Class review 10


Class review 10
Jumat 4 April 2014
Dapatkah Indonesia merangkul Papua Barat?
            Meneliti sebuah sejarah dan menguak fakta-fakta yang ada dalam sejarah tersebut adalah bukan hal yang mudah, para peneliti harus memberikan fakta-fakta hasil penemuan penelitiannya untuk dijadikan sebuah persentasi. Tidak jauh berbeda dengan saya dan teman-teman seperjuangan yang dimana kita di tugaskan untuk dapat berargumen dalam sebuah artikel S.Eben Kirksey yang isinya sangat fenomenal yang sampai sekarangpun permasalahannya masih dibicarakan. Tak hanya itu ketika kita berargumen maka kita juga harus memberikan bukti yang jelas untuk argument kita sehingga menguatkan argument kita.
            Pada pertemuan kali ini masih membahas tentang bagaimana permasalahan yang ada di Papua Barat dan siapa saja yang terlibat dalam permasalahan tersebut. Permasalahan atau konflik yang ada di Papua Barat dapat kita lihat dari sebuah artikel Eben Kirksey yang dimana ia telah menguak permasalahan-permasalahan yang ada di Papua. Salah satunya adalah Papua ingin merdeka dan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ada beberapa sumber yang saya temukan mengenai permasalahan apa saja dan seperti apa permasalahan mengenai Papua Barat.

            Kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat. Demi persatuan dan pembangunan nasional, oleh John Rumbiak yaitu.
Di papua barat akhir-akhir ini di beritakan terjadi berbagai kekerasan negara yang berakhir dengan pelanggaran hak asasi manusia sebagai respon terhadap berbagai aksi yang dilakukan rakyat Papua Barat untuk menuntut Papua Barat merdeka. Aksi-aksi tersebut sebagai protes terhadap pelanggaran hak menentukan nasib sendiri yang melibatkan masyarakat internasional. Suatu sikap yang menurut rakyat dapat mengakhiri penindasan ditanah Papua serta tindakan untuk menyelamatkan bangsa Papua dari suatu proses pemusnahan. Mulai dari kasus biak berdarah juli 1998” insiden Marauke oktober 1999”. “Timika berdarah Desember 1999”. Insiden Nabire Febuari/Maret 2000”. Jika situasi ini tidak berubah maka akan semakin banyak peristiwa-peristiwa ini terjadi. Puluhan orang telah dibunuh, ratusan orang ditahan secara sewenang-wenang dan disiksa serta belasan lainnya dinyatakan hilang, itu adalah bukan cerita baru, pengalaman selama 38 tahun (1963-2000)integrasi dengan republic Indonesia dengan berbagai operasi militer yang dilakukan telah berakhir dengan ribuan orang Papua dibantai, ditangkap dan dilakukan secara sewenang-wenang dan disiksa, perempuan-perempuan diperkosa. Semua “Crime Agains Humanity in West Papua” itu dibuat demi persatuan Nasional dan Pembangunan.
Mengapa terus terjadi “Crime Agains Humanity in West Papua?”Kebijakan apapun yang diambil oleh suatu pemerintah dimanapun didunia ini terhadap suatu kelompok masyarakat yang dikuasai tidak terlepas dari persepsi yang ada pada penguasa, persepsi itu terbangun dari latar belakang kebudayaan, sejarah dan keinginan-keinginan juga kekhawatiran bagaimana kelompok masyarakat yang ditargetkan itu mesti diatur.  Frantz Fannon seorang Psikiator asal Caribia yang kemudian mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Aljazair dari penjajah Perancis berpendapat bahwa, penjajahan didukung oleh teori-teori kebudayaan yang realisis. Kaum penjajah beranggapan bahwa kelompok yang dijajah tidak berkebudayaan atau kebudayaannya rendah dan oleh karena itu berbagai kebijakan dilakukan untuk memperadabkan sekaligus menaklukkan kelompok masyarakat tersebut.
