjangan budaya, menolak stereotip yang tidak adil, sehingga tercapai kesamaan sikap. Toleransi juga adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya.
Manusia adalah makhluk indiviudu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial tentunya manusia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan individu lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda warna dengannya salah satunya adalah perbedaan agama. Memang banyak warna dalam kehidupan kita memang sangat indah, tapi bagaimana jika warna itu menyimbolkan keberagaman etnis, budaya dan agama?  Ini pertanyaan dan masalah yang besar yang menimbulkan konflik antar sesama manusia di bumi ini.
Dalam menjalani kehidupan sosialnya tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan-gesekan yang dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan ras maupun agama. Dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghormati dan saling menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian dapat dihindari. Masyarakat juga dituntut untuk saling menjaga hak dan kewajiban mereka antara yang satu dengan yang lainnya.
Seperti yang telah Bapak Chaedar Alwasilah kemukakan dalam wacana “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” (2012:217), ada beberapa point penting yang beliau kemukakan. Pertama, konflik sosial dan ketidak harmonisan agama merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Memupuk sikap toleransi antara sesama umat beragama harus dikembangkan dan diberikan pada pendidikan dasar, agar siswa bisa saling menghormati orang lain meskipun berbeda etnis maupun agama.
Kedua, sebagai tenaga pendidik (guru) harus memupuk sikap toleransi pada anak didiknya. Guru bisa memberi kesempakatan kepada muridnya ketika berada dalam kelas, seperti yang bapak Chaedar tuturkan dalam wacana “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”. Misalnya guru bisa memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang bagaimana sikap bertoleransi pada sesama manusia, khusunya sesama umat beragama. Selain itu juga siswa dituntut untuk mengamalkan apa yang telah disampaikan oleh guru tentang bagaimana sikap bertoleransi dengan sesama manusia.
Menurut Rubin (2009) yang terdapat pada wacana Classroom Discourse to Foster Religious Harmony mengemukakan bahwa diberbagai penelitian telah menunjukkan bahwasannya anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah adalah hubungan dimana antar siswa menghormati, membantu, berbagi, dan sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial di dunia.
Survey membuktikan bahwasannya memperkenalkan atau memupuk pendidikan toleransi antar sesama manusia memang sangat penting untuk diaplikasikan di bangku sekolah dasar. Agar siswa ketika bertumbuh jadi dewasa sudah terbiasa akan sikap saling bertoleransi satu sama lain, khusunya toleransi beragama. Toleransi berama sangat penting dikembangkan pada bangku sekolah usiadini, karena agama itu sangat penting. Mengapa demikian? Agama merupakan pondasi kehidupan ya      ng sangat berpengaruh dalam kehidupan kita. Orang yang tidak beragama tidak akan memiliki pondasi. Apalagi pondasi yang sangat kokoh! Sesama umat beragama harus mempunyai jiwa toleransi yang sangat tinggi, karena kita hidup di dunia ini tidak hanya satu agama saja, tapi banyak agama. Seperti agama islam, Kristen, budha, hindu, konguchu dan lain sebagainya.
Selain itu konflik akan terjadi akibat kurangnya kerukuran antar sesama, itu akibat dari tidak adanya toleransi, padahal kita mempunyai satu semboyan yang mengikat semuanya. Tidak ada bukti sejarah bahwa perbedaan etnis, budaya, bahasa dan agama menjadi sumber konflik. Inilah modal sosial yang memperkuat dan meneguhkan keragaman bangsa kita yang telah dikukuhkan dengan sebutan falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah slogan kebangsaan Indonesia yang akrab dan tidak asing lagi di telinga kita. Slogan ini dapat dimaknai, bahwa bangunan kebangsaan kita ditandai oleh kemampuan tiap kelompok dari elemen bangsa untuk saling asah, asih dan asuh. Inilah sebuah rangkaian kata yang elegan dan mudah diucapkan, akan tetapi tak mudah untuk dijalankan.
Dalam pancasila juga tertera hal tentang pentingnya bertoleransi antar agama, terutama sila pertama yaitu bertaqwa kepada tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua agama menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib saling menghargai. Dengan demikian antar umat beragama yang berlainan akan terbina kerukunan hidup tanpa adanya konflik sosial.
