Class Review 8



“Kehidupan Layak yang dirindukan Si Hitam dan Keriting”
(By : Hanifatus Sholihah)
Mentari pagi, bersinar lagi. Menampakkan cahayanya yang mampu menerangi dunia, menghangatkan seluruh jiwa-jiwa manusia yang berada dalam suasana suka maupun duka. Satu statement yang bisa saya katakan untuk saat ini adalah “welcome back, welcome again.” Setelah sekian lama kelas kita vakum dari mata kuliah Writing and Comprehension 4, setelah sekian lama tertidur lelap, terpenjara, terjebak dalam mulut ikan paus serta setelah sekian lama dirundung kegalauan, akhirnya kita bisa berkumpul, belajar dan bersua dan mengeksplor diri bersama Mr Lala Bumela lagi.
Pagi hari ini, tepatnya tanggal 25 April 2014 pada hari jum’at pukul 06.00 WIB, kami seperti orang yang mati suri (sekian lama tidur, lalu terbangun) dan bagaikan seorang bayi yang baru saja dilahirkan ke muka bumi ini, yaitu dalam keadaan suci, fresh dan tanpa dosa, kita mulai lagi berpetualang, bertarung melawan segala bentuk rintangan yang menghadang bersama master kita, Mr Lala Bumela.
Kita mulai bekerja keras, bergelut dalam dunia yang banyak sekali tantangan yang mengahadang didepan, dan bagaimana caranya kita bisa survive dan bisa selamat setelah adanya seleksi alam.
Pada hari ini, saya harus banyak membuka buku, banyak searching informasi mengenai Papua, aspek-aspek yang bersangkutan dengan yang terjadi di Papua, konflik-konflik Papua, serta keterkaitan Papua dengan artikel Eben Kirksey yang berjudul “Don’t Use Your Data As a Pillow”. Berdiskusi bersama kelompok saya (Alifah, Astri, Eva, dan Evi).
Dalam kelompok saya, membahas bersama-sama apa sih Papua itu, Mengapa Papua sempat berubah nama menjadi Irian Jaya, apa hubungannya Papua dengan “British Petroleum”, NKRI, PEPERA, Agresi Militer Belanda 1 dan 2, TRIKORA, dan lain-lain.

Namun, sebelum membahas secara detail detail tentang masalah artikel Eben Kirksey “Don’t Use Your Data As a Pillow” saya ingat akan beberapa “Trivia Quiz” yang harus saya jawab dari beberapa pertanyaan tersebut adalah:
1.      What is West Papua ? And where is it located?
Papua adalah provinsi yang paling luas di Indonesia yang terletak di bagian tengah pulau Papua atau bagian paling timur dari Irian Jaya. Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya Barat) adalah sebuah provinsi dari Indonesia yang terletak di bagian barat pulau Papua. Ibu kotanya yaitu Manokwari. Nama provinsi ini sebelumnya adalah Irian Jaya Barat yang diterapkan dalam Undang-Undang No.45 tahun 1999. Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 24 tahun 2007 pada tanggal 18 April 2007, nama provinsi ini diubah menjadi Papua Barat. Papua Barat dan Papua merupakan provinsi yang memperoleh status Otonomi Khusus. Wilayah provinsi ini mencakup kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah Utara provinsi ini, dibatasi oleh Samudera Pasifik, bagian barat berbatasan dengan provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku. Provinsi Papua Barat ini meskipun telah dijadikan provinsi tersendiri, namun tetap mendapat perlakuan khusus sebagaimana provinsi induknya. Provinsi ini mempunyai potensi yang luar biasa, baik itu pertanian, pertambangan, hasil hutan maupun pariwisata. (id.wikipedia.org/wiki/papua)
2.      What the differences can you spot between Papua and Irian Jaya?
Pada masa kolonial Hindia – belanda, Papua dikenal dengan nama Nugini Belanda (Nederlands Nieuw – Guinea), kemudian setelah Nugini Belanda lepas dari kolonial, namanya diubah menjadi Irian Barat pada tahun 1969 sampai 1973. Pada pemerintahan Soeharto, nama Irian Barat itu diubah kembali menjadi Irian Jaya dan diresmikan pada tahun 2002. Singkat cerita, nama Irian Jayapun diubah kembali menjadi Papua. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2003, tepatnya pada kepemimpinan Soeharto, pemerintah membagi Papua menjadi dua, yakni Papua dan Irian Jaya Barat. Papua adalah wilayah bagian timur dan Irian Jaya Barat adalah Papua bagian barat. Jadi, Papua adalah nama pulau setelah perubahan nama Irian Jaya yang diresmikan pada tahun 2002, sedangkan Irian Jaya adalah nama Papua yang dirubah oleh Soeharto (www.wordpress.com)
3.      In what year the land called Papua integrated into NKRI?
Pada tanggal 31 Desember 1962, bendera Belanda diturunkan di wilayah Papua Barat dan sebagai gantinya dikibarkanlah bendera Indonesia berdampingan dengan bendera PBB (UNTEA).
4.      What is TRIKORA?
Sejarah Peristiwa TRIKORA
Tindakan Belanda dengan mendirikan negara “Boneka” Papua itu merupakan sikap yang menantang kepada bangsa Indonesia untuk bertindak cepat. Oleh karena itu, pemerintah segera mengambil tindakan guna membebaskan Irian Barat.
Dalam rangka mempersiapkan kekuatan militer untuk merebut Irian Barat, pemerintah republik Indonesia mencari bantuan senjata kepada luar negeri. Pada mulanya pembelian senjata diharapkan berasal dari negara-negara Barat terutama pada negara Amerika Serikat. Namun, harapan itu tidak terwujud. Kemudian pemerintah mengalihkan pembelian senjata kepada negara-negara komunis dibawah pimpinan Uni Sovyet. Pada tanggal 19 Desember 1961, presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat yang dikenal dengan nama Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dilaksanakan di Yogyakarta, isinya adalah sebagai berikut:
a.       Gagalkan pembentukan “Negara Boneka” Papua bentukan kolonial Belanda.
b.      Kibarkan sang saka merah putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
c.       Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Dengan dikeluarkannya Trikora, maka mulailah konfrontasi total terhadap Belanda dan pada bulan Januari 1962 pemerintah membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makasar. Realisasi pertama dari Trikora adalah pembentukan Komando Operasi Militer (Komando Mandala) yang dibentuk pada tanggal 2 Januari 1962 dengan komandannya Mayjen Soeharto. (http://cv-teknologi.blogspot.com/2014/01/peristiwa-tri-komando-rakyat-trikora.html)
5.      What are the roles of Soekarno in the integration of Papua into NKRI?
Soekarno melakukan Perundingan Linggarjati, KMB (Konferensi Meja Bundar), Perjanjian Renville, dan KAA (Konferensi Asia Afrika) untuk memerdekakan Papua agar masuk ke wilayah NKRI. Perjuangan Bung Karno ini membuahkan hasil. Pada tanggal 15 Agustus 1962, Indonesia – Belanda menandatangani NewYork Agreement yang difasilitasi oleh PBB. Untuk maksud itu, dibentuklah Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA). Selain itupun, Soekarno menjalankan Trikora sebagai langkah awal pelaksanaannya adalah pembebasan suatu komando operasi, yang diberi nama “Komando Mandala Pembebasan Irian Barat” sebagai panglima komando adalah Brigjen Soeharto yang kemudian pengkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal. (http://indomiliter.mywapblog.com/trikora-operasi-pembebasan-irian-barat-xhtml)
6.      What did the Dutch Colonial do in Papua?
Lamanya penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama dengan lamanya penjajahan Belanda di Papua Barat. Indonesia dijajah oleh Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Papua Barat, secara politik praktis dijajah oleh Belanda selama 64 tahun (1896-1962) (Anneahira.com). Pada awal pemerintahan Belanda di Papua sejak tahun 1896, tak seorangpun warga pribumi membentuk gerakan anti Belanda sehingga tak seorangpun dibunuh sehingga terjadi kehidupan yang harmonis.
Hal ini sebagai bukti (evidence) nyata bahwa rakyat Papua tidak merasa pernah dijajah oleh Belanda seperti daerah Indonesia yang lain. Namun, pada saat pemerintahan Jepang, banyak rakyat pribumi yang disiksa, dipotong tangannya, serta dibunuh.
7.      What are the roles of US-UN (United State – United Nations) and our neighbouring countries in the Papua conflicts?