Dalam kaitan Crime Agains Humanity in West Papua tidak bisa dilihat lepas dari suatu persepsi pemerintah Indonesia terhadap rakyat dan Papua Barat. Pemerintah Indonesia memandang Papua Barat adalah wilayah integral dari Indonesia yang telah direbut dengan darah melalui komando Trikora dibawah pimpinan jenderal Soeharto, mantan presiden RI yang otoriter. Papua Barat juga dilihat sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, dapur masa depan Indonesia. Ali Martopo dalam ceramahnya di aula University Cenderawasih di Jayapura “Irian Jaya adalah dapur masa depan Indonesia”. tetapi Papua Barat juga dipandang sebagai wilayah dimana berlangsung apa yang oleh Jakarta disebut sebagai ‘Gerakan Separatis’ yang dapat membahayakan persatuan bangsa. Penduduk asli Papua ini dipandang sebagai ‘primitif’ dan terbelakang sehingga mereka harus diperadabkan.
Persepsi pemerintah tersebut harus mendasari lahirnya dua kebijakan utama dalam menangani Papua Barat, yaitu militerisme, dan kebijakan-kebijakan pembangunan (transmigrasi, keluarga berencana, turisme, pertanian, pertambangan dan lain lain). Semua itu dilakukan demi persatuan nasional dan pembangunan, kebijakan  ini selanjutnya melegalkan terjadinya Crime Agains Humanity in West Papua ini.
Sejak integrasi Papua Barat kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1963 perang pun di gelar melawan bangsa Papua. Gerakan Papua Merdeka (OPM) menjadi alasan bagi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sekarang TNI pisah dari POLRI, untuk melancarkan operasi-operasi militer diberbagai wilayah di Papua Barat. Secara garis besar akan digambarkan beberapa peristiwa besar yang telah berakibat terhadap terjadinya ‘Crime Agains Humanity in West Papua’.
Periode 1963 – 1969
Masa transisi dimana sesudah kedaulatan Papua Barat, berdasarkan New York Agreement 15 Agustus 1962, dilimpahkan dari pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia dan persiapan menuju ke ‘Act of Free Choice’ pada tahun 1969 pada masa ini pemerintah dan ABRI memasukkan ribuan aparat keamanan dan petugas-petugas pemerintah untuk memastikan bahwa rakyat Papua Barat menjadi bagian integral dari Republik Indonesia bilamana ‘Act of Free Choice’ terjadi, rakyat di intimidasi terjadinya penangkapan dan penahanan di luar hukum, pembunuhan-pembunuhan. Akibatnya hanya 1025 saja dari total 800.000 rakyat Papua waktu itu yang ditentukan oleh pemerintah Indonesia untuk secara terpaksa memilih menjadi bagian dari NKRI.
Periode 1970 – 1984
Perlawanana rakyat Papua yang memprotes hasil Act of Free Choice dalam bentuk berdirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM) menjastifikasi berlangsungnya operasi-operasi militer di wilayah yang di identifikasi sebagai kantong-kantong gerakan OPM, ribuan pasukan militer diturunkan di wilayah-wilayah tersebut. Kebebasan rakyat dipasung dan pembantaian terhadap rakyat pun digelar, operasi-operasi militer tersebut antara lain : kasus Biak (1970/1980), kasus Wamena (1977) dan kasus Jayapura (1970/1980). Kasus 1984 dimana Arnold C. Ap dan Eduard Mofu, dua seniman Papua dibunuh dan 12.000 penduduk kemudian mengungsi ke Papua New Guinea.
Periode 1985 – 1995
Operasi militer untuk menumpas OPM terus dilancarkan aparat keamanan, terutama dikawasan pegunungan tengah Papua Barat . dari semua peristiwa yang terjadi “kasus Timika 1994/1995” yang melibatkan PT. Freeport Indonesia yang dilaporkan keuskupan Gereja Katolik Jayapura dimana 16 orang dibunuh, 4 orang hilang dan puluhan lainnya ditahan dan disiksa serta 5 perempuan ditahan dan diperkosa.
Periode 1996 – 1998
Operasi militer menumpas OPM pimpinan Kelly Kwalik yang menyandera para ilmuan barat di wilayah Mapnduma, pegunungan tengah Papua Barat dalam jangka waktu 1996 – 1998. Menurut ELS-HAM Papua Barat (Mei 1998) drama penyanderaan ini menjadi alasan bagi pihak militer Indonesia untuk kemudian melanarkan operasi militer baik pada waktu penyanderaan, operasi pembebasan sandera dan pasca pembebasan sandera dimana sekitar 35 penduduk sipil dibunuh, 13 perempuan diperkosa, 166 rumah penduduk dan 13 gereja dibakar musnah.