Saya setuju apa yang dikemukakan oleh Chaedar Alwasilah dalam wacana di atas, akan tetapi ada point penting yang perlu ditambahkan dalam mendidik atau memupuk siswa. Serta masih ada kekurangan yang perlu ditambahkan dalam wacana miliknya Bapak Chaedar Alwasilah itu. Point penting ini adalah lingkungan social dan keluarga. Kedua peran tersebut sangat penting untuk membentuk anak-anak(siswa) menjadi orang yang memiliki rasa toleransi pada orang lain.
Pertama, lingkungan sosial salah satu faktor pendukung yang sangat penting. Tidak hanya di bangku sekolah dasar saja sikap toleransi dikembangkan, akan tetapi lingkungan social juga sangat mendukung. Ketika lingkungan social itu baik dan hampir semua masyarakat di lingkungan tersebut memiliki sikap toleransi, maka siswa (anak) pun akan terdorong dan terbiasa dengan lingkungan yang selalu menerapkan sikap toleransi pada kehidupannya.
Kedua, faktor keluarga pun sangat penting dalam memupuk anak untuk memiliki sikap toleransi. Keluarga harus bisa menjadi faktor pendukung yang berperan sangat besar, karena anak lebih banyak berinteraksi dalam lingkungan keluarga. Khususnya anak yang masih berada dalam bangku sekolah dasar. Keluarga terutama orang tua harus memberikan contoh yang benar bagi anaknya. Seperti mengajak anak berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda agama, suku ataupun budaya, agar anak terbiasa menghadapi masalah ini kelak ketika ada konflik yang melanda. 
Sekolah Menengah Pertama adalah tingkatan sekolah menengah dalam arti mendapat atau mempelajari ilmu yang lebih lanjut dari pada sekolah dasar.  Rata-rata usia pelajar SMP sekitar 13 sampai 16 tahun. Usia beranjak remaja seperti ini (remaja tanggung) yang rentan dengan berbagai pengaruh dan perubahan, baik itu dari segi akhlak (moral), Sexual, bahkan penampilan. Remaja seperti ini termasuk remaja yang sedang mengalami masa labil yang luar biasa dan sangat diperlukan bimbingan dari orang-orang terdekatnya, seperti keluarga, guru dan lingkungan sekitar. (Budi Hikmah)
Selain itu, dalam wacana “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” hanya membahas tentang kerukunan beragama dalam konteks dalam kelas saja. Padahal seharusnya untuk memupuk sikap toleransi dan kerukunan beragama tidak hanya dilakukan dalam kelas, di lingkungan sekitar juga bisa mendukung. Selanjutnya menanamkan sikap toleransi tidak hanya untuk anak saja, akan tetapi untuk orang dewasa juga. Mengapa demikian? Untuk urusan toleransi dan kerukuran beragama tidak hanya melihat anak-anak saja yang harus memiliki sikap tersebut. Akan tetapi semua manusia di dunia ini. Hal ini terbukti ketika meningkatnya intensitas konflik sosial berlatar agama, khususnya tiga tahun terakhir, telah memaksa kita memahami kembali makna kerukunan kehidupan beragama dalam konteks kekinian. Penelitian Lazuardi Birru menyimpulkan bahwa indeks kerentanan radikalisme nasional di tahun 2011 sebesar 43,6 persen, masih jauh dari zona aman, yaitu 33,33 persen. Topik kerukunan ini mengemuka dalam diskusi terbatas yang diadakan Lembaga Ketahanan Nasional (20/3/2012) di Jakarta. Kerentanan kerukunan antar-umat beragama akan mengancam integrasi bangsa. Terlebih, potensi konflik sosial di Indonesia diperkirakan semakin meningkat beberapa tahun ke depan.
Tingkat toleransi dan penghargaan terhadap keanekaragaman agama-agama di kalangan siswa siswa memang cukup problematik. Meskipun lebih dari separuh menunjukkan tingkat toleransi dan penghargaan yang cukup tinggi.  Alangkah lebih baiknya siswa yang mempunyai antusias yang bagus ini diberi penghargaan yang membuat siswa (anak) tetap mempertahankan dan menjaga sikap toleransi yang sudah terpupuk dalam kehidupannya.