Presiden Amerika Serikat yang baru saja terpilih yaitu John Fitzgerald Kennedy merasa risau dengan perkembangan yang terjadi di Irian Barat. Dukungan Uni Sovyet (P.M Nikita Kruscher) kepada perjuangan RI untuk mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda, menimbulkan terjadinya ketegangan politik dunia, terutama pada pihak sekutu (NATO) pimpinan Amerika Serikat yang semula sangat mendukung Belanda sebagai anggota sekutunya. Apabila Uni Sovyet telah terlihat dan Indonesia terpengaruh kelompok ini, maka akan sangat membahayakan Posisi Amerika Serikat di Asia dan dikhawatirkan akan menimbulkan masalah pasifik barat daya. Apabila pecah perang Indonesia dengan Belanda, maka Amerika Serikat akan berada dalam posisi yang sulit. Amerika Serikat sebagai sekutu Belanda akan dicap sebagai negara pendukung penjajah dan Indonesia akan jatuh dalam Uni Sovyet.
Untuk itu, dengan meminjam tangan Sekjen PBB U than, Kennedy mengirimkan diplomatnya yang bernama Eisworth Bunker untuk mengadakan pendekatan kepada Indonesia – Belanda. Sesuai dengan tugas dari Sekjen PBB (U Than), Eisworth Bunker pun mengadakan penelitian masalah ini dan mengajukan usulan yang dikenal dengan “Proposal Bunker”. Adapun isi Proposal Bunker adalah sebagai berikut : “Belanda harus menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu paling lambat dua tahun.
Usulan ini menimbulkan reaksi, seperti :
-          Dari Indonesia : meminta supaya waktu penyerahan diperpendek
-          Dari Belanda : setuju melalui PBB, tetapi tetap diserahkan kepada Negara Papua Merdeka
Lalu, apa yang terjadi dalam Persetujuan NewYork? Setelah operasi-operasi infiltrasi mulai mengepung beberapa kota penting di Irian Barat, sadarlah Belanda dan sekutu-sekutunya, bahwa Indonesia tidak main-main untuk merebut kembali Irian Barat. Atas desakan Amerika Serikat, Belanda bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia melalui persetujuan NewYork.
Isi Pokok Perjanjian:
1.      Paling lambat tanggal 1 Oktober 1962 pemerintah sementara PBB (UNTEA) akan menerima serah terima pemerintahan dari tangan Belanda dan sejak saat itu bendera merah putih diperbolehkan berkibar di Irian Barat.
2.      Pada tanggal 31 Desember 1962, bendera merah putih berkibar disamping bendera PBB.
3.      Pemulangan anggota-anggota sipil dan militer Belanda sudah harus selesai tanggal 1 Mei 1963.
4.      Selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963 pemerintah RI secara resmi menerima penyerahan pemerintahan Irian Barat dari tangan PBB.
5.      Indonesia harus menerima kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapatan Rakyat (PEPERA) di Irian Barat, paling lambat sebelum akhir tahun 1969.
Sesuai dengan Perjanjian NewYork tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara serah terima Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI. Upacara berlangsung di Holandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu, bendera PBB diturunkan dan berkibarlah merah putih, menandai resminya Irian Barat menjadi provinsi ke-26. Nama Irian Barat dirubah menjadi Irian Jaya (sekarang Papua) (info pengetahuan.com)
8.      What is Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan who is finances them?
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah organisasi yang didirikan tahun1965 dengan tujuan membantu dan melaksanakan penggulingan pemerintahan yang saat ini berdiri di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, sebelumnya Irian Jaya, memisahkan diri dari Indonesia, dan menolak pembangunan ekonomi dan modernitas. Organisasi ini mendapatkan dana dari pemerintah Libya, pemimpin  Muammar Gaddafi dan pelatihan dari grup gerilya “New People’s Army” beraliran maosis yang ditetapkan sebagai organisasi teoris asing oleh Departemen Keamanan Nasional Amerika Serikat.
Organisasi ini dianggap tidak sah di Indonesia. Perjuangan meraih kemerdekaan ditingkat provinsi dapat dituduh sebagai tindakan penghianatan terhadap negara. Sejak berdiri, OPM berusaha mengadakan dialog diplomatik, mengibarkan bendera bintang kejora, dan melancarkan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua. Para pendukungnya sering membawa-bawa bintang kejora dan simbol persatuan Papua lainnya., seperti lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dan lambang nasional. Lambang Nasional tersebut diadopsi sejak tahun 1961 sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan bulan Mei 1963 sesuai Perjanjian NewYork (http://id.wikipedia.org/wiki/organisasi-papua-merdeka)
9.      Will you personally support Papua become a newly separates country?
Secara pribadi, saya tidak setuju jika Papua melepaskan diri dari Indonesia. Alasannya karena Papua menjadi salah satu aset yang berharga yang dimiliki Indonesia. Seharusnya Indonesia khususnya rakyat Papua dapat mengeksplorasi kekayaan alam yang terkandung atau dimiliki oleh bumi tanah Papua, sehingga bisa menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara.
Alasan lainnya adalah jika Papua ingin memisahkan diri dari Indonesia, jelas sekali bertentangan dengan prinsip kedaulatan sebuah negara yang sudah 67 tahun merdeka. Tidak ingatkah bahwa untuk memerdekakan Indonesia, kita berjuang mati-matian dan berusaha sekuat tenaga agar merebut Papua dari tangan Belanda.
Disisi lain, banyak sekali tuntutan yang tidak mempunyai hakikat yang jelas. Namun, tuntutan tersebut justru lebih banyak dijadikan alat bagi pihak asing untuk memenuhi kepentingan wilayah dan ekonomi mereka. Walaupun sebenarnya Papua ingi memisahkan diri dari Indonesia karena mereka merasa tidak puas terhadap bangsa Indonesia, mereka merasa dijajah oleh bangsanya sendiri (adanya diskriminasi) antara warga Indonesia (jawa, sunda) dengan warga kulit hitam yang mendapat perlakuan tidak adil (semena-mena) dari TNI-Polri dan BP. Tetapi kedudukan Papua lebih pasti setelah diadakan sebuah referendum “Act of Free Choice”. Pada tahun 1969, dimana rakyat Papua tetap memilih menjadi bagian dari Indonesia namun mungkin untuk sekarang ini tidak lagi.
Setelah Trivia Quiz dapat dijawab, maka diskusi kelompok kami beralih ke Artikel Eben Kirksey yaitu “Don’t Use Your Data As a Pillow” yang jumlah keseluruhannya ada 49 paragraf dan ini telah dibuat rangkuman sebagai berikut:
Pada paragraf pertama, kita bisa lihat dari kalimat pertama yaitu menjelaskan tentang sebuah pesta kecil, namun di papua bisa jadi pesta kecil itu adalah sebuah pesta besar dan mewah, karena kemungkinan orang-orang papua jarang mengadakan suatu pesta.  Pesta tersebut berlangsung beberapa hari sebelum Eben Kirksey mengakhiri penelitiannya yang dilakukan di Papua, bisa dikatakan sebagai pesta duka untuk Eben karena ia akan pergi.  Pesta tersebut diatur oleh Denny Yomaki, pekerja HAM di Papua yang terjadi pada bulan Mei 2003.
Pada paragraf kedua, penjelasannya adalah bahwa pada tahun 1998, untuk pertama kalinya Eben datang ke Papua Barat.  Itu dimaksudkan untuk melakukan penelitian tesis pasca sarjana di New College Florida.  Pada awalnya Eben akan mempelajari tentang kekeringan El Nino, namun ketika Eben datang, hujan turun.  Itu mengakibatkan Eben mengurungkan niatnya meneliti kekeringan.  Bertepatan dengan kekecewaan Eben saat itu, Papua Barat secara resmi dikenal (berganti nama) sebagai Irian Jaya.  Subyek pada hari itu tentang kebebasan (merdeka).  Soeharto, penguasa lama Indonesia baru saja digulingkan oleh gerakan reformasi.  Pada saat itu merdeka adalah gerakan inspirasi untuk kemerdekaan dari Indonesia di Aceh, Papua barat, dan Timor timur, itulah seruan dari nasionalis Indonesia dalam perjuangan mereka untuk bebas dari kolonialisme Belanda.
Pada paragraf ketiga, disini keinginan orang-orang papua untuk mengambil jalan kemerdekaan, bukannya reformasi.  Hal itu kemungkinan agar tidak ada lagi pembantaian militer Indonesia. Hal itu menyadarkan Eben akan keinginan Papua untuk merdeka. Saat munculnya kampanye sistematis genosida, militer di Indonesia terus berdatangan ke Papua. Kejadian ini adalah suatu hal yang telah direncanakan oleh para militer.