Periode 1999 – 2000
Sejak tumbangnya Presiden Soeharto pada Mei 1998 berbagai tindak kekerasan dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyat Papua Barat yang melakukan hak kebebasan berekspresi dengan berdemonstrasi dan mengibarkan bendera Papua Barat (Bintang Kejora) diberbagai kota di Papua Barat, berbagai Crime Agains Humanity in West Papua mempunyai implikasi baik psikologi, social, ekonomi dan budaya terhadap diri bangsa Papua. Mereka mengalami jiwa yang patah, hilang percaya diri, frustasi, apatis, mengendapkan dendam dan kebencian yang mendalam terhadap pihak yang membuat mereka menderita. Secara social rakyat terpecah belah dan saling tidak percaya satu sama lain, suatu kenyataan yang lain berbagai faktor lainnya yaitu melatarbelakangi mengapa rakyat Papua ini menuntut untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.
Masalah “Crime Agains Humanity in West Papua” pada dasarnya terjadi karena ada suatu persepsi nasional yang bersifat rasis, eksklusif dan penuh kecurigaan terhadap keberadaan orang Papua. Persatuan nasional dan pembangunan telah menjadi dalih yang sangat kuat untuk lahirnya militerisme di Papua Barat yang telah menyebabkan terjadinya Crime Agains Humanity, adalah telah menyebabkan terjadinya rakyat Papua mengalami “A Broken Soul”. Orang Papua harus diakui sebagai suatu kelompok masyarakat yang secara ras berbeda dengan bangsa indonesia lainnya serta harus diterima sejajar dengan yang lainnya.  Pendekatan militer di Papua Barat harus segera dihentikan karena telah menyebabkan terjadinya berbagai “Crime Agains Humanity”, pemerintah Indonesia harus memiliki kemauan politik secara sungguh-sungguh dan membawa keadilan remedy kepada rakyat Papua Barat. Membangun kultur penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dan demokrasi melalui berbagai bentuk pendidikan HAM dan Demokrasi.
Tidak hanya itu, dalam sejarah perkembangan ilmu antropologi, Koentjaraningrat dikenal sebagai perintis ilmu budaya di Indonesia. Ia juga merupakan sosok ilmuan Indonesia pertama yang melakukan penelitian budaya di Papua. Koentjaraningrat tidak hanya mempelajari budaya masyarakat asli Papua, namun ia juga merekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan pendekatan budaya kepada provinnsi yang baru bergabung dengan Indonesia di akhir 60-an. Koentjaraningrat menilai bahwa pendekatan budaya merupakan cara yang paling tepat untuk meng-Indonesiakan Papua sebagai salah satu rpovinsi muda. Hal ini sangat penting karena mengingat Papua memiliki budaya minoritas dan kebangsaan yang berbeda dengan daerah di Indonesia lainnya.
Di tengah peliknya persoalan konflik di Papua saat ini, maka mungkin kita perlu kembali mengingat pemikiran Koentjaraningrat mengenai pendekatan budaya. Oleh karena itulah, maka Forum Kajian Antropologi Indonesia Indonesia (FKAI) serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia (Setwapres RI) menyelenggarakan Koentjaraningrat Memorial Lecture 2011 berjudul “Meneropong Keindonesiaan dalam Kepapuaan: Menuju Dialog untuk Memutus Siklus Konflik dan Kekerasan di Papua” pada tanggal 29 November 2011. Oleh karenanya, Forum Koentjaraningrat Memorial Lecture 2011 tidak hanya hadir untuk mengenang pemikiran Koentjaraningrat tetapi juga menelaah kembali gagasan-gagasan yang dibawa Bapak Antropologi Indonesia itu untuk memperbaiki hubungan Indonesia dan Papua. Bukan tidak mungkin bahwa kekerasan dan konflik terus berlangsung di Papua karena dilupakannya pendekatan kebudayaan yang memanusiakan Orang Papua seperti yang digagas Koentjaraningrat dahulu. 