Ada sebuah pengalaman yang patut kita jadikan pelajaran, khususnya bagi siswa. Bicara soal pengalaman seorang siswa, ada sebuah kejadian yang patut kita ambil hikmahnya. Ada seorang anak (siswa) yang bersekolah di SMPN 12 Palembang (semester 1) kemudian berpindah sekolah ke SMPN 2 Sungailiat Bangka, dari kedua SMP tersebut ada banyak perbedaan yang dirasakan, terutama dalam soal latar belakang asal daerah dan agama siswanya. Di SMPN 12 Palembang rata-rata semua siswa asli dari Palembang serta beragama Islam, akan tetapi di SMPN 2 Sungailiat sangat beragam. Ada yang keturunan Palembang, Bangka asli, Batak, Cina, Jawa, Sulawesi, Riau bahkan Belanda, serta beragama Islam, Katolik, Protestan, Konghuchu, dan Budha. Kondisi tersebut tidak membuat siswa terpecah belah, meski tetap ada “insiden” kecil yang lebih mengarah ke kenakalan remaja, seperti menyebut marga atau perbedaan secara fisik. Namun secara umum semua itu malah membuat siswa lebih dekat dan tidak pernah mempermasalahkan asal usul nenek moyang atau agama yang dianutnya. Terus terang “perbedaan” dan “keragaman” itu menimbulkan kesan yang sangat mendalam bagi siswa dan hal ini membuktikan bahwa perbedaan itu memang indah, akan tetapi hamper semua orang tidak menyadari akan hal itu.
Menurut William terdapat contoh sikap toleransi antar umat beragama saat kegiatan keagamaan di sekolah yang pernah dia temui dan teliti, ada siswa rohani kristen terlihat khusu melaksanakan kegiatan keagamaan yang berbarengan dengan pesantren Ramadan. Sementara siswa muslim mengikuti pesantren kilat, siswa non muslim melakukan kegiatan Rohani Kristen (Rokris) keduanya melaksanakan kegiatan pada hari dan waktu yang sama. Suara puji-pujian diiringi alunan musik jelas terdengar di salah satu ruang aula laboratorium SMAN 12 Bekasi, di ruangan lainnya puluhan siswa muslim asyik dan khusyuk menerima materi tentang keagamaan. Sebanyak puluhan siswa non-muslim terlihat berdiri menyanyikan lagu puji-pujian, tiga siswa memegang gitar berada paling depan, mengiringi teman-temannya yang terlihat khusyuk menendangkan lagu puji-pujian pada Tuhan Yang Maha Esa. Tak lama berselang, seorang siswa serta merta memberikan pidato tentang keagamaan dan dilanjutkan dengan puji-pujian berikutnya. Ketua Rokris SMAN 12 Bekasi Wiliam kepada Radar Bekasi menuturkan, kegiatan ini dilakukan untuk menghormati umat muslim yang sedang melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadan ini. “Sebagai penghormatannya, mereka juga mendoakan umat muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa agar diberikan kekuatan,” jelas Wiliam.
Dilain pihak, siswa-siswi Rokris juga mendapatkan materi tentang keagamaan seperti Iman kepada tuhan, mencintai sesama umat manusia serta pentingnya saling menolong dan menghargai antar umat beragama. “Kita selalu menghargai antar umat beragama, setiap manusia itu baik, hanya terkadangmanusianya saja yang selalu menyalah gunakan kebaikan dari sebuah agama itu,” tutur Wiliam.
Kendati melakukan kegiatan di lokasi dan waktu yang berbarengan, kegiatan berjalan aman dan tenang, siswa-siswi muslim tetap melakukan ibadah puasa dan kegiatan sanlat dengan siswa Rokris melakukan kegiatan yang serupa (keagamaan.red) dengan tenang dan nyaman. Saya rasa dengan adanya kegiatan pesantren ramadan dan juga kegiatan rokris ini bukan berarti memecah belahkan antar umat beragama, tapi menyatukan kerukunan antar umat beragama, yaitu dengan saling toleransi. Dengan kegiatan seperti ini, siswa muslim mendapatkan pendalaman agama melalui kegiatan pesantren ramadan, sedangkan siswa non-muslim mendapatkan materi melalui kegiatan Rokris.