Pada paragraf keempat, bermunculan cerita-cerita yang mengejutkan, seperti cerita tentang penyiksaan, tentang peran pemerintah Amerika Serikat dalam mendukung kedudukan militer, dan keinginan mereka untuk merdeka.  Kolaborasi yaitu strategi utama dari gerakan politik adat di Papua Barat daripada resistensi (sikap untuk berperilaku, melawan, atau menentang), seperti perusahaan multi-nasional dan koperasi militer rahasia Indonesia yang memberikan dukungan penuh kepada aktivis kemerdekaan Papua.
Pada paragraf kelima, aktivis HAM mendorong Eben untuk meneliti kampanye terror yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia, dan Eben berfikir dapat menolong orang Papua terbebas dari terror dalam rezim dengan mempelajari dimensi kekerasan.  Pada saat pesta kepergian Eben, ternyata Eben ditentang oleh orang Papua.  Maksudnya adalah orang-orang Papua tidak merelakan Eben pergi dari Papua.
Pada paragraf keenam, menceritakan mengenai suasana pesta kepergian Eben bersama orang Papua dirumah Denny.  Mereka menikmati makanan dan sambil bersantai, serta saling bertukar lelucon dengan memakai logat Papua yaitu bahasa kreol regional.  Pada pesta itu, Denny selaku tuan rumah mengundang Telys Waropen juga, seorang anggota komnas HAM, dan juga seorang penghasut muda diakhir tahun 20an.
             Pada paragraf ketujuh, berbicara tentang Wasior, dimana Wasior adalah tempat polisi Indonesia yang baru-baru ini melakukan serangan berkelanjutan pada dugaan separatis Papua yang bernama “Operasi Penyisiran dan Pemusnahan”.  Waropen adalah berasal dari Wasior. Eben dan Denny telah mngunjungi Wasior, menyelidiki rumor bahwa agen-agen militer Indonesia diam-diam mendukung milisi Papua.
            Pada paragraf kedelapan, masih tentang penelitian di Wasior yang berlangsung dibawah pengawasan intens.  Denny dan Eben menghubungi narasumber, yaitu hanya orang-orang yang sudah mengetahui resikonya apabila menjadi seorang narasumber serta berani menanggung resiko tersebut apabila kemungkinan terlihat sedang diwawancarai oleh peneliti asing untuk kisah mereka.
            Pada paragraf kesembilan, rencana untuk mewawancarai dukun terkenal di pegunungan yang dekat dengan tempat Eben tinggal yang mengklaim bahwa dirinya (dukun) bertanggung jawab atas penyebab gempa bumi dipulau sentral Indonesia Jawa dan untuk menenggak sebuah pesawat yang membawa petinggi militer Indonesia.  Itu termasuk agenda penelitian ambisius yang dilakukan Eben dan Denny, namun gagal karena mereka tidak jadi menghubungi (menemui) dukun.
            Pada paragraf kesepuluh, dipesta Eben mengetahui dan belajar bahwa Telys Waropen telah mempelajari perdukunan wasior untuk tesis sarjana di universitas local.  Dengan begitu Eben bisa belajar tentang dukun tersebut untuk memenuhi penelitiannya, dan waropen adalah sebagai sumber penting untuk Eben.
Pada paragraf kesebelas,  Eben mewawancarai Waropen, dan menjelaskan bahwa Eben akan tetap membuat anonim (tanpa nama) sumber wawancaranya seperti sumber sebelumnya. Waropen mundur dan menanyakan jenis penelitian dan identitas sumber penting yang ada dalam data Eben dan Waropen menyarankan agar mengutip sumber-sumber yang terkait agar data menjadi lebih kuat. Eben mengatakan, pada saat ia akan pergi ke pesta ia telah mewawancarai lebih dari 350 narasumber, dengan politisi papua, korban kekerasan, tahanan politik, pejuang gerilya, aktifis HAM, dan pemimpinnya, bahwa semua sumber wawancara ini telah di anonimkan karena jumlah narasumbernya yang terlalu banyak.
Pada paragraf keduabelas,  Saran dari rekan-rekan dan mentor Eben bahwa ia harus tetap membuat sumber-sumbernya anonim (tanpa nama), terkecuali apabila Universitasnya meminta untuk memunculkan sumber penting tersebut. Setelah melakukan penelitian di Papua Barat, Eben mengambil kesimpulan bahwa menjaga sumber anonim itu bukan hanya sebuah sarana untuk menghindari birokrasi. Dengan menjaga identitas sumber-sumber Eben yang telah di anonim, jelas saja orang Papua seperti Waropen ingin mencantumkan identitasnya sebagai sumber dari penelitian Eben, karena ia ingin diakui sebagai orang intelek dan terkenal. Ini membuat Eben mempertimbangkannya karena ini menyangkut dengan profesionalitas, hukum dan kewajibannya dalam pembuatan tesis ini.
Pada paragraf ketigabelas, bahwa sebuah sumber yang disembunyikan dapat menimbulkan kecurigaan pembaca.  Namun, para jurnalis dan editor memiliki hukum untuk menyembunyikan identitas narasumber, guna melindungi diri dari gugatan pencemaran nama baik, karena ada beberapa hal tertentu yang tidak bisa dipublikasikan.
Pada paragraf keempat belas, yaitu Waropen merupakan salah satu sumber informasi penting untuk penelitian yang dilakukan oleh Eben.  Eben menawarkan beberapa saran untuk mencapai kebebasan di Papua.  Saran Eben tersebut sudah terpikirkan oleh Waropen.  Namun, Waropen tidak mempunyai cukup bukti.  Sedangkan sistem hukum sekarang adalah mengharuskan segala sesuatunya berdasarkan bukti.  Waropen melihat Eben sebagai sekutu.  Tetapi disisi lain, Eben membutuhkan keterangan Waropen untuk penelitian dari Universitasnya.
            Pada paragraf kelima belas, yaitu percakapan antara Waropen dan Eben mulai memanas dan mereka saling beradu argumen mengenai disembunyikan atau tidaknya identitas narasumber.  Bahkan Eben mulai menyinggung mengenai kasus HAM bahwa identitas korban dan saksi dalam kasus HAM pun pastinya harus dilindungi.  Waropen pun bersikeras sehingga mengatakan “Jangan menggunakan data kamu sebagai bantal dan pergi tidur ketika kamu kembali ke Amerika,” Waropen bersikeras.  “Jangan hanya menggunakan ini sebagai jembatan untuk peluang profesional dirimu sendiri.”
Pada paragraf keenam belas, yaitu Waropen menginginkan Eben untuk menjadi seorang ahli regional yang handal (seseorang yang mengetahui hal-hal yang pasti), dengan alasan karena banyak antropolog budaya yang terlalu berhati-hati dalam melakukan penelitiannya, jika researchnya tersebut berhubungan dengan kekuasaan. Setelah kritik yang dilakukan oleh Edward Said (1979), seorang ahli orientalis dan karakteristik Gayatri Spivak (1988) mengenai intelektual kaum liberal membicarakan mengenai kekuasaan. Selain itu, ahli regional sering mengabaikan tuntutan akuntabilitas dari orang-orang yang mereka pelajari (narasumber), sehingga kritikan-kritikan ahli regional yang ditunjukkan kepada para penguasa tidak pernah mendapatkan respon yang serius, dan dianggap sebagai angin lalu saja (tidak penting).
Pada paragraf ketujuh belas, yaitu tentang Waropen yang meminta Eben untuk memikirkan kembali apa yang disebut sebagai “data” dalam antropologi budaya. Karena baru-baru ini Charles Hale (2006) mendesak antropolog untuk mengambil metodologi  positif yang serius dalam setiap penelitian.
Pada paragraf kedelapan belas, yaitu saat Eben bertemu dengan Waropen, dia sudah menerbitkan sejumlah artikel dalam bentuk koran mengenai Papua Barat.  Waropen mendorong Eben untuk menunjukkan fakta dan tindakan nyata dalam tulisannya.  Konfrontasi yang dilakukan oleh Waropen membuat Eben berpikir bagaimana caranya agar dia bisa mulai masuk untuk membawa pengetahuan dan penelitiannya tentang Papua Barat pada dunia.