Konflik Papua telah menorehkan sejarah panjang di Indonesia. Muridan S. Widjojo melihat bahwa konflik Papua yang berlangsung selama 49 tahun disebabkan oleh digunakannya pendekatan keamanan dengan sangat kuat untuk menghadapi sikap kritis Orang Papua. Negara disimbolkan dengan kekerasan bukan kesejahteraan; karena tingkat pelayanan dan fasilitas dasar seperti kesehatan, pendidikan dan pemberdayaan ekonomi diabaikan. Oleh sebab itulah, Muridan menyatakan bahwa keindonesiaan diangap sebagai antitesis dari ideal kepapuaan yang dimimpikan oleh banyak orang asli Papua. Meutia Hatta dan Phil Erari meyakinkan bahwa sejarah masuknya Papua menjadi bagian dari Negara Indonesia merupakan sebuah titik awal lahirnya konflik yang berkelanjutan hingga kini. Phil Erari bahkan menilai bahwa proses bergabungnya Papua dengan Indonesia diwarnai oleh tindakan penyimpangan, manipulasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang memilukan.
Negara tidak mempertimbangkan nilai budaya masyarakat asli Papua, sebaliknya kekerasan dan operasi militer mendominasi kebijakan negara di tanah paling timur Indonesia ini. Sebelum reformasi, tidak ada pendekatan budaya yang coba dilakukan negara untuk mengkonstruksi jiwa kebangsaan Orang Asli Papua sebagai bagian dari Indonesia. Abdurrahman Wahid merupakan presiden pertama yang mendekati Masyarakat Papua dengan penghargaan terhadap nilai kultur Papua. Beliau mengakui Bendera Bintang Kejora sebagai lambang kultur Masyarakat Papua. Hal ini sangat bertolak belakang dengan situasi saat ini yang menilai bahwa Bendera Bintang Kejora merupakan lambang separatis Orang Papua. 
Phil Erari menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan pendekatan baru untuk mengatasi persoalan konflik di Papua. Pendekatan baru ini tentu saja disesuaikan dengan situasi budaya Papua. Gambaran budaya Papua diperlukan untuk memahami secara baik bagaimana karakter asli Orang Papua, sehingga dapat dibuat sebuah kebijakan yang diterima dengan baik oleh masyarakat. Dengan demikian, intensitas konflik pun semakin lama akan semakin menurun dan menghilang. Namun begitu, membaca kultur Masyarakat Papua tidak lah mudah karena kebudayaannya yang sangat kaya. Agapitus Dumatubun menyatakan bahwa empat zona ekologi di Papua turut mempengaruhi terbentuknya budaya yang berbeda. Budaya itu terklasifikasi menjadi lima sebaran wilayah budaya dengan empat tipe kepemimpinan masyarakat yang berbeda. Dumatubun menyatakan bahwa nilai budaya tersebut dapat menjadi kerangka membangun sistem pemerintahan yang baik di Papua, misalnya terkait dengan pembagian dan pemekaran wilayah pemerintahan. Pendekatan kebudayaan ini juga penting untuk menentukan alat mediasi bagi pemerintah untuk berdialog dengan Masyarakat Papua. 
Dialog merupakan cara non-militer yang baru-baru ini ditawarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 9 November 2011. Dialog dapat menjadi pendekatan baru yang mungkin saja selama ini dibutuhkan oleh negara dan Papua untuk menghapus konflik diantara mereka. Masyarakat Papua sesungguhnya merupakan masyarakat berdialog karena segala sesuatu yang penting dalam kehidupannya ditentukan secara damai dalam dialog. Sebagai contoh, suku-suku di Papua menentukan proses adat berperang dengan dialog antar suku sebelumnya yakni mengenai kapan perang akan dimulai dan kapan akan dihentikan. Merujuk pada nilai budaya Masyarakat Papua tersebut, maka sesungguhnya dialog dapat menjadi cara yang baik untuk memperkuat keindonesiaan di Papua. 