            Contoh di atas merupakan contoh yang patut dipelajari, bersikap toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan konflik agama. Semuanya harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi sosial. Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali silaturahmi antarumat beragama dan menjaga hubungan yang baik dengan manusia lainnya. Contoh di atas ini bisa diterapkan dalam pengaplikasian dan pemupukan sikap toleransi dalam kehidupan siswa.
Jika dipandang dari agama saya (Islam), seperti yang tertera dalam Quran surat Yunus ayat 99 bahwa Tuhan tidak menciptakan seluruh umat manusia secara eksoterik menganut satu agama. Seperti yang tersirat dalam surat al-kafirun ayat 2-6 yang artinya “…..aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk mullah agamamu dan untukkulah agamaku” surat di atas menandakan bahwa adanya toleransi dalam agama dan saling menghormati satu sama lain.
Sebagai agama dengan ajaran yang bersifat universal, agama Islam sangat menekankan nilai-nilai kemanusiaan. Kemanusiaan adalah satu. Manusia bukanlah berasal dari sat orang pertama, akan tetapi juga berasal dari suatu kehendak yang menciptakannya, yakni kehendak tuhan. (QS Al-An’am: 98 & Qs Al-A’raf:198)
Toleransi beragama harus dikembangkan dalam bangku sekolah dasar agar tidak ada lagi konflik yang terjadi antara siswa.  Akan tetapi cara pengajarannya harus tepat dan tidak ada kesalah pahaman, karena cara tradisional pengajaran agama di bangku sekolah dasar telah dikritik karena menekankan aspek teologis dan ritual, sementara mengabaikan aspek-aspek sosial, interaksi yaitu horizontal dan toleransi antar pengikut agama yang berbeda. Padahal interaksi social sangat penting untuk mengaplikasikan sikap toleran yang kita miliki.
Ada beberapa faktor yang perlu dicermati sehubungan dengan terjadinya konflik social yang terjadi dikalangan siswa yang membonceng faktor etnis dan agama dibelakangnya. Pertama, kita harus menyadari bahwa gerakan etnis merupakan sebuah gerakan yang muncul sebagai respons dari adanya proyek modernisasi yang berporos pada kapitalisme dan budaya manusia yang berdasarkan pada teknologi modern, tatanan komunikasi dan informasi yang juga melahirkan model baru homogenitas seluruh dunia.
Kedua, konflik etnis terjadi akibat rapuhnya institusi Negara yang menaungi kemajemukan masyarakat. Negara sudah tidak mampu lagi memberikan dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, sementara struktur alternative yang memuaskan belum tersedia. Sebelumnya system kekuasaan yang dalam kurun waktu tertentu mampu mengendalikan kekuasaan terhadap kelompok-kelompok yang terpisah. 
Contohnya banyak konflik kekerasan dan kerusuhan, agama (keberagamaan) acap kali diikutkan dan bahkan telah menjadi salah satu pemicunya. Kenyataan tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan: benarkah agama dan keberagamaan agama memiliki andil dalam merebaknya budaya kekerasan (culture of violence) diberbagai bagian dunia, termasuk yang terjadi di Indonesia disebabkan berbagai kepentingan dan kesenjangan social yang mengatasnamakan agama? Jawabannya tetaplah bahwa agama tidak mengajarkan konflik dan kekerasan. Agama selalu mengajarkan perdamaian dan kerukunan. Baik itu agama islam, Kristen, hindu, budha dan agama lainnya.
Agama atau keberagaman masyarakat ketika berpapasan dengan modernitas tampaknya tidak bisa menghindarkan diri dari benturan-benturan akibat perubahan social. Manusia sebagai umat beragama juga harus menghadapi dilemma-dilema yang pelik menyangkut benturan agama dan perubahan social. Mereka yang masih mempertahankan ajaran agama secara secara puritan justru terpencil dari interaksi masyarakat global. Bahkan mereka di cap sebagai kaum fundamentalis yang dapat ditafsirkan sebagai kelompok yang kurang fleksibel dalam memandang ajaran agama, sehingga tidak mau menerima realitas-realitas dalam perubahan social.