            Pada paragraf kesembilan belas, yaitu ketika Eben dan Denny pergi ke Wasior, Eben hendak meneliti tentang kekerasan yang terjadi di perusahaan BP.  BP sebelumnya bernama “British Petroleum” kemudian diubah menjadi “Beyond Petroleum”, baru saja mulai mengeksploitasi ladang gas alam di Papua Barat yang diperkirakan akan menghasilkan keuntungan dan hasil yang sangat besar.  Kabarnya, agen militer Indonesia memprovokasi kekerasan dalam upaya konvensional untuk menguntungkan “perlindungan” kontrak.
            Pada paragraf keduapuluh, Eben berhasil mewawancarai dua orang agen Papua. Salah satunya yaitu mengatakan bahwa dia mendapatkan dukungan logistik dan intelijen untuk membunuh para perwira polisi. Wawancara tersebut membuktikan rumor yang menghubungkan kekerasan yang terjadi di Wasior untuk proyek BP. Agen yang sama tersebut mengatakan bahwa seorang perwira militer aktif telah mencoba untuk membunuhnya karena ia tahu terlalu banyak. Dia meminta bantuan Eben untuk melarikan diri, namun Eben tidak bisa melakukan apapun untuk membantunya.
Pada paragraf keduapuluh satuyaitu mengenai seorang John Rumbiak, seorang Papua yang berperan sebagai pelindung HAM, meminta Eben untuk menghadiri sebuah pertemuan di markas London BP (British Petroleum) dengan Dr Byron Grote, Chief Financial Officer (CFO) dari raksasa minyak ini. Dengan menghadiri pertemuan itu, sehingga Eben bisa mempresentasikan hasil penemuannya tentang kekerasan militer yang ada di Wasior.  Secara tidak langsung Eben telah dijadikan sebagai saksi dipertemuan itu.
Pada paragraf keduapuluh dua, yaitu Eben bertemu dengan Rumbiak sebelum menghadiri pertemuan di kantor pusat.  Mereka bercerita tentang pengalaman atau perjalanan terakhirnya dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (L1 & L2) saat mengobrol.
            Pada paragraf keduapuluh tiga, yaitu Eben merasa tersanjung dan terhormat karena bisa bertemu dengan orang-orang yang paling berkuasa di Eropa.
Pada paragraf keduapuluh empat, mengenai Rumbiak yang merasa keberatan jika diskusi tersebut (antara ia dan Eben) tidak direkam.  Dia ingin apa yang terjadi saat pertemuan tersebut direkam untuk ditunjukan kepada rakyat Papua Barat.  Tetapi perwakilan BP menolak karena khawatir akan keamanan perusahaan mereka.  BP menolak untuk melakukan kekerasan.
Pada paragraf keduapuluh lima, yaitu Dr. Grote yang menolak melakukan kekerasan untuk dapat mengeksplor wilayah di Papua.  Membuka masyarakat maksudnya memberikan peluang aspirasi dari masyarakat adalah cara yang baik.  Dia menjamin semua masyarakat akan tetap bekerja.  Dr. Grote tidak ingin perusahaan lain yang tidak punya kode etik mengembangkan ladang tersebut.  Eben terpukau dengan perkataan yang dilontarkan oleh Dr. Grote.
            Pada paragraf keduapuluh enam,  yaitu Eben mempresentasikan penemuannya di Wasior.  Seorang anggota milisi Papua mengaku membunuh sekelompok polisi Indonesia atas bantuan dari militer Indonesia.
            Pada paragraf keduapuluh tujuh, Seorang pria berkaca mata bulat tebal yaitu O’reilly yang terlihat menipu itu, mengintrogasi Eben. Dia bertanya kepada Eben, apakah para anggota milisi yang membunuh petugas polisi secara eksplisit mengatakan bahwa serangan itu direncanakan bertepatan dengan kunjungan Eben di papua.  Lalu Eben menjawab ‘tidak’.  Para agen militer Indonesia yang mengarahkan milisi ini telah mengirimkan surat kepada mereka dengan instruksi untuk meluncurkan serangan pada minggu yang sama ketika O’reilly sedang berkunjung.  Tapi surat-surat ini tidak menyebut secara explisit siapa saja pejabat-pejabat yang berkunjung.  Selama pertemuan singkat dengan O’reilly, Eben merasa telah gagal membuat kompleksitas aktor dan peristiwa nyata tersebut.
            Pada paragraf keduapuluh delapan, terdapat tindakan John Rumbiak yang berusaha melerai bentuk perseteruan dengan cara menyediakan banyak konteks;  polisi Indonesia dan militer sering melakukan persaingan sengit mengenai sumber daya.  Baku tembak di antara berbagai cabang aparat keamanan sering terjadi.  Cerita Eben mengenai double-agen tidak seperti kolaborasi. Koperasi militer Indonesia dan gerilyawan Papua yang bekerjasama terdengar tidak lagi masuk akal. O’reilly melangkah lebih jauh untuk benar-benar memenuhi discount link bahwa John Rumbiak telah terjebak di antara kekerasan operasi isolat dan pemusnahan proyek gas BP :  Wasior yang jaraknya jauh dari lokasi proyek kami.  Tidak ada jalan yang menghubungkan dua lokasi tersebut karena terbentangnya pegunungan dan trek hutan yang luas. Eben menegaskan bahwa kita tidak membaca apa yang terjadi di Wasior sebagai suatu sinyal.
            Pada paragraf keduapuluh sembilan, terdapat penggambaran salah satu dari wawancara yang dilakukan Eben, Eben menjawab lokasi Wasior mencapai dua minggu dari situs O’reilly. Anggota milisi yang membunuh petugas polisi menempuh perjalanan ini pada bulan Februari 2001 untuk melakukan pengintaian di dekat base camp O’reilly.
            Pada paragraf ketigapuluh, Dr. Grote melakukan suatu kesalahan dengan terlambatnya ia datang ke pertemuan berikutnya. Eben terburu-buru menyimpulkan percakapannya dengan O’reilly, Rumbiak telah membuat permintaan khusus untuk menggunakan pengaruh O’reilly terhadap pemerintah dalam rangka memastikan bahwa pelaku kekerasan yang terjadi di Wasior telah dituntut.
Pada paragraf ketigapuluh satu, membahas tentang Rumbiak yang membujuk Eben untuk mempublikasikan hasil penelitiannya. John O’reilly mengemukakan bahwa dirinya belum memiliki cukup bukti dalam kasus ini untuk mendekati orang-orang Indonesia yang memiliki wewenang. Eben terus berusaha untuk mengungkapkan rahasia perusahaan melalui media surat kabar, The Sunday Times.
Pada paragraf ketigapuluh dua, Rumbiak berusaha menyodorkan hasil penelitian Eben ke surat kabar untuk dipublikasikan. Namun, Grimston sang editor belum bisa menerimanya karena belum ada komitmen sepenuhnya. Di sini juga mengulas tentang konflik antara polisi dan militer di Papua yang saling berseteru. Eben ingin mengungkapkan fakta-fakta yang ada pada konflik tersebut. Eben membuat sendiri laporan atas berita konflik karena John Rumbiak tidak merespon apa yang Eben inginkan.
Pada paragraf ketigapuluh tiga, Grimston selalu menjaga komunikasi dan konfirmasi mengenai kerjasama yang dilakukannya dengan BP. Perusahan BP begitu ketat dijaga oleh brimob. Anggota milisi disinggung dalam artikel yang akan dipublikasikan oleh Eben. Perusahaan terbesar BRITAIN’S, BP, telah membuat marah kelompok-kelompok HAM yang melibatkan pasukan keamanan brutal Indonesia dalam upaya melindungi skema produk gas E 28000000000.
Pada paragraf ketigapuluh empat, muncullah sudut pandang dari belakang yang berasal dari Eben setelah mengalami dan menganalisa permasalahan yang terjadi di Papua.  Eben berusaha merealisasikan kemungkinan sejarah yang radikal yang terjadi di Papua lewat artikelnya ini. Untuk ini Eben bekerja sama dengan aktivis HAM Papua dan seorang wartawan dari Inggris.
Pada paragraf ketigapuluh lima, Eben beserta Rumbiak merasa sangat tertantang dalam menerjemahkan pengetahuan dan penelitian ini. Sebenarnya “The Sunday Times” belum begitu sempurna dalam menerjemahkan sebuah penelitian atau pengetahuan. Dengan adanya hal tersebut, Eben memunculkan ide-ide barunya yang brilliant.