Lalu dialog apa yang dapat dibangun oleh Jakarta dan Papua? Forum Koentjaraningrat Memorial Lecture 2011 mencatatkan setidaknya terdapat lima hal terkait Budaya Papua yang yang perlu tercerminkan di dalam dialog. Pertama, dialog harus mampu mempertahankan identitas-identitas kultural dan posisi-posisi politik yang berlawanan sebagai sesuatu yang wajar. Unsur-unsur representasi, format, mekanisme, dan agenda dialog harus merupakan kesepakatan pihak-pihak yang berkonflik. Kedua, dialog harus mampu membuka ruang gerak kultural Orang Papua yang lebih besar. Ketiga, pemerintah harus menyadari wujud keragaman persepsi kultural Masyarakat Papua mengenai cara dan mekanisme dialog politik. Keempat, perlu diwujudkan sebuah dialog yang mengarah kepada tercapainya proses rekonsiliasi dan proses permintaan maaf atas kesalahan di masa lalu oleh pemerintah maupun masyarakat Papua. Kelima, dialog harus mampu merekonstruksi paradigma negara yang melihat Papua selalu sebagai bangsa separatis yang mengusik keutuhan Negara. Dengan lima poin tersebut maka Forum Koentjaraningrat Memorial Lecture 2011 telah membungkus dialog sebagai sebuah alat penyelesaian konflik Papua yang sarat dengan pendekatan cultural.
Pada minggu lalu saya dan teman-teman sekelompok saya dimana ada waktu luang yang secara bersamaan kita semua kumpul untuk mendiskusikan sebuah artikel “Don’t Use youre Data as Pillow” yang dimana sekarang kita harus bisa memberikan pendapat terhadap artikel tersebut. Lebih dari 5 kali kita mendiskusikannya, Sebelumnya saya hanya menuliskan rangkuman dari paragraf ke paragraf dan ini adalah hasil dari diskusi saya dan kelompok saya.
Paragraf 1: Sebuah pesta oleh salah satu salah satu pekerja HAM untuk penulis, untuk menandai akhir penelitiannya di Papua.
Paragraf 2: Alasan penulis datang ke Papua.  Namun pada akhirnya penulis tertarik dengan hal lain yang terjadi di Papua.
Paragraf 3: Penulis baru dapat memahami mengapa banyak orang Papua yang ingin merdeka, bukannya sebuah reformasi.
Paragraf 4:  penulis melakukan perjalanan ulang ke Papua Barat, ia juga mencatat apa yang terjadi di Papua Barat dan di terbitkan kedalam cetakan harian. Tak hanya itu dia juga mendapatkan teman dari berbagai bangsa dan menemukan hal-hal baru, ia juga mengetahui bahwa militer indonesia secara sembunyi-sembunyi mendukung Papua Barat untuk merdeka.
Paragraf 5: Oleh penduduk Papua, penulis dianggap sebagai sekutu yang sangat potensial sehingga banyak diantara orang Papua yang mencarinya untuk dijadikan sekutu.  Pada akhirnya penulis juga merasa bahwa dirinya sudah terlibat jauh serta cukup memahami apa yang sebenarnya terjadi di Papua.
Paragraf 6: Kembali berbicara mengenai pesta perpisahannya, dimana penulis dapat berkenalan dengan salah satu anggota KOMNAS HAM dari Papua, yang bernama Telys Waropen.  Pada paragraf ini pula penulis mengungkapkan beberapa hal tentang Telys Waropen.
Paragraf 7: Penulis menuliskan lebih tentang asal-usul daerah dari Telys Waropen, yaitu sebuah daerah yang pernah dilanda konflik yaitu Wasior.
Paragraf 8: Menceritakan tentang pengalaman penulis ketika meneliti di Wasior.
Paragraf 9: Menceritakan tentang keinginan dari penulis yang ingin mewawancarai dukun yang berada di dekat gunung.
Paragraf 10: Kembali lagi pada pesta perpisahannya.  Penulis menganggap bahwa teman barunya tersebut (Telys Waropen), merupakan sumber yang sangat penting yang dapat memenuhi kekosongan dalam penelitian penulis.
Paragraf 11: Penulis berpendapat untuk menyembunyikan narasumber, namun Waropen berpendapat sebaliknya, Waropen berpendapat bahwa “tidakkah sebuah data akan lebih kuat jika penulis mencantumkan nama dari sumber tersebut.