Sering kali kebanyakan umat beragama, termasuk pemerintah dan tokoh-tokoh agama, kurang peka terhadap potensi dan gejala konflik. Baru setelah potensi itu menjadi gelombang konflik yang multi dimensional, umat dan tokoh-tokoh agam merasa kebingungan dan kerepotan. Padahal sebelumnya telah terbit puluhan buku, hasil penelitian dan pemberitaan yang memperingatan akan bahaya persatuan akibat konflik agama dan etnis. Bahkan memperingatkan bahwa di penghujung abad ke-20 dunia dan media masa tidak lagi menyebut ideology komunisme atau nasionalisme sebagi ancaman dan sumber konflik, melainkan telah bergeser pada gerakan keagamaan dan sentiment yang sangat militan.
Indonesia sebagai Negara dan bangsa keempat terbesar di muka bumi, dengan tujuh belas ribu pulau, besar dan kecil yang terbentang dari sabang sampe meroke seperti dari Lebanon dan inggris sampai ke Taheran di Iran. Berangkat dari kondisi objektif sering terjadinya kerusuhan social dan gejala konflik yang mengatasnamakan agama, maka dapat dicari akar masalahnya yang secara general dapat dirumuskaan. Solusinya adalah mendidik anak-anak generasi penerus dengan baik, agar tidak ada lagi konflik yang terjadi dan anak siap menghadapi perbedaan bahkan konflik ketika sudah dibekali ilmu agama yang banyak dan bisa bermanfaat.
Semua agama mengajarkan humanism sehingga semuanya mengajarkan: “jika tuhan memuliakan manusia, mengapa kita selaku penganut agama tidak saling memuliakan” dan semua agama mengajarkan positive thinking (husnu al-zhann). Oleh karena itu, salah satu pesan dibalik kata “kerukunan” yaitu mengembangkan sikap positif terhadap komunitas lain. Kemuliaan dan martabat seseorang akan lebih tinggi bila dia menghormati dan memandang mulia setiap kenaikan yang dikerjakan oleh komunitas lain.
Kerukunan dan toleransi agama wajib dikembangkan dalam bangku sekolah dasar, agar anak (siswa) siap menghadapi zaman peradaban yang sudah berubah drastis. Agar siswa mampu menghadapi perbedaan etnis, agama ataupun budaya yang suatu saat akan menghampirinya.
Sebagai Negara yang mempunyai slogan yang elegan (Bhineka Tunggal Ika) yang memiliki makna yang luar biasa dibalik slogan tersebut. “Berbeda-beda namun tetap satu jua” itulah arti dari slogan Negara kita. Meskipun berbeda-beda etnis, suku, budaya dan agama, akan tetapi kita harus tetap bersatu tanpa adanya konflik yang terjadi pada diri kita, sesuai dengan slogan bangsa kita ini.
Kita bisa belajar dari sebuah pelangi. Meskipun berbeda-beda warna akan tetapi tetap indah. Begitulah perbedaan, perbedaan itu indah namun semua orang tidak menyadari akan hal itu. Berbeda suku, bangsa, budaya, etnis bahkan agama itu bukan salah satu alasan terjadinya konflik dalam kehidupan ini. Meskipun berbeda-beda kita harus tetap saling bertoleransi satu sama lain.




References :
Alwasilah, A.C., The Jakarta Post, October 22, 2011
Alwasilah, A.C. Pokoknya Rekayasa Literasi, Bandung: Kiblat Buku Utama dan Sekolah Pascasarjanah UPI Bandung : 2012.
Alwasilah, A.C.,  pendidikan Umum dan Liberal
Id.wikipedia.org/wiki/Toleransi.
 

Comments
2 Comments

2 comments :

Unknown said...

perbedaan yang membuat dunia Indah... :)

Lala Bumela said...

stance kamu jadinya apa dong? agak susah melacak central klaim kamu nih

Post a Comment