Pada paragraf ketigapuluh enam, Eben merasa telah mengecewakan Waropen dan orang-orang Papua akibat cerita yang dia buat. Ceritanya yang tidak sesuai dengan apa yang Waropen dan teman-teman harapkan. Sikap Waropen berubah terhadap Eben karena hal tersebut. Namun Eben menyadari bahwa ia sebaiknya mementingkan kepentingannya ketimbang harus mementingkan hal lain yang masih belum pasti tujuannya, seperti memikirkan kekecewaan Waropen dan yang lainnya.
Pada paragraf ketigapuluh tujuh, Eben menemukan informasi yang baru mengenai proyek BP. Eben mengetahui latar belakang BP, khususnya tentang kebusukan BP yang membiayai beberapa peristiwa dalam kongres Papua.
Pada paragraf ketigapuluh delapan, Eben ikut serta dalam sidang BP, kemudian dia mencoba melakukan wawancara di BBC bersamaan dengan Viktor Kaisiepo. Dalam wawancaranya, ia membahas tentang kebijakan keamanan komunitas BP.
Pada paragraf ketigapuluh sembilan, dalam wawancara yang Eben lakukan, Eben sedikit menyinggung tentang kekerasan anggota militer di lokasi proyek BP. Namun dia juga membuka kebusukan proyek BP yang ingkar janji terhadap militer Indonesia. Di situasi yang sama, Kaisiepo langsung menegaskan tentang Hak Asasi Manusia di Papua. Namun Eben tidak berani untuk mengungkapkan argumen orang-orang Papua yang tidak setuju atas berdirinya proyek papua.
Pada paragraf keempatpuluh, adanya bentuk konfrontasi, yang biasanya sebagai penanda suatu kegagalan dalam mediasi lintas-budaya. Pada saat pertama kali Eben datang, ia telah mengetahui Viktor Kaisiepo tepatnya dengan penelitiannya mengenai cita-cita kebebasan rakyat Papua. Setelah program BBC terealisasikan, Kaisiepo mengirim E-mail kepada Eben yang meminta agar proyek BP tetap dilanjutkan. Menurut Clifford 1997 : 182, aliansi praktis seperti konfrontasi, dapat menghasilkan kesadaran akan hubungan kekuasaan yang mendasari transfer pengetahuan di seluruh domain budaya.
Pada paragraf keempatpuluh satu, tidak sedikit orang di Papua barat yang menginginkan Eben menjadi sekutu. Seperti John Rumbiak dan rekan-rekan lainnya yang mendorong Eben melakukan penelitian kolaborasi dari Dewan Presidium Papua dan pemimpin kemerdekaan yang terkenal lainnya. Selain itu, Eben juga menjadi sekutu (bekerjasama) dengan gerakan fraksi tertentu.
Pada paragraf keempatpuluh dua, para aktivis HAM yang merekrut Eben kedalam proyek mereka membuat Eben bertemu dengan orang-orang yang tidak dibayangkan sebelumnya sebagai teman yang berpotensi sebagai sekutu. Para aktivis juga mengajarkan Eben betapa pentingnya suatu kemenangan. Pertemuan yang dilakukan Eben dengan para aktivis itu bisa membuat dia belajar, dan bisa menjadi prestasi Eben yang signifikan. Eben menemui dirinya sedang dalam suatu rapat / pertemuan dengan pemerintah di Washington, London dan Jakarta serta mempelajari tentang arsitektur kekuasaan.
Pada paragraph ke empatpuluh tiga, bahwa seorang Eben yang melayani layaknya seorang advokat membawa Eben dalam fikiran jernih dan sengaja bertanya pada diri sendiri mengapa saya menulis dan siapa sajakah yang akan membaca tulisan saya. Eben juga menemukan dirinya berjam-jam menerjemahkan laporan HAM berbahasa Indonesia dengan harapan dapat dibaca oleh beberapa tokoh kunci pejabat pemerintah. Eben menemukan kasus lain, dimana dia menemukan dirinya menulis berita singkat untuk distribusi elektronik untuk sekelompok kecil pendukung internasional yang aktif berkampanye untuk Papua Barat.
Pada paragraf ke empatpuluh empat, bahwa nasib dari setiap kelompok itu disokong oleh para sarjana itu sendiri. Disini juga penulis memberikan contoh dari tindakan penyelamatan kelompok, contohnya seorang Charles Hale yang menggunakan ketelitian bentuk koleksi data, serta menggunakan metode analisis sebab musabab dan program pemetaan dasar komputer yang baru dapat digunakan sebagai kelemahan perjuangan politik. Pemikiran panjang yang biasanya digunakan oleh para positivisme politik yang mempunyai pengaruh untuk membersihkan penelitian yang tidak penting. Charles juga memikirkan kembali tentang pendekatan “aktivis” antropologi serta menguji pendekatan tersebut dengan meminta menyebarkan metode ilmu positif sosial dan subjeknya yang disertai kritik yang sangat teliti untuk mengetahui kognitif ketidaksesuaian dari hasilnya.
Pada paragraf ke empatpuluh lima, bahwa pendekatan teori ketidakcocokan dalam politik harus dihindari oleh siapapun. Proyek penelitian politik tidak pernah bebas dari hasil dan ketertarikan dari bagian lokasi sosial yang biasanya bentuk dari politik tersebut berbentuk tipe pertanyaan yang harus mereka jawab. Namun menurut Sandra Harding, bentuk subjek yang digunakan politik itu jauh dari kelemahan strategis untuk memaksimalkan objektivitas hasilnya. Sebuah kelompok atau group membutuhkan sarjana terpadu untuk mempercepat proyek, maka Sandra Harding menyebutnya objektivitas yang kuat.
Pada paragraph keempatpuluh enam, dalam proyek penelitiannya penulis memadukannya dengan teori pengalamannya (seperti yang dicontohkan Harding). Penulis juga mempersilahkan untuk bertanya dan melakukan negosiasi lagi, tentang semua hal yang dipertanyakan dengan para intelek Papua dan selama penulis dalam proses penelitian dan menulis. Dengan melakukan pertanyaan dan negosiasi selama proses penelitian dan menulis dengan begitu penulis mendapatkan peluang untuk mengkritik meskipun terkadang menjadi penulis yang marah dan pengkritik atau pemberi pertanyaan yang akan terkena imbasnya.
            Pada paragraph keempatpuluh tujuh, membahas mengenai seorang Sandra Harding, yang menetapkan sebuah teori sudut pandang yang bertentangan secara langsung dengan "Trik Tuhan” (Harding 2004: 128). Ia juga mengatakan bahwa untuk menghindari godaan agar dapat melihat segala sesuatu, kita bisa menerapkan dengan hal-hal yang baik dan berbicara pengetahuan kita dengan suara otoritas. Menandai apa yang kita kenal sebagai "pengetahuan aktivis" adalah sebuah kesalahan. Kita bisa tiba-tiba mengabaikan segala bentuk arsitektur pengetahuan / kekuasaan, kemudian ditambah dengan wawasan yang tak terduga.
Pada paragraf keempatpuluh delapan, dalam menciptakan sebuah antropologi, kita harus siap menghadapi tuntutan multi-arah untuk akuntabilitas dari orang-orang yang memberi informasi “untuk berbicara kembali”, undang-undang pencemaran nama baik, dari masyarakat pembaca yang menginginkan bentuk narasi tertentu.  Sehingga menjadi seorang penipu yang menyajikan klaim pengetahuan tipis, akan jelas tidak membantu perjuangan politik orang-orang yang mencari kami sebagai sekutu. Belajar untuk mengikuti standar epistemologis yang beroperasi di kubu yang berbeda dan mediasi di antara sistem ini diketahui dapat menghasilkan klaim pengetahuan yang melekat dalam diri.
Pada paragraf keempatpuluh sembilan, menceritakan saat Eben telah menyelesaikan esainya pada bulan November 2007, ia melihat ke arah minggu-minggu terakhir menyelesaikan Ph.D. disertasinya, dan diluar esai nya ia juga sedang membuat buku. Dalam proyek yang lebih besar, ia menyulap beberapa genre dan bentuk narasi, seperti: perumpamaan adat, realisme figural, etnografi, sejarah lisan, dan memoar. Dalam tugasnya sebagai seorang penerjemah yang setia, ia bermimpi akan kebebasan di Papua Barat, dan ia juga melakukan lebih dari sekedar menempel pada fakta-fakta, namun ditafsirkan.  Eben juga bekerja untuk kerajinan potret etnografi beberapa realitas hidup berdampingan di Papua Barat. Mimpi orang-orang Papua akan sebuah kemerdekaan bahkan diduga , harapan tersebut juga dapat menghasilkan kemungkinan politik muncul.
Setelah selesai membahas mengenai Artikel Eben Kirksey yang berjumlah 49 paragraf yang berjudul “Don’t Use Your Data As a Pillow” maka saya ingin membahas apa saja yang pernah terjadi di Papua.
Mungkin penjelasan lebih lengkapnya seperti yang akan saya paparkan sebagai berikut :
-          Mengenai Konflik Papua
Akar konflik vertikal Papua relatif mirip Aceh, terutama karakter diametralnya dengan pemerintah pusat. Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di New York pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali ditegaskan lewat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Sejak saat itu Papua terus dilanda gejolak separatisme hingga kini. 
Jika di Aceh ada GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri tahun 1964. Manuver awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas umum OPM adalah manuver-manuver sporadis untuk menyerang pos-pos polisi dan tentara, sabotase sarana vital dan strategis seperti Freeport, menyerang transmigran, atau penghasutan massa. Esther Heidbuchel menyebutkan, konflik Papua dapat dirunut kepada faktor-faktor berikut :
1.      Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah diadakan Indonesia tatkala mengambil alih Papua dari Belanda, 
2.      Pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya dalam penegakkan hukum atas mereka, 
3.      Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat asli Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial ekonomi mereka serta terbentuknya stereotip yang mendiskreditkan orang Papua.
Dalam perkembangan kemudian, masih menurut Heidbuchel, tersedia tiga jalan yang penyelesaian konflik. Jalan pertama adalah Merdeka, yang dimotori OPM. Komposisi mereka yang pro kemerdekaan terdiri atas rakyat biasa berpendidikan rendah, OPM, dan sebagian kecil elit terdidik Papua. Jalan kedua, pro Indonesia yang kini menduduki status quo. Kelompok ini didukung kaum migran (orang-orang dari luar Papua) yang menetap di Papua, sebagian elit terdidik Papua, dan sebagian elit pemerintah pusat. Jalan ketiga adalah Otonomi Khusus, yang didukung mayoritas elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat, komunitas-komunitas agama, dan LSM. 
Jalan ketiga, Otonomi Khusus, secara formal disepakati lewat terbitnya Undang-undang Nonmor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 21 Nopember 2001. Namun, kesulitan utamanya adalah realisasi amanat undang-undang ke dalam dunia nyata.[14] Kendati punya sumber daya alam yang melimpah, Provinsi Papua tercatat sebagai provinsi termiskin di Indonesia: Alamnya kaya tetapi mayoritas penduduk aslinya miskin, bahkan sangat miskin.
Ans Gregory da Iry merilis hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang selama beberapa tahun mengadakan riset atas konflik Papua. Tim peneliti merangkum empat hal pokok yang harus dipikirkan oleh pemerintah pusat di Papua. Pertama, marginalisasi ekonomi dan tindakan diskriminatif dalam pembangunan ekonomi terhadap orang asli Papua sejak tahun 1970, yang hasilnya membuat mereka kalah bersaing dengan pendatang. Kedua, pemerintah kurang berhasil melakukan pembangunan Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, belum ada kesamaan paradigma seputar sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia. Keempat, belum adanya rekonsiliasi serta pertanggungjawaban formal dalam kasus-kasus kekerasan atas masyarakat Papua oleh negara di masa lalu. 
Pembangunan yang timpang adalah salah satu variabel kunci yang membuat Papua terus bergolak. Padahal, UU Otonomi Khusus secara obyektif membuka ruang besar bagi rakyat Papua untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi daerahnya. Banyak kalangan di Papua menghendaki proses pembangunan yang memberi peran besar pada empat pilar kepemimpinan lokal yang terdiri atas: Pemerintah lokal, pemimpin adat, pemimpin agama, dan kaum perempuan.[17] Komisi yang khusus menyelidiki proses penyelesaian konflik Papua bentukan pemerintah dan masyarakat sampai pada kesimpulan bahwa kunci bagi perdamaian dan kemajuan di Papua adalah penerapan secepatnya UU Otonomi Khusus Papua No. 21 tahun 2001. http://setabasri01.blogspot.com/2012/04/konflik-konflik-vertikal-di-indonesia.html
ADA campur tangan pihak luar terkait konflik yang berkepanjangan di Provinsi Papua.  Sangat mungkin, konflik yang kerap terjadi di Papua tidak berdiri sendiri. Adalah Wakil Ketia DPR Pramono Anung menilai, apa yang terjadi di Papua, tidak berdiri sendiri dan ditengarai ada pihak di luar NKRI, coba ambil kentungan yang terjadi di Papua. Namun, apapun yang terjadi Papua tetap bagian NKRI.
Konflik itu harus diselesaikan dengan cepat oleh pemerintah. Tetapi, konflik itu jangan diselesaikan dengan kekerasan. Karenanya akan lebih baik jika diselesaikan dengan pendekatan humanistik dengan mengedepankan dialog.
Ketegangan dan konflik di tanah Papua yang mengarah kepada disintegrasi bangsa tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan pendekatan keamanan (security approach), tetapi harus lebih holistik dengan memadukan pendekatan budaya dan ekonomi.
Pendekatan keamanan yang kerap menghadirkan kekerasan fisik harus dibarengi dengan pendekatan budaya dan ekonomi untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat Papua agar mereka merasa nyaman dan damai sejahtera sebagai bagian dari NKRI.
Ikhwal konflik berkepanjangan antara PT Freeport dengan karyawan dan melibatkan kepolisian, disikapi serius DPR, yang mengeluarkan sikap tegas menyikapi permasalahan yang terjadi di perusahaan Amerika Serikat yang beroperasi di Timika, Papua itu.
DPR mendesak PT Freeport Indonesia untuk mematuhi peraturan ketenagakerjaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan terkait lainnya yang berlaku di negeri ini.
Pemerintah melalui Kemenakertrans dan kementerian terkait lainnya untuk memantau, memasilitasi, mensupervisi serta mengasistensi upaya-upaya penyelesaian permasalahan melalui dialog langsung dengan Serikat Pekerja PT Freeport Indonesia.
Dalam dua pekan  terakhir, tercatat delapan orang tewas akibat kekerasan di Papua. Satu orang tewas dalam bentrok saat aksi demonstrasi menuntut kenaikan upah karyawan PT Freeport Indonesia,  di Papua.
Tiga lainnya tewas terkait dengan acara Kongres Rakyat Papua, dan tiga lainnya tewas di wilayah Kilometer 38 dan 39 Timika. Korban tewas terakhir adalah Kapolsek Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Ajun Komisaris Dominggus Oktavianus Awes yang ditembak di Bandar Udara Mulia.
-          Akar Konflik Papua
Sejarah integrasi tidak jelas, Pelanggaran HAM, kegagalan Pembangunan, dan Marginalisasi Orang papua,
Jika dilihat dari sejarah, konflik di tanah papua sudah bisa di rasakan sejak awal kemerdekaan indonesia. Kekisruan makin terlihat ketika daerah ini tergabung kepadaIndonesia setelah adanya penandatangan kesepakan politik antara RI-Belanda yang difasilitasi PBB pada 1962
Awalnya  saat bergabung, provinsi yang memiliki luas 427,981 km persegi dan terletak di koordinat 130 derajat- 141 derajat lintang timur, dan 2,25 derajat utara-9 derajat selatan ini memiliki nama Irian Barat (1962-1963) dan berubah menjadi Irian Jaya (1973-2001) nama “Iryan” di perkenalkan oleh Marcuc W kaisepo pada september 1945, yang dalam bahasa Biak Numfor berarti sinar matahari atau tanaha yang panas (the hot land) barulah oleh presiden Abdul rahman Wahid pada 1 januari 2000, namaprovinsi Papua kemudian di legalkan melalui UU No 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi papua, dan sejak 10 november 2004 dengan keputusan mahkama konstitusi No 018/PUU-I/2003 area ini terdiri dari dua Provinsi: Provinsi Papua Barat dan papua yang terdiri dari 29  daerah pemerintahan dan dua kota praja.
Kesehatan masyarakat di daerah cukup sangat memprihatinkan. Penyakit-penyakit seperti malaria, infeksi pernapasan, dan disentri adalah penyebab utama dari kematian anak, dengan tingkat kematian anak yang  berkisar sampai 70 sampai 200 per 1,000 jiwa. Lebih dari 50% anak yang di bawah umur 5 tahun bergizi buruk, dan tingkat imunisasi pun rendah. Penyebaran  HIV/AIDS berkisar 40 kali lebih buruk dari rata-rata nasional penyebaran penyakit kematian ini di perparah dengan aktifitas seksual bebas yang meingkat, tingkat buta hrurf yag  tinggi, dan pencegahan dan penahan yang  minim untuk penyakit ini.
Semenjak terintegrasi dengan Indonesia, pergolakan di Papua tidak juga surut, hal ini di sebabkan  dari ada perbedaan presepsi mengenai landasan historis penyatuan kawasan tersebut dengan Indonesia. Gerakan-gerakan separatis bersenjata bermunculan dan menyeruak di sepanjang lebih dari tiga dekade bergabungnya papua dengan indonesia, juga bermunculan adanya indikasi pelanggaran Hak asasi manusia.
Secara sederhana, terminologi konflik dapat di definisikan sebaga relasi yang  menggambarkan ketidaksejalanan sasaran yang dimiliki atau yang di  rasa dimiliki oleh dua pihak atau lebih. Sedangkan kekerasan di artikan sebagai kegiatan yang mmencakup tindakan, sikap, berbagai struktur atau  sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, mental sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang meraih potensi penuh. Konflik atau perang internal di bagi  dalam dua jenis pertama, perang atau konflik yang terjadi antara pemerintah dengan gerakan separatis yang ingin memerdekakan diri ( konflik fertikal); kedua, konflik terjadi antar kelompok di dalam negara atau lebih di kenal sebagai perang sipil ( konflik horisontal)
Selanjutnya, Muscat mengungkapkan, konflik biasanya muncul ketika adanya beberapa pemicu (triggers) dalam situasi yang tengah rentan terjadinya pertikaian. Konflik menurutnya ditimbulkan karena adanya perbedaan politik, ekonomi, yang cukup mencolok antar dua kelompok, ia melihat sumber utama terjadinya kekerasan dalam konflik yang  di sebabkan oleh politik, etnis  dan budaya adalah tidak adanya pembangunan dan  ekonomi  yang bisa menggeliminasi kemiskinan.






Konflik Horizontal
 


 
Konflik Vertikal
 
Konflik

Konflik Horizontal meliputi konflik antar warga sipil, sedangkan konflik Vertikal adalah konflik antara pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua – banyak korban.
Kecamuk di tanah Papua seperti tidak ada habisnya. Selain konflik horizontal antar warga sipil, konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua juga telah memakan banyak korban.
Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, konflik berkepanjangan ini disebabkan oleh empat hal.
"Pertama, gagalnya otonomi khusus terutama pembangunan di bidang kesejahteraan ekonomi, kesehatan dan pendidikan," ujarnya dalam diskusi bertajuk 'Papua: Konflik Dari Masa ke Masa', di Bakoel Coffe, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2013).
Kedua, imbuh Hasanuddin, konflik disebabkan oleh adanya diskriminasi dan marjinalisasi terhadap masyarakat asli Papua.
"Ketiga, adanya perasaan traumatis dari sebagian wargaPapua sebagai akibat tindakan represif aparat masa lalu, yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, namun tidak diusut secara tuntas."
"Dan terakhir, masih terdapatnya perbedaan persepsi tentang terintegrasinya Papua ke dalam wilayah NKRI melalui Pepera 1969," ungkapnya.
Table penyebab yang  dekat dari konflik internal (the proximate cause of internal conflict)

Pendorong dari internal
Internality driven)
Pendorong dari external
(Externaliti-driven)
Elite-level
Pemimpin yang buruk (bat leaders)
Negara tetangga yang buruk
( bat neighbors)

Problem domestic yang buruk
(bad domestic problems)
Lingkungan sekitar yang buruk
(but neighborhoods)
Jika melihat literatur ada banyak riset yang mncermati konflik di tanah papua. Ester Heidbuchel (2007) misalnya  mengkategirikan konflik papua dalam empat level; pertama adalah subjective level yakni perbedaan stereotip orang papua dengan indonesia, perbedaan ras,ketakutan disintegrasi versus ketakutan untuk dimusnahkan, ketidakpercayaan pemerintah terhadap warga papua  dan begitu pula sebaliknya; kedua adalah issue level yakni inkonsistensi kebijakan, pelanggaran HAM dan korupsi. ketiga adalah damand level, yakni integritas atau persatuan nasional versus tuntutan merdeka atau pelurusan sejarah. Keempat compromissie level, yakni otonomi khusus.
Konflik papua secara sederhana menururt amich Alhumani dapat di lihat dari dua sisi, yakni sisi Ekonomi dan politik. Faktor utama yang bisa menjelaskan  sisi dimensi ekonomi adalah ekspoloitasi sumber daya alam (SDA) Papua yang  tidak di rasakan oleh warga setempat. Semua orang tahu bahwa propinsi Papua adalah propinsi yang kaya di Indonesia. Akan tetapi fakta menunjukan standar hidup penduduk asli masih dibawah rata-rata daerah lain. Kebijakan pemerintah pusat telah menghasilkan adanya kesenjangan kesejahteraan ekonomi  yang besar di antara penduduk Papua tidak puas dengan strategi pembangunan nasional yang disiapkan pemerintah pusat yang telah nyata bahwa ketidak sejajaran kesejahteraan
Tidak ada respon yang memadai atas ketidakpuasan itu juga yang kemudian membawa masalah ke wilayah politik. Kekecewaan atas praktik marjinalisasi yang di lakukan pemerintah pusat akhirnya membuat  beberapa kelompok elit memperjuangkan  kemerdekaan.meski pemerintah sudah menerapkan Otonomi Khusus (Otsus) sejak tahuin 2001, beberapa elemen di Papua sudah tetap menyuarahkan pemisahan  diri dari Indonesia . selain melakukan konsolidasi di tingkat akar rumput, mereka juga menggalang dukungan Internasional dengan melakukan kampanye dalam sejumlah forum Internasional.
-          Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sementara tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi sumber konflik Papua ke dalam empat isu Utama: Pertama, sejarah integrasi dan status identitas politik. Pada problem ini konflik papua di dasarkan pada adanya perbedaan cara pandang antara nasionalis Indonesia dan nasionalis Papua atas sejarah peralihan papua kekuasaan papua dari Belanda ke Indonesia. Nasionalis Indonesia memandang polemik penyerahan kekuasaan dan status politik Papua telah selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan di terimanya  hasil penentuan tersebut  oleh majelis umum sidang PBB. Sementara, nasionalis Papua berpandangan PEPERA 1969  itu sendiri terjadi banyak kecurangan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia, kalah itu termasuk dalam 1.025 perwakilan warga.Terlebih nasionalis papua berpegang pada insiden 1 desmber 1961.
Kedua, problem kekerasan politik dan pelanggaran HAM. Lipi mencatat problem ini muncul  sebagai ekses dari pandangan dari keutuhan NKRI adalah  harga mati dan gagasan memisahkan diri  merupakan tindakan melawan  hukum yang di kemudian di identifikasikan secara militeristik sehingga upaya tersebut di artikan dengan menggunakan pendekatan keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri perbedaan. Hasilnya rakyat Papua mengalami kekerasan politik dan terlanggar hak asasinya akibat pelaksanaan tugas memerangi organisasi Papua Merdeka (OPM). Negara seharusnya hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan justru muncul sebagai sosok yang berwajah sangar.
Ketiga, adalah problem kegagalan pembangunan. Topik pembangunan di jadikan salah satu isu utama yang menjadi akar konflik di Papua  di karenahkan adanya ketimpangan yang terjadi. Gap ekonomi dan pembangunan, jika di bandingkan dengan daerah lain, lalu diskriminasi kebijakan pusat ke daerah dan eksploitasi besar-besaran yang di lakukan terhadap kekayaan alam Papua  adalah beberapa hal yang menjadikan  pemerintah gagal melakukan pembangunan di Papua. Ironisnya, data menunjukan pembangunan ekonomi justru lebih banyak di lakukan di erah sebelum  dari pada setelah pelaksanaan otsus.kondisi ini di perparah dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi antara penduduk asli  dan pendatang atas penguasaan sektor perekonomian.
Terakhir, persoalan marginalisasi orang papua dan inkonsistensi kebijakan otsus. Seperti juga telah di singgung Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas terlihat di Papua. Tim lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada asprk demografi, sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya, seringkali di identikan dengan kegiatan separatisme. Sedangkan dari bidang politik terutama di erah orde baru, orang  Papua tercatat beberapa kali menduduki jabatan gubernur.
Sedangkan inkonsistensi kebijakan otonomi dapat di lihat beberapa contoh kasus, seperti adanya pemekaran provinsi Papua menjadi tiga bagian yakni  Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, seiring dengan keluarnya  Inpres No 1 tahun 2003 tentang percepatan pelaksanaan undang-undang no 45 tahun 1999 tentang pembentukan propinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, kabupaten Paniai, kabupaten Mimika, kabupaten Puncak Jaya, dan kota Sorong,yang berisi inplementasi UU no 45 tahun 1999  tentang  pembentukan propinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, kabupaten Puncak Jaya, kabupaten Paniai, kabupaten Mimika, dan kota Sorong, pada hal secara hukum. Pemekaran ini mengabaikan  UU No 21 tahun 2001 tentang otonomi ksusus bagi provinsi Papua yang jelas mengamanatkan pemekaran provinsi Papua di lakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua. Dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya. Apa yang di lakukan pemerintahan presiden Megawati juga di artikan sebagai bentuk pengingkaran atas upaya yang pernah di lakukan. Pemerintahan B.J. Habibie dalam mencari solusi damai mnegakhiri konflik papua.
Sedari awal, kebijakan otsus dapat di ambil sebagai salah satu cara untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua, termasuk perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua dan keuntungan secara ekonomi.  Meski disisi lain pemerintah pusat tetap menjaga pengaruh terhadap pemerintah propinsi dan tidak membuka  peluang untuk pengakuan terhadap hak tanah bagi warga Papua. Otto Ondowame juga mencatat pemerintah pusat juga memiliki hak untuk mengontrol ketak  perda khusus, perdasi dan keputusan Gubernur. Dan pada akhirnya, otsus tidak mencerminkan kebutuhan semua  warga Papua.
-          Sekretariat Keadilan dan perdamaian jayapura
Tinjauan sedikit berbeda mengenai sumber konflik Papua di uraikan tim sekretariat kedilan dan perdamaian (SKP)  keuskupan Jayapura. Setidaknya ada empat sumber konflik yang di temukan yaitu: pertama, suasanna peradilan (Budaya). Tim SKP melihat perubahan  dengan cepat di Papua seiring  bergulirnya waktu yang membawa kompleksitas tersendiri ternyata tidak bisa  di imbangi denngan nilai-nilai adat istiadat yang selama ini menjadi pegangan warga Papua. Ketidakadilan pegangan inilah yang membuka celah konflik menjadi besar., kedua, suasana kependudukan ( kemajemukan) tingginya arus transmigrasi ke Papua yang pada awalnya di dorong pemerintah pusat- telahmenimbulkan kecemasan etrsendiri bagi  penduduk asli. Warga pendatang yang memiliki perbedaan budaya,gaya hidup, gaya religiusitas,kedudukan,kekuasaan dan lain-lainn kemudian dilihat  sebagai sebuah kemajemukan yang harus di terimah melainkan lahan konflik penduduk asli sering merasa di perlakukan diskriminatif dan di anggap tradisional sehingga fenomena multikultur yang sejatinya tidak menonjolkan perbedaan justru malah memperuncing keadaan.
Lebih lanjut, sumber konflik yang ke tiga adalah suasana ekonomi,( kesejahtraan), gesekan antara warga pendatang dan penduduk asli apua ternyata juga di ikuti dengan kecemburuan dari sektor ekonomi. Warga pendatang sering kali memiliki posisi yang lebih baik pada wilayah ekonomi dari pada penduduk asli  kenyataan ini tidak hanya antara pendatang dengan  penduduk asli bahkan terjadi pula antar  suku, kelompok ataupun keluarga, yang ada di Papua.kondisi ini di perpara dengan masih kentalnya, budaya proyek praktik perebutan kekuasaan lingkungan di papua.
Khusus konflik komunal maupun pendatang pedudukk asli,pemandangan ini bukanlah hal yang baru terjadi di bumuh cenderawasih ini. Sebagai sebuah daerah yang di huni kurang lebih dari 250 suku, konflik antar penduduk asli menjadi sesuatu yang wajar. Konflik jenis ini sering kali berhubungan dengan adat kebiasaan yang berbeda dan di akhiri dengan perang antar suku/ meskipun demikian, mekanisme resolusi konflik secara adat telah melembaga dalam kehidupan masyarakat papua.
Sumber konflik Papua yang ke empat adalah suasana sosial politik ( hak-hak dasar). Tidak bisa di pungkiri lagi, suasana sosilal politik di papua sering kali di nilai rawan. Intimidasi,kekerasan fisik dan nonfisik misalnya sudah mnejadi pemandangan sehari hari di tanah papua. Kondisi ini di perparah dengan masih  belum jelasnya sejarah masyarakat papua terutama misalnya, yang menyangkut penghargaan dan pengakuan jati diri  serta hak dasar untuk menentukan  nasip sendiri telah menjadikan masyarakat memiliki mimpi untuk menghirup kebebasan. Dan inilah yang memicu ketegangan dan konflik.
-          Sejarah Konflik Papua
1960 - 2000
  • 1966-67: pemboman udara Pegunungan Arfak
  • 1967: Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga tewas di Ayamaru, Teminabuan dan Inanuatan.
  • Mei 1970: Pembantaian perempuan dan anak-anak oleh tentara Indonesia. Saksi melaporkan melihat seorang wanita memusnahkan, membedah bayinya di tempat dan pak bibi bayi-diperkosa.
  • Jun 1971: Bapak Henk de Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di Biak Utara dipaksa untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum ditembak
  • Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk menyelamatkan desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan batang besi panas merah dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125 penduduk desa maka mesin ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai.
  • pertengahan 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk 115 dari desa-desa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang, desa, taman makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa, dan ternak dari kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman makanan, dan hidup-stok Monemane. Dsb.
2000 - 2010
  • Pada tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang pada sekelompok profesor dari Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menuduh OPM bertanggung jawab.
  • Pada tanggal 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera separatis, beberapa tindakan lain telah terjadi 42 orang ditangkap.
  • Pada tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura menewaskan 5 orang dan beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar 500 militan menyerang sebuah pos polisi dengan busur dan anak panah dan bom bensin.. Polisi bereaksi dan membunuh seseorang.
  • Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi penambang PT Freeport McMoran. Sembilan orang terluka, OPM menyangkal Tanggung Jawab.
-          Tahun 2014, Papua Daerah Rawan Konflik Urutan Pertama
[foto: int]
[foto: int]
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta Pane memberikan rekomendasi kepada Polri terkait wilayah yang paling rawan konflik di tahun 2014 ini. Dengan rekomendasi tersebut diharapkan  agar mendapat perhatian serius dari pihak kepolisian.
Berdasarkan data yang disampaikan, Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) menjadi wilayah urutan pertama sebagai wilayah rawan konflik. Selain Papua, terdapat 5 wilayah lainnya yang juga ikut dirilis Neta sebagai wilayah-wilayah rawan konflik.
“Keenam wilayah itu yakni Papua, Jabar, Jakarta, Sumut, Sulteng, dan Jateng. Tingginya potensi kerawanan ini mengingat di sepanjang 2013, di keenam wilayah tersebut paling banyak terjadi konflik sosial,” ujar Neta, Minggu (05/01/14).
Menurut Dia, di Papua terjadi 24 peristiwa konflik sosial, yang menewaskan 59 orang (termasuk 3 Polisi dan 9 TNI), 92 luka (termasuk 6 Polisi dan 4 TNI), 1 pos polisi dibakar, 11 rumah dibakar, 3 mobil dibakar, 1 mobil dirusak, 3 sepeda motor dibakar, dan 2 motor dirusak pada tahun 2013 lalu.
Bahkan lebih lanjut, seperti dikutip majalahselangkah.com, Papua menjadi pemegang rekor konflik terbanyak selama tahun 2013.
“Ada 27 yang diterjang konflik social dari 33 propinsi di Indonesia. Pertikaian antar warga dan antar kelompok mendominasi hilangnya nyawa rakyat, terutama di Papua sebagai pemegang peringkat tertinggi di 2013,” terang Neta.
Untuk itu, Neta S Pane berharap agar keenam wilayah di atas, khususnya Papua diperhatikan dengan serius dan dilakukan tindakan-tindakan preventif sejak dini. (as)
Comments
0 Comments

0 comments :

Post a Comment