Paragraf 12: Penulis mendapatkan saran dari teman dan pembimbingnya untuk menjaga kerahasiaan dari sumber-sumbernya, ini dilakukan untuk mendapatkan pengecualian dari dewan lembaga review yang ada di universitasnya.  Penulis berpendapat bahwa melakukan penelitian di Papua telah membawanya pada kesimpulan bahwa menjaga menjaga narasumber tetap rahasia tidak hanya untuk melindungi mereka (narasumber) dari omong kosong birokratis, tetapi juga untuk menghapus identitas mereka sama sekali.
Paragraf 13: Pandangan orang terhadap koran atau majalah yang tidak mencantumkan nama dari narasumber.  Mencantumkan nama dari narasumber untuk menghindari penulis yang nakal (tidak etis), dan mencegah penyebaran informasi yang salah.
Paragraf 14: Penulis menunjukkan kepada Waropen bagaimana sebuah wawasan dari budaya kritis dan paska teori strukteral yang mungkin dapat menyegarkan pandangan pada konflik di wilayah Papua Barat.
Paragraf 15: Ketika perbincangan dengan Waropen memanas, penulis memberikan alasan mengapa dia tidak menuliskan nama dari narasumbernya.  Penulis berkata “ sungguh ada kasus dalam HAM yang telah dilaporkan dimana narasumber harus dilindungi.
Paragraf 16: Disadari oleh penulis, bahwa saat dia berbincang-bincang dengan Waropen penulis secara tidak langsung telah diprovokasi oleh Waropen.
Paragraf 17: Penulis ditanya dan didorong oleh Waropen untuk menjadi penulis yang lebih baik dan lebih autoritatif dalam memahami cultural anthropology.
Paragraf 18: Penulis sudah mempublikasikan beberapa artikel mengapa papua barat. Waropen mendorong penulis untuk bertindak bukan hanya menulis dan mempublikasikan masalah, tetapi harus melakukan perubahan untuk mengatasi fakta-fakta yang ada.
Paragraf 19: Saat penulis dan Denny di Wasior mereka meneliti rumor yang menghubungkan BP dengan kekerasan yang terjadi baru-baru ini. Penulis di paragraph ini menebak siapa saja yang terlibat dalam kekerasan yang terjadi.
Paragraf 20: Penulis berhasil mewawancarai Papua double-agent “perjuang kemerdekaan” dari wawancara tersebut penulis mengetahui dan berhasil mengaitkan rumor kekerasan yang terjadi di Wasior dengan peroyek BP.  Agen ganda merasa khawatir akan keselamatan dirinya karena mengetahui terlalu banyak rahasia kerja sama antara militer dan BP.
Paragraf 21: Dua minggu setelah Waropen menuntut penulis, tepatnya akhir mei 2003 Rumbiak meminta penulis untuk bergabung dengan pertemuan di London sehingga penulis bisa menyajikan temuan-temuannya tentang kekerasan milisi di Wasior
Paragraf 22: Saat di London penulis bertemu dengan Rumbiak, mereka tersesat saat menuju pertemuan dengan BP mereka terlambat 20 menit. Saat diperjalanan mereka menceritakan perjalanan yang telah dilakukan.
Paragraf 23: Paragraf ini menceritakan keadaan penulis saat dipertemuan BP dengan CFO Byron Grote dan John O’Reilly yang menjadi senior wakil president BP untuk Indonesia
Paragraf 24: Paragraf ini menceritakan keadaan saat diskusi, penulis menyajikan pesan yang jelas kepada Dr. Grote dan John O’reilly.
Paragraf 25: Dr. Grote mengatakan kekerasan tidak baik untuk bisnis dan yang baik adalah membangun kerjasama.
Paragraf 26: Rumbiak meminta penulis untuk mempresentasikan temuannya di Wasior. Penulis pun mengemukakan temuannya dengan jantung berdebar-debar.
            Dan ini adalah hasil rangkuman dari keseluruhan paragraph menurut pendapat saya dan kelompok saya. Sebelum kami merangkum, disini kami terlebih dahulu akan menyebutkan siapa saja atau pihak mana saja yang terkait.
1.      S. Eben Kirksey sang penulis artikel.
2.      Denny Yomaki, a human rights worker .
3.      Telys Waropen a member of Komnas HAM, the National Human RightsCommission.
4.      Dr. Byron Grote, the Chief Financial Officer (CFO).
5.      John O’Reillywas BP’s Senior Vice President for Indonesia.
6.      Richard Gozney British Ambassador.
7.      John Rumbiak, a Papuan human rights defender.
8.      Polisi Indonesia.
9.      Militer Indonesia.
10.  Pejuang kemerdekaan ( OPM ).
11.  Agen ganda.
12.  BP ( British Petroleum ).
13.  Pemerintah Indonesia.
14.  Pemerintah Inggris.
15.  Pemerintah Amerika Serikat.
Penulis adalah seorang mahasiswa S2 yang datang ke Papua untuk meneliti tentang musim kering yang pernah melanda Papua.  Namun, sangat disayangkan ketika penulis datang ke Papua kemarau di sana sudah berakhir.  Penulis tidak mungkin langsung pulang ke negri asalnya dengan tangan kosong.  Bisa jadi penulis memutuskan untuk tetap tinggal di sana, hingga akhirnya penulis menemukan sebuah fakta yang menarik yang terjadi di Papua.
            Di Papua penulis melakukan penelitian mengenai kekerasan yang terjadi di sana.  Tentu tidak mudah untuk menyelidiki hal tersebut, tanpa bantuan dari penduduk lokal.  Selama tinggal di sana selama kurang lebih lima tahun penulis telah mewawancarai lebih dari 350 orang.
Selama penelitian tersebut penulis menemukan beberapa hal yang membingungkan, seperti:
·         Adanya pihak yang disatu sisi saling bertentangan, namun disisi lain ada rumor yang mengatakan bahwa mereka saling kerjasama.
·         Keterkaitan antara perusahaan multi-nasional yang ada di sana dengan pihak yang bertikai.
·         Tempat terjadinya keributan yaitu Wasior.
Meskipun pada awalnya penulis merasa bingung, namun pada akhirnya penulis dapat mengerti keterkaitan dari semuanya itu.  Penulis berpendapat bahwa melakukan penelitian di Papua telah membawanya pada kesimpulan bahwa menjaga narasumber tetap rahasia tidak hanya untuk melindungi mereka (narasumber) dari omong kosong birokratis, tetapi juga untuk menghapus identitas mereka sama sekali.
Setelah selesai melakukan penelitian di Papua, tiba saatnya bagi penulis untuk mengungkapkan hasil temuannya tersebut.  Ketika penulis mengungkapkan hasil penelitiannya tersebut, penulis berkesempatan mengenal beberapa orang penting dari British Petroleum ( BP ).  Dalam kesempatan ini penulis berniat untuk membantu Papua untuk terbebas dari Indonesia, dalam kesempatan kali ini penulis pun membantu salah satu aktivis HAM yang mengajaknya dalam rapat tersebut, John Rumbiak, namun ternyata salah seorang dari petinggi BP mengatakan bahwa keributan yang terjadi di sana adalah bukan lah skenario dari BP. Namun hal tersebut bertentangan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh salah satu narasumber (salah seorang militer) yang diinterview penulis.
Jadi kesimpulannya adalah dimana konflik Papua Barat sampai saat ini masih belum terselesaikan pemerintah Indonesia masih belum bisa menyelesaikan dan belum bisa menindonesiakan Papua Barat untuk menjadi bagian dari Indonesia tersebut. Dan pada artikel dari S Eben Kirksey yang berjudul “Don’t Use Your Data as a Pillow” yang diman penulis pada awalnya adalah hanya untuk meneliti kekeringan El Nino yang terjadi di Papua Barat tetapi hasil penelitiannya berbanding terbalik dengan rencana awal yang dia akan lakukan. Ia justru terlibat dalam kasus-kasus Papua Barat, tidak hanya itu saja ia juga mendapatkan berita lain tentang peristiwa yang dialami bangsa Indonesia. Lalu sampai kapankah masalh atau konflik Papua ini akan berakhir?
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment